ANALISIS HUKUM TATA NEGARA DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL PENGAKUAN DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT DALAM PROTOKOL PENYERAHAN KEDAULATAN 1949

ANALISIS HUKUM TATA NEGARA DARI ASPEK HUKUM INTERNASIONAL PENGAKUAN DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT DALAM PROTOKOL PENYERAHAN KEDAULATAN 1949

Oleh : Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak)
Abstrak:
Artikel ini menganalisis status hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan Protokol Penyerahan Kedaulatan 1949 dalam perspektif hukum internasional. Dengan merujuk pada Konvensi Wina 1969, Konvensi Montevideo 1933, dan Piagam PBB, penulis menegaskan bahwa DIKB secara hukum diakui sebagai entitas kenegaraan dalam Republik Indonesia Serikat. Penghapusan status tersebut tanpa prosedur hukum internasional dianggap berpotensi melanggar prinsip pacta sunt servanda, hak menentukan nasib sendiri, serta norma pengakuan negara. Analisis ini menawarkan dasar hukum yang kuat untuk rekonstruksi status keistimewaan DIKB dalam kerangka sejarah dan advokasi hukum internasional.Dalam konteks diskursus otonomi khusus Kalimantan Barat dewasa ini, temuan ini memperkuat argumentasi historis dan yuridis bahwa daerah ini memiliki dasar hukum internasional untuk memperoleh kembali status keistimewaannya. Kajian ini membuka ruang bagi rekonstruksi kebijakan otonomi khusus berbasis pengakuan sejarah, hukum perjanjian, dan hak kolektif masyarakat adat serta budaya lokal.

Tulisan ini memaparkan, bahwa mengenai status hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan Protokol Penyerahan Kedaulatan 1949 membuka perdebatan penting tentang interpretasi sejarah dan hukum di Indonesia.  Analisisnya, yang  mengartikulasikan  isu sejarah ke dalam kerangka hukum internasional,  menawarkan perspektif baru yang patut dipertimbangkan.  Dengan merujuk pada Konvensi Wina, Konvensi Montevideo, dan Piagam PBB,  Nur  menunjukkan bagaimana pengakuan DIKB dalam Protokol 1949 memiliki implikasi hukum internasional yang mengikat.  Penghapusan status DIKB kemudiannya,  menurutnya,  berpotensi melanggar prinsip pacta sunt servanda, hak menentukan nasib sendiri, dan kriteria kenegaraan.
Meskipun analisis ini  memberikan  kerangka  yang  bermanfaat,  perlu  diingat  bahwa  interpretasi  hukum  internasional  seringkali  kompleks  dan  tergantung  pada  konteks.  Klaim  mengenai  pelanggaran  hukum  internasional  perlu  diperkuat  dengan  kajian  lebih  lanjut  mengenai  praktik  negara  dan  jurisprudensi  yang  relevan.  Namun,  kajian  Nur  ini  merupakan  salah  satu  dari  sedikit  upaya  untuk  mempertimbangkan  isu  ini  dari  sudut  pandang  hukum  internasional.
Lebih jauh,  kajian  ini  memiliki  implikasi  yang  luas,  terutama  dalam  konteks  perdebatan  mengenai  otonomi  khusus  di  Kalimantan  Barat.  Analisis  Nur  memberikan  landasan  historis  dan  yuridis  untuk  menguatkan  argumentasi  mengenai  hak  sejarah  dan  kedaulatan  daerah.  Oleh  karena  itu,  kajian  ini  bukan  hanya  bernilai  akademis,  tetapi  juga  memiliki  potensi  untuk  mempengaruhi  kebijakan  publik  di  masa  mendatang.  Perdebatan  ini  menunjukkan  pentingnya  untuk  terus  menganalisis  sejarah  kita  melalui  berbagai  lensa,  termasuk  lensa  hukum  internasional,  untuk  mendapatkan  pemahaman  yang  lebih  lengkap  dan  mendalam.  Kita  harus  menghargai  kompleksitas  sejarah  dan  terus  mencari  jalan  untuk  mencari  keadilan  dan  penyelesaian  yang  adil.
Kata Kunci: DIKB, Protokol 1949, Hukum Internasional, Konvensi Wina, Self-Determination, Pacta Sunt Servanda.
Pendahuluan:
Perjanjian Kedaulatan antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, yang dihasilkan dari Konferensi Meja Bundar (KMB), memiliki implikasi hukum internasional yang mendalam.  Salah satu poin penting yang kurang terkaji secara komprehensif adalah pengakuan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai bagian integral dari RIS.  Pengakuan ini, yang termaktub dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan,  menimbulkan pertanyaan mengenai status hukum DIKB pasca penghapusan statusnya oleh pemerintah Indonesia.  Artikel ini akan menganalisis status hukum DIKB berdasarkan hukum internasional, dengan fokus pada potensi pelanggaran hukum internasional yang terjadi akibat penghapusan status tersebut.
Kerangka Hukum Internasional:
Analisis ini akan berlandaskan pada beberapa instrumen hukum internasional utama:
1. Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (1969): Protokol Penyerahan Kedaulatan memenuhi definisi “perjanjian”  dalam Konvensi Wina,  sehingga  pengakuan  terhadap  DIKB  memiliki  ikatan  hukum  internasional yang mengikat (pacta sunt servanda).  Penghapusan sepihak status DIKB berpotensi melanggar prinsip ini (Pasal 26). Lebih lanjut, Pasal 27 Konvensi Wina menegaskan bahwa hukum domestik tidak dapat menjadi pembenaran atas kegagalan menjalankan kewajiban perjanjian internasional.
2. Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara (1933):  Konvensi ini  menetapkan  kriteria kenegaraan, termasuk penduduk tetap, wilayah tertentu, pemerintahan, dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain (Pasal 1).  DIKB pada tahun 1949 memenuhi kriteria tersebut,  menunjukkan  bahwa  pengakuan  dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan memiliki dasar hukum internasional yang kuat.
3. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Hak Menentukan Nasib Sendiri:  Piagam PBB, khususnya Pasal 1(2),  menegaskan  prinsip  persahabatan  antar  negara  yang  berbasis  pada  hormat  terhadap  hak  menentukan nasib sendiri.  Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) memperkuat prinsip ini.  Penghapusan status DIKB tanpa  konsultasi  yang  memadai  dengan  penduduk  berpotensi  melanggar  hak  menentukan  nasib sendiri.
Analisis Sejarah Hukum
Protokol Penyerahan Kedaulatan 1949 secara eksplisit menyebutkan DIKB sebagai bagian dari RIS.  Ini bukan semata catatan administratif, melainkan pengakuan formal yang memiliki konsekuensi hukum internasional.  Penghapusan status DIKB kemudiannya, tanpa mekanisme hukum internasional yang sah,  dapat  dianggap sebagai pelanggaran terhadap pacta sunt servanda, hak menentukan nasib sendiri, dan kriteria kenegaraan menurut Konvensi Montevideo.
Analisis hukum diatas menunjukkan, bahwa pengakuan DIKB dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan memiliki landasan hukum internasional yang kuat.  Penghapusan status tersebut tanpa proses hukum internasional yang sesuai berpotensi melanggar sejumlah prinsip hukum internasional.  Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji  praktik  negara dan jurisprudensi internasional  yang relevan untuk memperkuat argumen ini. Namun,  kajian  ini  memberikan  perspektif  baru  mengenai  isu  sejarah dan hukum yang kompleks seputar DIKB.  Lebih  lanjut, kajian ini dapat  memberikan  kontribusi  dalam   menguatkan  advokasi   atas hak-hak sejarah dan kedaulatan daerah.
Analisis fakta hukum dari sejarah hukum  mengenai status hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan Protokol Penyerahan Kedaulatan 1949  menarik karena  mencoba  mengartikulasikan  isu sejarah  ke dalam kerangka hukum internasional.  Ia  dengan tepat  menunjuk  pada  Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, Konvensi Montevideo,  dan Piagam PBB sebagai dasar argumennya.  Namun,  perlu diingat bahwa  interpretasi hukum internasional  seringkali kompleks dan  tergantung pada konteks.  Klaim  mengenai  pelanggaran  hukum internasional  perlu  diperkuat dengan  kajian lebih lanjut  mengenai  praktik  negara dan  jurisprudensi  yang relevan.  Meskipun demikian, analisis ini  memberikan  kerangka  yang  bermanfaat untuk  menganalisis  isu  sejarah  dan  hukum  yang  kompleks ini.Tahun 1949,  di tengah hiruk-pikuk perundingan KMB,  Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) tercatat dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan.  Bukan sekadar catatan administratif,  melainkan pengakuan formal sebagai entitas politik dalam Republik Indonesia Serikat.  Jika kita menganalisisnya  melalui lensa hukum internasional,  menunjukkan bagaimana  pengakuan ini  mengikat secara hukum  berdasarkan Konvensi Wina.  Penghapusan status DIKB kemudiannya,  menurut analisisnya,  berpotensi melanggar prinsip  pacta sunt servanda,  hak menentukan nasib sendiri,  dan kriteria kenegaraan  menurut Konvensi Montevideo.  Analisis ini  menawarkan  perspektif  baru  mengenai  sejarah  dan  status  hukum  DIKB,  meski  perlu  kajian  lebih  mendalam  untuk  memperkuat  klaim  pelanggaran  hukum  internasional.
Fakta Sejarah Hukum
Pada tanggal 27 Desember 1949, Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat secara resmi menandatangani Protokol Penyerahan Kedaulatan, yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Dalam protokol tersebut, Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) secara eksplisit disebut sebagai salah satu satuan kenegaraan yang membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), sejajar dengan Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, dan lainnya. Penyebutan ini bukan hanya administratif, melainkan berstatus hukum sebagai bentuk pengakuan kenegaraan (constituent state).
1. Protokol Penyerahan Kedaulatan sebagai Perjanjian Internasional
Menurut Pasal 2 ayat (1)(a) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, disebutkan:
“‘Treaty’ means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law…”
Maka, Protokol Penyerahan Kedaulatan adalah treaty sah yang mengikat secara hukum internasional karena:
Disepakati antara dua negara berdaulat (Belanda dan RIS),
Berbentuk tertulis, Tunduk pada hukum internasional.
Dengan demikian, pengakuan atas DIKB dalam protokol tersebut mengikat secara hukum dan tidak dapat dihapus secara sepihak tanpa mekanisme hukum internasional yang sah.
2. Prinsip Pacta Sunt Servanda dan Estoppel
Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan:
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”
Dan Pasal 27 menegaskan:
“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty.”
Dengan demikian, penghapusan status DIKB melalui Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950 atau kebijakan internal NKRI setelah 1950 tidak dapat menghapus fakta hukum internasional yang telah diakui dalam Protokol 1949.
3. Pengakuan Entitas Politik: Konvensi Montevideo 1933
Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara (1933) menetapkan pada Pasal 1 bahwa:
“The state as a person of international law should possess the following qualifications:a permanent population; a defined territory; government; capacity to enter into relations with other states.”
Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tahun 1949–1950 memenuhi keempat syarat tersebut karena memiliki:
Wilayah historis Kesultanan Pontianak, Pemerintahan lokal (Swapraja), Penduduk tetap,
Berpartisipasi dalam struktur federal RIS.
Maka, pengakuan terhadap DIKB dalam Protokol tersebut memiliki standar entitas kenegaraan (state entity) dalam hukum internasional.
4. Hak Menentukan Nasib Sendiri: Piagam PBB
Pasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) menegaskan:
“To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples…”
Kemudian ditegaskan pula dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV), 14 Desember 1960:
“All peoples have the right to self-determination; by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
Maka, penghapusan status istimewa DIKB tanpa proses konsultasi rakyat atau perwakilan DIKB sendiri berpotensi melanggar prinsip hukum internasional tentang self-determination.
5. Konsekuensi Hukum atas Pelanggaran
Menurut Pasal 60 Konvensi Wina 1969, pelanggaran terhadap perjanjian internasional dapat menimbulkan:
“A material breach of a bilateral treaty by one of the parties entitles the other to invoke the breach as a ground for terminating the treaty or suspending its operation in whole or in part.”
Dalam konteks ini, penghapusan sepihak terhadap pengakuan atas DIKB (yang telah diatur dalam protokol internasional) bisa menjadi dasar tuntutan hak sejarah dan hukum di forum nasional maupun internasional.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan
1. Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) secara hukum diakui secara internasional dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan 1949, yang merupakan perjanjian internasional berdasarkan hukum traktat (treaty law).
2. Penghapusan status tersebut melalui instrumen hukum nasional tanpa proses hukum internasional berpotensi bertentangan dengan Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina 1969.
3. Berdasarkan Konvensi Montevideo dan prinsip self-determination PBB, pengakuan terhadap DIKB dapat digunakan sebagai dasar rekonstruksi atau advokasi hukum untuk pengembalian status keistimewaan secara sah.
LEGAL OPINION (IN ENGLISH)
On the International Legal Status of the Special Region of West Kalimantan (Daerah Istimewa Kalimantan Barat) based on the Protocol of Transfer of Sovereignty of 27 December 1949
I. Legal Basis and Context
On December 27, 1949, the Government of the Kingdom of the Netherlands and the Government of the Republic of the United States of Indonesia (Republik Indonesia Serikat / RIS) signed an internationally binding agreement titled the Protocol of the Transfer of Sovereignty, as the result of the Round Table Conference (RTC) held in The Hague.
Within this protocol, the Special Region of West Kalimantan (Daerah Istimewa Kalimantan Barat) is explicitly recognized as one of the constituent regions forming the Republic of the United States of Indonesia. This recognition is not merely administrative, but constitutes a legally acknowledged political entity under international law.
II. Treaty Law and Legal Recognition
According to Article 2(1)(a) of the Vienna Convention on the Law of Treaties (1969):
“’Treaty’ means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law…”
The Protocol of Transfer of Sovereignty fulfills this definition, making it a binding treaty between sovereign states (Netherlands and RIS). Therefore, the inclusion of DIKB within this protocol carries permanent international legal consequences.
Further, Article 26 of the Vienna Convention stipulates:
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”
And Article 27 asserts:
“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty.”
Thus, any unilateral revocation or retroactive annulment of DIKB’s status by internal Indonesian law post-1950 is legally invalid under international treaty law.
III. Political Entity and Self-Determination
The Montevideo Convention (1933) sets criteria for statehood under Article 1, namely:
1. A permanent population,
2. A defined territory,
3. A government,
4. Capacity to enter into relations with other states.
The Special Region of West Kalimantan fulfilled all these elements in 1949–1950. It was governed by the traditional Sultanate (Swapraja), had a defined territory and population, and was politically recognized within RIS.
Furthermore, the United Nations Charter, Article 1(2), and UNGA Resolution 1514 (XV) affirm the right to self-determination:
“All peoples have the right to self-determination; by virtue of that right they freely determine their political status…”
The abrupt abolition of DIKB’s status without democratic consultation violates this fundamental international principle.
IV. Legal Conclusion
1. The Protocol of December 27, 1949, constitutes a binding international treaty recognizing DIKB as a constituent region with special legal status.
2. The revocation of DIKB’s status via domestic legal instruments (such as Government Regulation No. 21/1950) contradicts international law, especially the principles of pacta sunt servanda and self-determination.
3. Therefore, the Special Region of West Kalimantan retains a historically and legally recognized status under international law, which may serve as the basis for academic, legal, or diplomatic advocacy.
PENDAPAT HUKUM (BAHASA INDONESIA)
Tentang Status Hukum Internasional Daerah Istimewa Kalimantan Barat Berdasarkan Protokol Penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949
I. Dasar Hukum dan Konteks
Pada tanggal 27 Desember 1949, Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menandatangani perjanjian internasional yang sah berjudul Protokol Penyerahan Kedaulatan, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Dalam protokol tersebut, Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) secara eksplisit diakui sebagai salah satu daerah penyusun Republik Indonesia Serikat. Pengakuan ini bersifat kenegaraan dan memiliki akibat hukum permanen dalam hukum internasional, bukan semata administratif.
II. Hukum Traktat dan Pengakuan Hukum Internasional
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1)(a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian:
“Perjanjian berarti kesepakatan internasional antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan tunduk pada hukum internasional…”
Protokol ini memenuhi unsur tersebut dan menjadi perjanjian yang sah dan mengikat secara hukum internasional.
Selanjutnya, Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan:
“Setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dan Pasal 27 menyebutkan:
“Sebuah negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk tidak menjalankan kewajiban dalam perjanjian.”
Maka, penghapusan status DIKB secara sepihak oleh hukum nasional Indonesia pasca 1950 bertentangan dengan hukum traktat internasional.
III. Entitas Politik dan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Konvensi Montevideo (1933) Pasal 1 menetapkan empat syarat kenegaraan:
1. Penduduk tetap,
2. Wilayah tertentu,
3. Pemerintahan,
4. Kemampuan menjalin hubungan luar negeri.
DIKB memenuhi semua syarat ini di bawah struktur Swapraja (Kesultanan Pontianak) dalam negara federasi RIS.
Sementara itu, Piagam PBB Pasal 1 ayat (2) dan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) menegaskan:
“Segala bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, termasuk hak untuk menentukan status politik mereka sendiri…”
Penghapusan status DIKB tanpa persetujuan rakyat atau konsultasi resmi merupakan pelanggaran terhadap prinsip ini
IV. Kesimpulan Hukum
1. Protokol 27 Desember 1949 adalah perjanjian internasional yang mengakui secara sah dan mengikat status Daerah Istimewa Kalimantan Barat.
2. Penghapusan status DIKB melalui PP No. 21/1950 atau hukum nasional lainnya tanpa mekanisme internasional bertentangan dengan Pasal 26–27 Konvensi Wina dan prinsip hak menentukan nasib sendiri
3. Maka, status keistimewaan DIKB secara hukum masih memiliki dasar historis dan yuridis internasional, yang dapat dijadikan dasar untuk rekonstruksi sejarah, kajian akademik, atau upaya diplomasi hukum ke depan.
Tiga point diatas memberikan analisis, bahwa  status hukum DIKB berdasarkan Protokol Penyerahan Kedaulatan 1949, menggunakan Konvensi Wina 1969, Konvensi Montevideo 1933, dan Piagam PBB sebagai landasan.  Penulis berargumen bahwa DIKB diakui sebagai entitas negara dalam RIS, dan penghapusan statusnya berpotensi melanggar prinsip pacta sunt servanda, hak menentukan nasib sendiri, dan norma pengakuan negara.  Analisis ini mendukung rekonstruksi status istimewa DIKB dan relevan dengan diskursus otonomi khusus Kalimantan Barat saat ini.
Kerangka Hukum Internasional:  Analisis didasarkan pada:
– Konvensi Wina 1969: Pengakuan DIKB merupakan perjanjian mengikat (pacta sunt servanda).  Penghapusan sepihak berpotensi melanggar pasal 26 dan 27.
– Konvensi Montevideo 1933: DIKB memenuhi kriteria kenegaraan pada 1949.
– Piagam PBB: Penghapusan status DIKB tanpa konsultasi memadai berpotensi melanggar hak menentukan nasib sendiri.
Analisis Sejarah Hukum: Protokol 1949 secara eksplisit mengakui DIKB sebagai bagian RIS. Penghapusan statusnya tanpa mekanisme hukum internasional yang sah, melanggar prinsip pacta sunt servanda, hak menentukan nasib sendiri, dan kriteria kenegaraan.
Kesimpulan:  Pengakuan DIKB dalam Protokol 1949 memiliki landasan hukum internasional yang kuat. Penghapusannya tanpa proses hukum internasional yang sah berpotensi melanggar sejumlah prinsip hukum internasional.  Penelitian lebih lanjut diperlukan, namun makalah ini memberikan perspektif baru yang bernilai akademis dan potensial mempengaruhi kebijakan publik.
Pendapat Hukum (Legal Opinion): Analisis ini secara komprehensif menganalisis status hukum internasional DIKB berdasarkan Protokol 1949.  Penulis menggunakan hukum traktat (Konvensi Wina), kriteria kenegaraan (Konvensi Montevideo), dan prinsip hak menentukan nasib sendiri (Piagam PBB) untuk menunjukkan bahwa penghapusan status DIKB tanpa proses hukum internasional yang sah berpotensi melanggar hukum internasional.  Kesimpulannya, status istimewa DIKB tetap memiliki dasar hukum internasional yang kuat, dan dapat digunakan sebagai dasar advokasi hukum.
Fakta Sejarah Hukum: analisis ini menjabarkan secara detail fakta sejarah hukum terkait DIKB dalam Protokol 1949 dan konsekuensi hukumnya berdasarkan hukum internasional.  Pengakuan DIKB di Protokol 1949 merupakan perjanjian internasional yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Penghapusan statusnya tanpa proses hukum internasional  melanggar prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip  hak menentukan nasib sendiri.
Secara keseluruhan, makalah ini menawarkan analisis hukum internasional yang mendalam terhadap status DIKB,  memberikan kontribusi signifikan pada pemahaman sejarah dan hukum konstitusional Indonesia.  Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk memperkuat klaim pelanggaran hukum internasional. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This