
Analisis Hukum Komparatif Pembatalan Gelar Guru Besar dan Implikasinya Terhadap Tata Kelola Pendidikan Tinggi
Oleh : Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Artikel ini menganalisis kasus pembatalan 17 gelar guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dari perspektif hukum dan tata kelola pendidikan tinggi. Melalui pendekatan analisis hukum yang meliputi kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi, artikel ini mengidentifikasi dasar hukum dan potensi masalah dalam proses pencabutan gelar tersebut. Selain itu, dilakukan perbandingan dengan praktik di luar negeri untuk memahami perbedaan dalam pengelolaan jabatan akademik profesor. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai implikasi kasus ini terhadap integritas akademik, akuntabilitas, dan transparansi dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Rektor ULM, Prof. Ahmad Alim Bachri, akhirnya mengakui adanya pencabutan 17 gelar guru besar, setelah sebelumnya sempat menyatakan belum menerima SK SK resmi disampaikan melalui Surat Nomor 4159/A3/KP.03.05/2025 dari Kemdiktisaintek, tertanggal 19 Agustus 2025 dan ditandatangani Bhimo Widyo Andoko atas nama Sekjen.
Nama-nama dosen yang gelar guru besarnya dibatalkan antara lain: 1. Dr Abdul Ghofur ST MT,2. Dr Ir Achmad Syamsu Hidayat MP,3. Dr Amka MSi,4. Dr Ahmad Yunani SE MSi,5. Dr Amida SSi MSi Apt,6. Dr Darmiyati SPd MPd,7. Dewi Anggraini SSi M App Sci PhD, 8. Dr Hairudinor SSos MM, 9. Dr Drs Herry Porda Nugroho Putro MPd, 10. Dr Huldani MImun, 11. Dr Kissinger SHut MSi, 12. Dr Juhriansyah Dalle SPd MKom PhD, 13. Laila Refiana SPsi MSi PhD, 14. Dr Dra Rabiatul Adawiyah MSi, 15. Dr Sunarno Basuki MKes, 16. Dr Syaiful Hifni SE AK MSi, 17. Dr dr Harapan Parlindungan Ringoringo SpA.
Rektor menegaskan bahwa pencabutan gelar ini tidak memengaruhi akreditasi ULM maupun pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. ULM akan melakukan monitoring dan pendampingan agar dosen-dosen tersebut bisa memperbaiki dan mengajukan kembali jabatan akademiknya sesuai aturan.Pihak kampus berkomitmen memperkuat integritas, akuntabilitas, transparansi, dan good university governance.
Krisis Akademik ULM: Pembatalan 17 Guru Besar dan Implikasi Tata Kelola Perguruan Tinggi
Pembatalan 17 gelar guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) menjadi peristiwa penting dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. Melalui Surat Nomor 4159/A3/KP.03.05/2025 tertanggal 19 Agustus 2025, yang ditandatangani Bhimo Widyo Andoko atas nama Sekretaris Jenderal, ULM resmi menerima dokumen digital berupa 17 SK pembatalan jabatan akademik fungsional profesor. Rektor ULM, Prof. Ahmad Alim Bachri, pada awalnya sempat meragukan keabsahan informasi pencabutan gelar tersebut. Namun, setelah dokumen resmi masuk melalui Sistem Naskah Dinas Elektronik (Sinde), pihak universitas akhirnya mengakui dan menghormati keputusan kementerian. Ia menegaskan bahwa pencabutan gelar guru besar ini tidak berpengaruh pada kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi maupun status akreditasi ULM. Daftar nama dosen yang gelar profesornya dibatalkan mencakup berbagai bidang ilmu, mulai dari sains, kedokteran, ekonomi, hingga pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa masalah bukan terjadi pada satu fakultas saja, melainkan bersifat lintas disiplin di lingkungan ULM.
Rektor menyatakan pihaknya akan melakukan monitoring dan pendampingan terhadap para dosen tersebut, sehingga mereka tetap dapat berkarya, memperbaiki kekurangan, dan mengajukan kembali kenaikan jabatan akademik sesuai ketentuan. Komitmen integritas, transparansi, akuntabilitas, dan penerapan good university governance ditekankan sebagai langkah pemulihan kepercayaan publik.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan penting bagi tata kelola pendidikan tinggi: bagaimana mekanisme evaluasi jabatan akademik profesor dilakukan, dan sejauh mana transparansi administratif dapat menjamin objektivitas proses tersebut? ULM kini menghadapi ujian bukan hanya pada aspek akademis, tetapi juga reputasi institusi di mata masyarakat. Dalam perspektif kebijakan publik, kasus ini menjadi momentum refleksi bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk memperkuat sistem penjaminan mutu internal, mengedepankan integritas akademik, serta mengantisipasi potensi krisis kepercayaan yang dapat merugikan dunia pendidikan nasional.
Analisis Hukum Kasus Pembatalan 17 Guru Besar ULM
1. Analisis Kategorisasi Hukum, Mengelompokkan peristiwa hukum ke dalam kategori norma yang relevan. Jenis Peristiwa Hukum: Administrasi Kepegawaian Dosen PNS. Kategori Norma: UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 48 ayat (1): jabatan akademik dosen meliputi asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Pasal 49 ayat (1): “Pengangkatan, kenaikan pangkat, dan pemberhentian dari jabatan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilakukan oleh perguruan tinggi setelah mendapat pertimbangan dari Senat Perguruan Tinggi sesuai dengan kewenangannya.” PP No. 37 Tahun 2009 tentang Dosen, Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.Pasal 47 ayat (1): “Pengangkatan, kenaikan pangkat, dan pemberhentian dari jabatan akademik dosen ditetapkan oleh Menteri.” Permenristekdikti No. 26 Tahun 2015 tentang Jabatan Akademik Dosen, Kategori: Hukum Administrasi Negara (HAN) → ranah keputusan tata usaha negara (KTUN) berupa SK pencabutan jabatan akademik.Pasal 5 ayat (1): “Jabatan akademik profesor diberikan kepada dosen dengan kualifikasi akademik doktor yang memenuhi persyaratan karya ilmiah dan rekam jejak akademik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 15 ayat (1): “Profesor dapat diberhentikan dari jabatannya apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau melanggar norma dan etika akademik.
2. Analisis Klarifikasi Hukum, Menjelaskan norma hukum yang digunakan dan hubungannya dengan fakta.nNorma Hukum: Pasal 49 UU 14/2005: pengangkatan, kenaikan pangkat, dan pemberhentian jabatan akademik ditetapkan oleh Menteri. Pasal 5 Permenristekdikti 26/2015: Profesor diberikan kepada dosen yang memenuhi syarat kualifikasi akademik, karya ilmiah, serta rekam jejak tridharma. Pasal 15 Permenristekdikti 26/2015: Profesor dapat dicabut bila terdapat ketidaksesuaian persyaratan atau pelanggaran integritas akademik. Hubungan dengan Fakta: SK Kemdiktisaintek No. 4159/A3/KP.03.05/2025 adalah KTUN yang mencabut jabatan akademik 17 dosen karena ditemukan ketidaksesuaian administrasi.
3. Analisis Verifikasi Hukum, Menguji kebenaran formal dan material suatu keputusan. Formalitas: SK diterbitkan oleh pejabat berwenang (Menteri melalui Sekjen), sesuai Pasal 49 UU 14/2005 → sah secara kewenangan.Materialitas: Alasan pencabutan adalah hasil evaluasi administrasi. Pertanyaan: apakah proses pemeriksaan memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)? Pasal 10 ayat (1) UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan → asas kepastian hukum, kecermatan, keterbukaan.Kesimpulan: secara formal sah, tetapi secara material masih bisa diperdebatkan bila dosen merasa tidak diberi hak pembelaan.
4. Analisis Validasi Hukum, Menguji kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku.
Validitas vertikal: SK Kemdiktisaintek harus sesuai UU 14/2005 dan PP 37/2009. Jika tidak sesuai → dapat dibatalkan melalui PTUN. Validitas horizontal: Tidak boleh bertentangan dengan aturan setingkat, misalnya Permenristekdikti 26/2015. Pasal Kunci: Pasal 53 UU 30/2014: Keputusan dapat dibatalkan bila terdapat penyalahgunaan wewenang. Pasal 67 UU 5/1986 tentang PTUN: SK dapat digugat ke PTUN dalam jangka waktu 90 hari.
5. Analisis Falsifikasi Hukum, Menguji kemungkinan kebatalan atau kelemahan keputusan hukum. Potensi Kebatalan: Bila terbukti SK diterbitkan tanpa memberi kesempatan klarifikasi → bertentangan dengan azas audi et alteram partem (hak untuk didengar). Jika SK tidak mencantumkan alasan hukum yang jelas → melanggar Pasal 53 ayat (2) huruf b UU 30/2014 (cacat substansi). Upaya Falsifikasi:nPara dosen dapat menggugat ke PTUN dengan dasar penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran AUPB.
Konsekuensi: Bila hakim PTUN menemukan cacat prosedur, SK pencabutan bisa dinyatakan batal atau tidak sah
Kesimpulan Analisis, Kasus pembatalan 17 Guru Besar ULM termasuk ranah Hukum Administrasi Negara (KTUN). Secara kewenangan, SK Kemdiktisaintek sah (verifikasi formal), tetapi dari aspek prosedur dan transparansi masih dapat diuji (verifikasi material, validasi, falsifikasi), Para dosen yang keberatan memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan ke PTUN sesuai Pasal 53 UU 30/2014 dan Pasal 67 UU 5/1986. Hal ini menegaskan bahwa sistem hukum memberikan mekanisme kontrol terhadap keputusan administratif negara, khususnya dalam dunia akademik.
Lima analisis hukum dengan perbandingan gelar profesor di Indonesia vs luar negeri, supaya lebih komprehensif.
Analisis Perbandingan Hukum Kasus Pencabutan Gelar 17 Guru Besar ULM
1. Kategorisasi Hukum, Indonesia: Gelar Guru Besar/Profesor adalah jabatan akademik fungsional tertinggi (UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PP tentang Dosen, dan Permendikbud tentang Jabatan Fungsional Dosen).Karena ini jabatan administratif, maka pencabutan merupakan tindakan hukum administrasi negara.
Luar negeri (Eropa/AS): Profesor adalah jabatan akademik yang ditetapkan oleh universitas, bukan oleh kementerian.nNegara tidak mencampuri, kecuali terkait akreditasi dan etika akademik. Implikasi: Di Indonesia, profesor adalah “status kenegaraan” (legal–administratif), sementara di luar negeri lebih pada “status akademik” yang melekat pada universitas
2. Klarifikasi Hukum, Indonesia: Norma dasar → UU Pendidikan Tinggi & Permendikbud. Menteri berwenang mencabut jika ada syarat tidak terpenuhi (misalnya publikasi ilmiah palsu, jurnal predator, plagiasi, atau pelanggaran administrasi).nProses seharusnya memberi hak jawab kepada dosen terkait (asas audi et alteram partem).
Luar negeri: Jika ada dugaan pelanggaran, mekanismenya melalui komite etik akademik di universitas. Sanksinya bisa berupa pencabutan jabatan, pemecatan, atau penarikan kembali karya ilmiah. Negara tidak langsung mencabut, kecuali ada kasus hukum pidana (fraud, korupsi, dll).
3. Verifikasi Hukum, Indonesia: Perlu diverifikasi apakah syarat substantif (publikasi bereputasi, karya ilmiah, masa jabatan akademik) memang tidak dipenuhi. Dokumen yang diperiksa: SK pengangkatan, daftar publikasi, hasil penilaian tim penilai, rekomendasi rektor.
Luar negeri: Verifikasi dilakukan secara peer review oleh universitas atau asosiasi profesi. Misalnya, jika publikasi di jurnal predator, maka reputasi akademik runtuh dan bisa diproses internal.
Perbedaan utama: di Indonesia verifikasi administratif oleh pemerintah, di luar negeri verifikasi akademik oleh universitas.
4. Validasi Hukum, Indonesia: Prinsip legalitas: apakah pencabutan sesuai aturan tertulis.Prinsip proporsionalitas: apakah pelanggaran sebanding dengan sanksi pencabutan gelar. Prinsip keadilan: apakah dosen diberi hak membela diri.Jika ya → sah; jika tidak → cacat administrasi. Luar negeri: Validasi lebih pada asas akademik → integritas, etika, reputasi ilmiah.Jika profesor terbukti melanggar kode etik akademik (plagiat, manipulasi data), maka universitas dapat memecat.
5. Falsifikasi Hukum, Indonesia: Jika ternyata kesalahan administratif terjadi di level universitas, bukan dosen, maka pencabutan bisa dinilai salah alamat. Mekanisme koreksi → gugatan ke PTUN. Luar negeri: Jika proses internal universitas dianggap tidak adil, profesor bisa menggugat secara perdata (misalnya di AS: wrongful termination lawsuit). Namun biasanya penyelesaian lebih ke reputasi akademik, bukan administratif negara.
Kesimpulan Komparatif, Indonesia: Gelar Profesor/Guru Besar adalah jabatan akademik yang ditetapkan oleh Menteri, sehingga pencabutan merupakan tindakan hukum administrasi negara. Proses hukum bisa diuji melalui PTUN jika ada keberatan. Luar negeri: Profesor adalah jabatan akademik yang ditetapkan oleh universitas, sehingga pencabutan dilakukan oleh universitas/komite etik. Negara jarang terlibat kecuali ada unsur pidana. Inti perbedaan: di Indonesia, profesor adalah jabatan administratif–kenegaraan, di luar negeri profesor adalah jabatan akademik–institusional. Jadi, kasus “17 Guru Besar dicabut” ini mencerminkan kontrol negara yang kuat atas gelar akademik di Indonesia, berbeda dengan tradisi di luar negeri yang menyerahkan penuh pada universitas. ( Sri/ Reni )