Pengamat Usul : Atasi Macet Jakarta Dengan Cara Pisahkan Jalan Motor dan Mobil

JAKARTA, berantasnews.com Pembangunan enam (6) ruas jalan tol di Jakarta yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional, dinilai bukan solusi tepat mengatasi kemacetan. Pengamat transportasi, Leo Kusima, mengatakan, “Jakarta memang kekurangan jalan. Perbandingan jalan eksisting dengan luas wilayah kota hanya 6,28 persen”.

Dibandingkan dengan Amerika Serikat yang rerata 18 persen, jelas jalan di ibu kota Indonesia ini masih kurang. Namun dengan merencanakan pembangunan 6 ruas jalan tol, apalagi masuk dalam Proyek Strategis Nasional, bukan satu-satunya jalan keluar. Menurut Leo, alternatif solusi yang lebih efektif adalah dengan memisahkan jalan untuk kendaraan bermotor roda dua (R2) dan roda empat (R4).

“Dulu saya sempat menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian saya tawarkan jalan layang khusus untuk motor. Karena di Jakarta, motor ada sekitar 10 juta sampai 11 juta unit sementara mobil 3,5 juta unit,” ujar Leo, Jumat (28/1/2016).

Leo menerangkan, pengendara motor seringkali amburadul dan membuat kemacetan. Meski begitu, Leo menilainya sangat wajar karena kendaraan cepat dan lambat dicampur dalam satu bidang jalan. Selain itu, Jakarta juga merupakan pusat ekonomi Indonesia. Dengan alasan efisiensi, penduduk Jakarta seperti selalu diburu-buru waktu. Sayangnya kondisi di lapangan yang amburadul tersebut, direspons Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan mengembangkan Transjakarta di atas jalur khusus bus (busway).

Menurut Leo, cara ini justru kurang efisien karena memangkas waktu bekerja warga Jakarta lebih sedikit, yang pada gilirannya memengaruhi produktivitas. Transjakarta di atas busway justru semakin meningkatkan perilaku berkendara terburu-buru. Terbukti banyak busway yang dimanfaatkan R2 dan R4 karena tidak disterilisasi. Sebaliknya, di sisi lain meski terjebak macet, para pengendara atau warga Jakarta yang menggunakan R4 justru memiliki waktu lebih banyak untuk melakukan pekerjaan mereka. “Jakarta ini kota horizontal, bukan vertikal. Kalau vertikal, kita turun lift sudah halte, seperti di Hongkong atau Singapura,” jelas Leo.

Sementara di Jakarta, waktu tempuh dengan berjalan kaki dari rumah ke halte saja bisa 45 menit. Di Jakarta juga tidak ada tempat parkir yang luas untuk sepeda di dekat halte atau stasiun, jadi kata Leo,” sepeda belum bisa menjadi alternatif solusi mengatasi kemacetan”. (BN)

CATEGORIES
Share This

COMMENTS