
Analisis Hukum Perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) dalam Perspektif Teori Melebur dan Lima Analisis Hukum
Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Abstrak
Tulisan ini mengkaji secara menyeluruh aspek hukum dari Perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) sebagai bentuk hubungan hukum antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga yang berlandaskan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kemanfaatan publik. Analisis dilakukan menggunakan Lima Analisis Hukum — yaitu analisis kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum — yang merupakan pendekatan epistemologis dalam membaca realitas hukum secara holistik.
Kajian ini menautkan pendekatan tersebut dengan Teori Melebur (Oplossing Theory) yang menjelaskan pergeseran tindakan hukum pejabat dari ranah publik menuju ranah privat pada saat penandatanganan kontrak. Berdasarkan kerangka hukum yang berlaku — antara lain PP Nomor 27 Tahun 2014 jo. PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 jo. Permendagri Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, serta UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan — ditemukan bahwa perjanjian kerja sama BMD bersifat ganda: publik dalam prosesnya, namun keperdataan dalam pelaksanaannya.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sengketa yang timbul setelah kontrak disepakati termasuk dalam ranah hukum perdata dan menjadi kompetensi Pengadilan Negeri, sedangkan sengketa yang muncul sebelum kontrak disahkan tetap menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tujuan akhir kontrak ini adalah keperdataan, yakni menimbulkan perikatan timbal balik (obligatoir) yang berkeadilan dan bermanfaat bagi kepentingan daerah. Dalam konteks semiotika hukum Pancasila, tindakan pejabat publik dalam kontrak semacam ini merupakan pengejawantahan dari nilai gotong royong dan keadilan sosial, di mana kekuasaan negara melebur menjadi kesetaraan hukum dengan rakyat.
Kata kunci: Barang Milik Daerah, Teori Melebur, Lima Analisis Hukum, Sengketa Kontrak Publik, Semiotika Hukum Pancasila.
Pendahuluan
Barang Milik Daerah (BMD) merupakan bagian dari kekayaan daerah yang dikuasai oleh negara dan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks otonomi daerah, pengelolaan BMD menjadi sarana penting bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Salah satu bentuknya ialah Perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan BMD, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 PP Nomor 27 Tahun 2014 jo. PP Nomor 28 Tahun 2020 serta diperinci dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 jo. Permendagri Nomor 7 Tahun 2024.
Namun, perjanjian ini memiliki karakter ganda: di satu sisi berakar pada kewenangan publik (hukum administrasi), di sisi lain menimbulkan perikatan perdata yang bersifat timbal balik. Oleh sebab itu, dalam memahami kedudukan hukumnya, perlu digunakan pendekatan analisis yang tidak hanya normatif, tetapi juga epistemik dan reflektif. Melalui pendekatan Lima Analisis Hukum, kita dapat menelusuri struktur berpikir hukum mulai dari kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi hingga falsifikasi, sebagaimana saya kembangkan dalam kajian semiotika hukum Pancasila, untuk membaca hukum bukan sekadar teks, melainkan sistem tanda yang hidup dalam realitas moral dan sosial.
Analisis Kategorisasi Hukum
Dari segi kategorisasi, perjanjian kerja sama pemanfaatan BMD termasuk dalam kategori kontrak publik bersifat obligatoir. Sebelum kontrak ditandatangani, hubungan hukum antara pemerintah daerah dan calon mitra merupakan hubungan publik yang diatur oleh asas-asas hukum administrasi, seperti asas legalitas, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagaimana termuat dalam Pasal 10 dan Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Namun setelah perjanjian ditandatangani dan dituangkan dalam akta notaris sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 184 Permendagri Nomor 7 Tahun 2024, hubungan tersebut berubah menjadi hubungan keperdataan murni yang menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Dengan demikian, secara kategoris, perjanjian BMD merupakan bentuk hukum yang melebur antara publik dan privat, di mana hukum publik menjamin keabsahan dan kewenangan, sedangkan hukum perdata menjamin keadilan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Inilah ciri khas dari apa yang saya sebut sebagai kontrak pemerintahan berjiwa Pancasila — sebuah kesatuan antara kekuasaan dan kemanusiaan.
Analisis Klarifikasi Hukum
Klarifikasi hukum diperlukan untuk menjelaskan teori yang menjadi dasar perubahan sifat hukum dalam kontrak ini. Secara konseptual, perubahan tersebut dijelaskan melalui Teori Melebur (Oplossing Theory) yang dikemukakan oleh Prof. C. van Vollenhoven dan dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Philipus M. Hadjon dalam hukum administrasi Indonesia. Teori ini menyatakan bahwa ketika pejabat publik menandatangani kontrak dengan pihak lain, maka kewenangan publiknya melebur ke dalam kedudukan privat. Sejak saat itu, pejabat tidak lagi bertindak sebagai penguasa publik, tetapi sebagai subjek hukum privat yang tunduk pada asas kesetaraan di hadapan hukum.
Dengan demikian, ketika terjadi sengketa setelah kontrak ditandatangani, penyelesaiannya tidak lagi menggunakan mekanisme hukum administrasi, tetapi melalui Pengadilan Negeri, sebab hubungan yang disengketakan adalah perikatan keperdataan. Namun, pada fase pra-kontrak, setiap tindakan administratif — seperti penetapan mitra kerja sama, persetujuan kepala daerah, atau penetapan objek BMD — masih merupakan tindakan publik yang dapat diuji keabsahannya di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila diduga terjadi penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran asas legalitas.
Analisis Verifikasi Hukum
Tahap verifikasi hukum dilakukan untuk menguji kebenaran penerapan norma dalam praktik. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PP Nomor 27 Tahun 2014 dan Pasal 1 angka 41 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, kerja sama pemanfaatan BMD wajib dilaksanakan melalui mekanisme seleksi atau tender terbuka untuk menjamin asas kompetisi dan transparansi. Persetujuan tertulis dari kepala daerah menjadi syarat sah administratif yang tidak boleh diabaikan, sesuai Pasal 34 PP Nomor 27 Tahun 2014.
Verifikasi terhadap praktik pelaksanaan menunjukkan bahwa sengketa yang timbul setelah perjanjian disepakati — misalnya keterlambatan kontribusi tetap, pembagian hasil usaha, atau pengalihan hak tanpa izin — adalah bentuk pelanggaran perikatan (wanprestasi) yang menjadi domain hukum perdata. Namun, apabila sengketa muncul sebelum kontrak disahkan, seperti dalam proses penetapan mitra atau keputusan kepala daerah, maka sengketa tersebut tetap tunduk pada hukum administrasi dan menjadi kompetensi PTUN.
Dengan kata lain, hukum administrasi dan hukum perdata berinteraksi secara berurutan: hukum administrasi membangun fondasi legalitas, sementara hukum perdata mengatur pelaksanaan kesetaraan hak dan kewajiban.
Analisis Validasi Hukum
Validasi hukum menilai sejauh mana kontrak tersebut sah dan adil secara substantif. Perjanjian kerja sama pemanfaatan BMD harus tidak hanya memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, tetapi juga harus sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik sebagaimana termuat dalam Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 2014, yaitu asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, keterbukaan, dan tanggung jawab.
Secara substantif, kontrak yang valid adalah kontrak yang memberikan manfaat ekonomi bagi daerah tanpa mengabaikan aspek keadilan sosial. Pembagian hasil, kontribusi tetap, serta klausul risiko harus diatur secara proporsional sesuai dengan prinsip gotong royong hukum publik. Prinsip ini merefleksikan nilai Pancasila bahwa keadilan tidak boleh hanya berpihak pada satu pihak, tetapi harus menyeimbangkan kepentingan negara dan masyarakat.
Dalam konteks semiotika hukum Pancasila, validitas hukum bukan hanya persoalan kesesuaian teks dengan peraturan, melainkan kesetiaan terhadap makna moral di balik hukum itu sendiri — bahwa kekuasaan publik sejatinya adalah amanah untuk menegakkan kemaslahatan umum.
Analisis Falsifikasi Hukum
Tahap falsifikasi hukum digunakan untuk menolak kesalahan konseptual dalam praktik hukum yang sering terjadi. Banyak pejabat daerah masih salah menempatkan forum sengketa dengan menganggap seluruh konflik kontrak BMD termasuk dalam ranah PTUN. Kesalahan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penegakan keadilan.
Falsifikasi hukum juga berperan mengoreksi tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) pada tahap pra-kontrak, di mana pejabat melampaui batas kewenangan yang diberikan undang-undang. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014, setiap keputusan atau tindakan administrasi yang dilakukan tanpa kewenangan adalah batal demi hukum. Dalam kasus semacam ini, PTUN tetap menjadi forum koreksi yuridis terhadap tindakan administratif yang cacat.
Dengan demikian, analisis falsifikasi memastikan bahwa hukum tidak berhenti pada kepastian prosedural, melainkan terus mengoreksi dirinya untuk menjamin kebenaran substantif dan moral publik. Di sinilah letak peran hukum yang hidup dalam kesadaran etik bangsa.
Kesimpulan
Dari keseluruhan analisis, dapat ditegaskan bahwa perjanjian kerja sama pemanfaatan BMD merupakan kontrak publik yang dalam pelaksanaannya bersifat keperdataan. Hubungan hukum yang lahir dari kontrak ini tunduk pada ketentuan KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan pengelolaan BMD. Oleh karena itu, sengketa yang timbul setelah kontrak berjalan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, sedangkan sengketa yang terjadi sebelum kontrak disepakati, seperti penetapan mitra atau persetujuan administratif, tetap menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Perbuatan hukum pejabat daerah dalam menandatangani kontrak merupakan penerapan nyata dari Teori Melebur (Oplossing Theory), di mana kekuasaan publik melebur menjadi kedudukan privat setelah kontrak disepakati. Tujuan akhir kontrak ini bersifat keperdataan — menciptakan perikatan timbal balik yang berkeadilan, transparan, dan berorientasi pada kemanfaatan publik.
Dalam kerangka semiotika hukum Pancasila, hukum tidak berhenti pada teks formal, tetapi hidup dalam praktik keadilan sosial. Pejabat dan rakyat berdiri sejajar di hadapan hukum; kekuasaan berubah menjadi amanah; dan kontrak publik menjadi ruang etis bagi pertemuan antara negara dan masyarakat.
Penutup Reflektif
> “Ketika pejabat negara menandatangani perjanjian dengan rakyatnya, kekuasaan tidak lagi bersuara sebagai penguasa, tetapi sebagai manusia hukum yang setara di bawah keadilan.
Dalam perjanjian publik yang melebur menjadi privat, hukum menemukan jiwanya — hukum yang tidak hanya sah secara normatif, tetapi juga benar secara moral.
Di situlah hukum Pancasila bekerja: menegakkan keadilan sosial dan gotong royong dalam ruang administrasi negara yang beradab.”
— Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
