
Analisis Perspektif Hukum Adat Berdasarkan Hukum Tata Negara Terhadap Hak Atas Tembawang di Kalimantan
Oleh Tengku Mulia Dilaga, Turiman Fachturahman, dan Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Kesultanan Kadriah Pontianak)
BN – Hak atas tembawang, sebagai representasi kedaulatan masyarakat adat dalam mengelola ruang hidupnya, merupakan warisan turun-temurun yang berakar kuat dalam hukum adat Dayak. Tembawang, bagi masyarakat Dayak, bukan sekadar lahan bekas ladang atau pemukiman lama, melainkan wilayah sakral, ekologis, dan genealogis yang memiliki signifikansi sosial, spiritual, dan ekonomi bagi komunitas adat. Makalah ini menganalisis perkembangan hukum terkait hak atas tembawang, dari perspektif hukum adat dan hukum tata negara, mulai dari era Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) hingga tantangan masa kini.
I. Era DIKB (1947–1950): Pengakuan de facto dalam Kerangka Federal
Pada masa Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS), sistem hukum adat, termasuk pengelolaan tembawang, mendapatkan pengakuan de facto. Struktur pemerintahan DIKB mengakomodasi peran kerajaan, kedatuan, dan komunitas adat dalam mempertahankan tata hukum mereka. Secara hukum tata negara, DIKB memiliki kedudukan konstitusional sebagai bagian dari negara bagian Kalimantan berdasarkan Konstitusi RIS 1949. Pengakuan ini mencerminkan prinsip “rekognisi pluralisme hukum,” menghargai keberlakuan hukum adat berdampingan dengan hukum negara.
II. Masa Integrasi ke NKRI dan Sentralisasi (1950–1998): Marjinalisasi Hukum Adat
Integrasi Kalimantan Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1950 melalui Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 menghapus status istimewa DIKB. Prinsip sentralisasi hukum dan administrasi yang berlaku mengakibatkan marjinalisasi hak-hak hukum adat, termasuk hak atas tembawang. Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 Pasal 3 mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat, implementasinya terbatas oleh frasa “… sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” Interpretasi frasa ini menjadi celah marginalisasi hak adat, karena pemerintah dan korporasi sering mengklaim bahwa tembawang tidak lagi eksis dalam “kenyataan hukum nasional.” Tembawang yang dulunya dikelola secara lestari, mulai digusur untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan kehutanan.
III. Era Reformasi dan Rekonstruksi Pengakuan (1999–kini): Kembali pada Pluralisme Hukum
Reformasi 1998 membuka peluang kebangkitan hukum adat melalui regulasi yang lebih inklusif. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa “hutan adat bukan hutan negara,” memperkuat legitimasi hukum adat terhadap wilayah adat seperti tembawang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui konsep desa adat sebagai subjek hukum, memberikan ruang formalisasi bagi masyarakat adat untuk mengatur dan mempertahankan hak atas tembawang. Namun, tantangan implementasi di tingkat daerah masih besar. Banyak pemerintah daerah belum mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengakui masyarakat hukum adat dan wilayahnya, membuat status tembawang berada dalam “limbo legalitas.”
IV. Masa Depan: Integrasi Hukum Adat ke dalam Sistem Tata Negara yang Inklusif
Masa depan hak atas tembawang sangat bergantung pada arah politik hukum nasional dan daerah. Proyek strategis nasional, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), berpotensi mengancam eksistensi wilayah adat jika tidak disertai perlindungan hukum yang kuat. Perspektif hukum tata negara perlu bergeser dari sekadar toleransi menjadi “rekognisi dan proteksi” hukum adat. Pemerintah daerah perlu aktif mengeluarkan Perda Pengakuan Wilayah Adat, sementara masyarakat adat perlu memperkuat institusionalisasi hukum adat melalui pemetaan partisipatif dan advokasi berbasis hukum. Kolaborasi ini akan menciptakan simbiosis antara pluralisme hukum dan kedaulatan negara.
Hak atas tembawang di Kalimantan Barat merupakan isu kompleks yang menyangkut hukum adat Dayak, hukum tata negara Indonesia, dan implikasi pembangunan modern, khususnya Ibu Kota Nusantara (IKN). Makalah ini menelusuri sejarah perkembangan hukum terkait tembawang, dari masa Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) hingga tantangan yang dihadapi saat ini, dengan penekanan pada integrasi hukum adat dalam sistem tata negara yang modern dan adil.
1. Pengakuan Awal dan Marjinalisasi Hukum Adat:
Pada masa DIKB (1947-1950) dalam sistem Republik Indonesia Serikat (RIS), hukum adat, termasuk hak atas tembawang, mendapatkan pengakuan de facto. Struktur pemerintahan DIKB yang federal memungkinkan otonomi daerah dalam mengelola sumber daya dan hukum adatnya. Namun, setelah integrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1950, prinsip sentralisasi hukum mengikis pengakuan formal terhadap hukum adat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 Pasal 3 mengakui hak ulayat, tetapi interpretasi yang sempit dan kepentingan ekonomi menyebabkan marjinalisasi hak-hak adat, termasuk penguasaan tembawang. Peristiwa ini diperparah dengan berbagai proyek ekstraktif yang menggusur wilayah adat.
2. Kebangkitan Hukum Adat dan Tantangan Implementasi:
Reformasi 1998 membuka peluang bagi kebangkitan hukum adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan “hutan adat bukan hutan negara” menjadi landasan penting. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan formal kepada desa adat, namun implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan. Banyak pemerintah daerah belum mengeluarkan Perda pengakuan wilayah adat, membuat status tembawang tetap berada dalam ketidakpastian hukum.
3. Peran Sultan Hamid II, Partai Persatuan Dayak (PPD), dan Kompi Dayak:
Sultan Hamid II, sebagai Kepala DIKB, memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak adat. Pembentukan Kompi Dayak, satuan pertahanan lokal yang direkrut dari masyarakat Dayak, merupakan upaya menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah, termasuk tembawang. Partai Persatuan Dayak (PPD) yang lahir pada 1945, mewakili aspirasi politik masyarakat Dayak. Namun, setelah pembubaran DIKB dan bergesernya sistem pemerintahan, PPD kehilangan pengaruh politik, mencerminkan tantangan bagi representasi politik berbasis identitas lokal di tengah sistem negara kesatuan. Kasus hukum Sultan Hamid II pada 1953, yang menyangkut pembentukan Kompi Dayak, menunjukkan bagaimana upaya pertahanan lokal diinterpretasikan dalam konteks hukum dan politik nasional. Analisis terhadap pledoi Sultan Hamid II menunjukkan usaha mempertahankan otonomi daerah dalam kerangka hukum RIS.
4. Akte Penyerahan Kedaulatan dan Implikasi terhadap DIKB:
Akte Penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949 merupakan perjanjian internasional yang memiliki implikasi hukum. Pengakuan terhadap DIKB dalam protokol tersebut memberikan legitimasi historis terhadap otonomi daerah dan sistem hukum adat yang berlaku. Analisis hukum internasional terhadap dokumen ini relevan dalam konteks revisi sejarah dan penguatan argumentasi hukum adat di masa kini.
5.. Hak Guna Usaha (HGU) di IKN dan Implikasinya terhadap Hukum Adat:
Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) memberikan ketentuan mengenai HGU hingga 95 tahun, bahkan dengan opsi perpanjangan hingga 190 tahun. Ketentuan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi pengabaian hak-hak masyarakat adat, terutama di Kalimantan, yang memiliki hukum adat yang kuat terkait tanah. Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 yang terkait dengan pendaftaran tanah adat, menunjukkan potensi konflik antara hak ulayat dan kepentingan investasi. Perlu adanya mekanisme yang memastikan pengakuan dan perlindungan hak ulayat sebelum pemberian HGU, serta memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat seperti musyawarah dan kesepakatan kolektif. Penegasan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan adat bukan hutan negara perlu menjadi acuan utama dalam penyelesaian konflik agraria.
V. Kesimpulan: Analisis komprehensif menunjukkan kompleksitas hubungan antara hukum adat dan hukum tata negara dalam konteks pengelolaan tembawang. Pengakuan dan perlindungan hukum adat bukan hanya soal keadilan ekologis dan kultural, tetapi juga implementasi prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Integrasi hukum adat ke dalam sistem tata negara membutuhkan strategi yang berkelanjutan, yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat, penguatan regulasi daerah, dan penegakan hukum yang adil.
Hak atas tembawang bukan hanya masalah agraria, tetapi juga menyangkut kedaulatan budaya, keadilan ekologis, dan rekognisi konstitusional. Tembawang menjadi simbol rekonsiliasi antara warisan leluhur dan sistem negara modern. Masa depan Kalimantan yang adil dan lestari mensyaratkan negara hadir untuk melindungi dan memperkuat eksistensi hukum adat. ( Red )