Analisis Hukum Kasus Dugaan Korupsi Ria Norsan

Analisis Hukum Kasus Dugaan Korupsi Ria Norsan

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

Kasus dugaan korupsi proyek jalan di Kabupaten Mempawah yang terjadi pada tahun 2015, ketika Ria Norsan masih menjabat sebagai Bupati, kini sedang dalam proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Proyek tersebut menggunakan dana dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan nilai mencapai sekitar Rp 40 miliar. KPK telah melakukan penggeledahan di rumah pribadi dan rumah dinas Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan, serta rumah dinas Bupati Mempawah, dan menyita sejumlah dokumen serta barang elektronik. Hingga Oktober 2025, Ria Norsan masih berstatus sebagai saksi, sementara tiga orang lainnya — dua pejabat dan satu pihak swasta — telah ditetapkan sebagai tersangka.
KPK mendalami dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan dan pelaksanaan proyek jalan Sekabuk–Sei Sederam dan Sebukit Rama–Sei Sederam, yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara. Pemeriksaan terhadap Ria Norsan dilakukan di Polda Kalbar untuk menggali keterlibatan administratif dan kewenangan hukumnya dalam proses pengajuan DAK dan pelaksanaan proyek tersebut
1. Analisis Kategorisasi Hukum
Analisis kategorisasi hukum dilakukan untuk mengidentifikasi jenis pelanggaran hukum yang terjadi. Dalam hal ini, kasus tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun…”
Dengan demikian, kasus ini secara hukum dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara. Kategori hukumnya juga terkait dengan tindak pidana jabatan (maladministrasi pemerintahan) yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
2. Analisis Klarifikasi Hukum
Dalam tahap analisis klarifikasi hukum, dilakukan penjelasan terhadap pihak-pihak yang terlibat, bentuk kewenangan, dan tanggung jawab hukumnya. Ria Norsan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Bupati Mempawah, bukan sebagai Gubernur Kalimantan Barat. Artinya, klarifikasi hukum diarahkan untuk menilai sejauh mana ia memiliki kewenangan atau keterlibatan langsung dalam pelaksanaan proyek DAK tersebut. Berdasarkan prinsip tanggung jawab jabatan (official liability), setiap pejabat publik hanya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum jika terdapat bukti adanya penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 30 Tahun 2014). Dalam hal ini, KPK berupaya mengklarifikasi apakah keputusan administratif terkait proyek jalan itu diambil oleh Ria Norsan sendiri atau merupakan kewenangan teknis Dinas PUPR dan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Mempawah. Jika terbukti keputusan itu bersumber dari instruksi atau intervensi langsung, maka ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun, jika ia hanya menandatangani keputusan administratif tanpa mengetahui adanya penyimpangan teknis, maka status hukumnya tetap sebagai saksi.
3.Analisis Verifikasi Hukum
Analisis verifikasi hukum merupakan proses untuk menguji dan memastikan kebenaran data dan bukti hukum yang ada. KPK telah melakukan penggeledahan dan penyitaan dokumen dari berbagai lokasi, termasuk rumah dinas Ria Norsan dan kantor Dinas PUPR. Langkah ini merupakan bagian dari verifikasi hukum terhadap bukti administrasi dan transaksi keuangan yang berkaitan dengan proyek jalan tersebut. Proses verifikasi ini diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019), yang memberikan kewenangan kepada penyidik KPK untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti yang relevan.
Dalam konteks ini, KPK tengah memverifikasi: Dokumen pengajuan DAK dan penetapan anggaran,Kontrak kerja sama antara pemerintah daerah dan pihak kontraktor,Bukti pembayaran proyek, dan Notulensi rapat pengambilan keputusan anggaran.Verifikasi ini bertujuan memastikan adanya hubungan kausalitas antara kebijakan yang ditandatangani Ria Norsan dengan dugaan penyimpangan keuangan negara.
4. Analisis Validasi Hukum
Analisis validasi hukum dilakukan untuk menilai keabsahan dan kekuatan hukum dari setiap tindakan administratif dan bukti yang diperoleh.Dalam kasus ini, validasi diarahkan pada sah atau tidaknya proses administrasi penganggaran dan pelaksanaan proyek berdasarkan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (beserta perubahannya), proses lelang dan pelaksanaan proyek harus memenuhi prinsip transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas.
Apabila ditemukan bahwa dokumen atau kontrak yang disahkan oleh pejabat daerah (termasuk Bupati) tidak sesuai dengan prosedur hukum — misalnya terdapat manipulasi spesifikasi teknis atau mark-up anggaran — maka tindakan tersebut dapat dianggap tidak sah secara hukum dan menjadi dasar penyidikan tindak pidana korupsi.Validasi hukum juga mencakup penilaian apakah tindakan Ria Norsan sebagai kepala daerah saat itu sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) seperti asas akuntabilitas, keterbukaan, dan proporsionalitas (Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014).
5. Analisis Falsifikasi Hukum
Analisis falsifikasi hukum digunakan untuk menguji kemungkinan adanya kesalahan, manipulasi, atau inkonsistensi dalam pernyataan dan bukti hukum.Dalam kasus ini, falsifikasi hukum mencakup upaya untuk membuktikan apakah terdapat rekayasa administratif atau kontraktual dalam proyek pembangunan jalan tersebut. Misalnya, apakah dokumen pengadaan disusun secara fiktif, atau apakah laporan realisasi pekerjaan berbeda dari kenyataan di lapangan.
KPK dalam hal ini melakukan uji kebenaran materiil terhadap seluruh dokumen dan keterangan saksi, guna memastikan tidak ada keterangan yang direkayasa. Jika terbukti terdapat falsifikasi dokumen (Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat) atau keterangan palsu dalam penyidikan (Pasal 242 KUHP), maka hal itu dapat memperkuat dasar hukum penetapan tersangka baru, termasuk terhadap pejabat yang terlibat secara administratif.
Kesimpulan Umum Analisis Hukum
Berdasarkan kelima pendekatan analisis hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa posisi hukum Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan masih sebagai saksi, karena belum ditemukan bukti hukum yang memadai untuk menjeratnya sebagai tersangka. Proses penyidikan yang dilakukan KPK masih berfokus pada pembuktian administratif dan verifikasi kontraktual terhadap pejabat teknis Dinas PUPR dan pihak kontraktor. Namun, apabila hasil validasi dan verifikasi hukum nanti menemukan bukti baru yang menunjukkan adanya instruksi langsung atau tanda tangan kebijakan yang melanggar prosedur hukum, maka status hukum Ria Norsan dapat berubah sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu turut serta dalam melakukan perbuatan pidana.
Dengan demikian, kasus ini masih berada pada tahap pendalaman hukum, di mana seluruh analisis — kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum — menjadi instrumen penting untuk menilai secara objektif apakah tindakan pejabat daerah tersebut mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan atau tidak dalam perspektif hukum administrasi maupun hukum pidana korupsi di Indonesia.
Secara analisis yuridis normatif dan empiris secara lengkap, sebagai bagian dari kajian hukum komprehensif atas kasus dugaan korupsi proyek jalan DAK di Mempawah tahun 2015 yang menyeret nama Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan. Analisis ini melengkapi kelima pendekatan hukum sebelumnya (kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum).
Analisis Yuridis Normatif dan Empiris terhadap Kasus Ria Norsan
1.Analisis Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif menilai kasus berdasarkan norma hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tujuannya adalah melihat apakah tindakan pejabat publik (dalam hal ini Ria Norsan) selaras dengan ketentuan undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Dasar hukum utama yang relevan antara lain:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 55 dan 56 tentang penyertaan dalam tindak pidana.
a. Aspek Legalitas dan Penyalahgunaan Wewenang
Dalam perspektif hukum administrasi, penyalahgunaan wewenang (misuse of authority) menjadi pintu utama untuk menentukan apakah seorang pejabat publik dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Pasal 17 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa:
“Penyalahgunaan wewenang meliputi:
a. melampaui wewenang,
b. mencampuradukkan wewenang, dan/atau
c. bertindak sewenang-wenang.”
Dalam konteks Ria Norsan, KPK perlu membuktikan apakah kebijakan pengajuan DAK dan penetapan proyek jalan yang ditandatangani saat menjabat Bupati Mempawah telah melampaui kewenangannya, ataukah sekadar tindakan administratif yang dilakukan berdasarkan prosedur. Jika tidak terbukti ada pelampauan kewenangan, maka unsur penyalahgunaan wewenang tidak terpenuhi, dan status hukum Ria Norsan tetap sebagai saksi.
b. Asas Equality Before the Law
Prinsip “semua orang sama di hadapan hukum” (equality before the law) diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan ditegaskan kembali dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kasus ini, kedudukan Ria Norsan sebagai pejabat publik tidak meniadakan tanggung jawab hukum apabila ditemukan bukti pelanggaran. KPK berwenang memeriksa kepala daerah aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf a UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, yaitu untuk penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Artinya, tidak ada kekebalan hukum bagi gubernur, dan penyidikan terhadap Ria Norsan merupakan bentuk penerapan prinsip kesetaraan di hadapan hukum
c. Asas Akuntabilitas dan Transparansi
Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 menegaskan bahwa setiap keputusan pejabat pemerintahan harus dilandasi dengan asas akuntabilitas dan keterbukaan. Dalam proyek jalan Mempawah, apabila pengambilan keputusan dan penggunaan DAK dilakukan tanpa transparansi, atau terjadi mark-up biaya proyek, maka prinsip ini telah dilanggar. Namun, berdasarkan data publik sementara, belum ditemukan bukti sahih bahwa Ria Norsan secara pribadi menandatangani atau menginstruksikan penyelewengan dana proyek. Oleh karena itu, secara normatif, ia belum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebelum terbukti keterlibatan langsungnya.
2. Analisis Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris menilai bagaimana hukum benar-benar dijalankan di lapangan — termasuk perilaku aparat penegak hukum, kondisi sosial politik, dan dampak terhadap masyarakat
a. Konteks Sosio-Politik
Sebagai Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan merupakan figur politik yang memiliki basis elektoral kuat di Mempawah. Pemeriksaan terhadapnya oleh KPK menarik perhatian publik karena menyentuh isu integritas pejabat daerah. Secara empiris, hal ini menunjukkan bahwa KPK sedang menegakkan prinsip good governance tanpa memandang jabatan. Namun, dinamika sosial politik di daerah juga memengaruhi persepsi publik: ada pihak yang menilai pemeriksaan ini bagian dari proses hukum murni, sementara yang lain melihatnya sebagai potensi manuver politik menjelang periode pemilihan kepala daerah berikutnya.
b. Prosedural dan Etika Pemerintahan
Empirisnya, proses penyidikan terhadap pejabat daerah sering kali menimbulkan dualitas: di satu sisi, pejabat tersebut tetap menjalankan fungsi pemerintahan, di sisi lain, status hukumnya dalam penyidikan menimbulkan tekanan moral dan politik. Dalam kasus ini, Ria Norsan tetap menjalankan tugas sebagai Gubernur, sementara KPK melakukan pemeriksaan di Pontianak (bukan di Jakarta) untuk memudahkan akses pemeriksaan tanpa mengganggu tugas kedinasan. Langkah ini mencerminkan penerapan prinsip proporsionalitas hukum — yakni penegakan hukum dilakukan tanpa menghambat stabilitas pemerintahan daerah.
c. Dampak terhadap Tata Kelola Pemerintahan Daerah
Kasus ini memberikan efek empiris terhadap peningkatan pengawasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Setelah penggeledahan dan pemeriksaan, sejumlah kepala dinas diinstruksikan untuk memperketat audit internal proyek-proyek berbasis DAK dan APBD. Dengan demikian, efek empirisnya adalah penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas anggaran publik.
Selain itu, secara empiris pula, penyidikan kasus ini memperlihatkan bahwa KPK menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential investigation), dengan tidak serta merta menetapkan pejabat tinggi sebagai tersangka sebelum bukti kuat terkumpul — sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.Integrasi Normatif dan Empiris
Dari perpaduan dua pendekatan ini dapat disimpulkan: Secara normatif, tindakan KPK terhadap Ria Norsan sah secara hukum, sejalan dengan kewenangan penyidikan terhadap pejabat publik berdasarkan UU KPK.
Secara empiris, pemeriksaan terhadap Ria Norsan menunjukkan bahwa hukum dijalankan secara hati-hati, menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan stabilitas pemerintahan daerah. Belum ada bukti konkret yang mengindikasikan keterlibatan langsung Ria Norsan dalam penyimpangan keuangan negara; sehingga statusnya sebagai saksi adalah bentuk penerapan prinsip objektivitas hukum.
Kesimpulan Akhir
Analisis hukum secara komprehensif — mencakup lima analisis (kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi) serta dua pendekatan (yuridis normatif dan empiris) — menunjukkan bahwa kedudukan hukum Ria Norsan saat ini masih dalam posisi saksi yang diperiksa untuk menjelaskan kebijakan administratif pada masa ia menjabat sebagai Bupati Mempawah.
Namun, jika dalam proses penyidikan lanjutan KPK ditemukan bukti valid tentang: Intervensi kebijakan dalam proses pengadaan,Tanda tangan langsung pada dokumen bermasalah, atauHubungan kausal dengan kerugian negara, maka secara hukum, Ria Norsan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana
Hingga saat ini, berdasarkan asas due process of law, kasus ini masih berada dalam tahap penyidikan administratif dan belum menyentuh ranah pembuktian pidana terhadap kepala daerah, menandakan bahwa proses hukum masih terbuka dan bergantung pada hasil verifikasi serta validasi lanjutan oleh KPK. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This