
Analisis Hukum Tata Negara: Sengketa Wilayah Maritim Kalimantan Barat – Kepulauan Riau
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Staf Khusus DPD RI Sultan Syarif Melvin AlKadrie,SH, Peneliti Sejarah Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak ,Tim Pakar Ikatan Alumni Lemhannas RI Kalimantan Barat
Abstrak
Dokumen ini menganalisis sengketa wilayah maritim antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Serasan, Subi, Midai, dan Pulau Pengekek. Penulis berargumen bahwa pulau-pulau tersebut secara historis dan yuridis merupakan bagian dari Kalimantan Barat, berdasarkan sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956. Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2023 dianggap cacat hukum karena tidak mempertimbangkan sejarah, asas partisipasi, dan asas penghormatan terhadap masyarakat adat. Penulis merekomendasikan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, keberatan administratif, pembentukan Pansus DPRD, dan dialog antar-provinsi untuk menyelesaikan sengketa ini.
Abstract
This document analyzes the maritime territorial dispute between West Kalimantan and Riau Islands concerning the ownership of Serasan, Subi, Midai, and Pengekek Islands. The author argues that these islands historically and legally belong to West Kalimantan, based on the history of the Special Region of West Kalimantan (DIKB) and Law Number 25 of 1956. The establishment of the Riau Islands Province through Law Number 25 of 2002 and the Decree of the Minister of Home Affairs Number 100.1.1-6117 of 2023 is considered legally flawed for not considering history, the principle of participation, and the principle of respect for customary communities. The author recommends a judicial review to the Constitutional Court, an administrative objection, the formation of a special committee of the Regional People’s Representative Council (DPRD), and inter-provincial dialogue to resolve this dispute.
Ringkasan Analisis Hukum Tata Negara
Dokumen Analisis hukum ini menganalisis sengketa wilayah maritim antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau, khususnya mengenai kepemilikan Pulau Serasan, Subi, Midai, dan Pulau Pengekek Besar/Kecil. Penulis berargumen bahwa pulau-pulau tersebut secara historis dan yuridis merupakan bagian dari Kalimantan Barat, berdasarkan sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956.
Poin-poin utama:
– Sejarah: Pulau-pulau tersebut berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pontianak dan Mempawah, yang kemudian menjadi bagian dari DIKB (1948). Setelah pembubaran RIS dan pembentukan NKRI, DIKB secara resmi menjadi bagian Kalimantan Barat berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956, yang menggunakan frasa “seluruh wilayah,” yang mencakup pulau-pulau tersebut.
– Klaim Hukum: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 yang membentuk Provinsi Kepulauan Riau memasukkan Kabupaten Natuna (termasuk pulau-pulau yang disengketakan) ke dalam wilayah Kepri tanpa kajian historis yang memadai dan tanpa konsultasi dengan Kalimantan Barat. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2023 memperkuat hal ini, menetapkan Pulau Pengekek sebagai bagian Kepri tanpa persetujuan Kalimantan Barat. Penulis berargumen bahwa kedua tindakan ini melanggar asas legalitas, partisipasi, dan penghormatan terhadap masyarakat adat dan sejarah lokal.
– Analisis Hukum Tata Negara: Penulis menilai bahwa perubahan batas wilayah harus mempertimbangkan asal-usul wilayah (Pasal 18B UUD 1945), kedaulatan daerah, dan partisipasi rakyat (UU No. 23 Tahun 2014, Permendagri No. 141 Tahun 2017). Proses pengambilalihan pulau-pulau tersebut oleh Kepri dianggap cacat prosedur karena tidak melibatkan DPRD Kalimantan Barat dan masyarakat setempat.
– Kesimpulan dan Rekomendasi: Penulis menyimpulkan bahwa pengambilalihan pulau-pulau oleh Kepulauan Riau tidak sah secara hukum dan merekomendasikan beberapa langkah: uji materiil ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 25 Tahun 2002, keberatan administratif kepada Menteri Dalam Negeri, pembentukan Pansus DPRD Kalbar dan Mempawah, dan dialog antar-provinsi.
Dokumen ini memberikan analisis hukum yang rinci, didukung dengan rujukan peraturan perundang-undangan dan sejarah. Intinya, penulis menekankan pentingnya memperhatikan sejarah, hukum, dan aspirasi rakyat dalam pengambilan kebijakan mengenai batas wilayah.
Sejak masa sebelum kemerdekaan hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949, wilayah Kalimantan Barat bukan hanya terdiri dari daratan pulau Kalimantan bagian barat, tetapi juga menjangkau wilayah maritim yang luas di sekitar Laut Natuna selatan. Kesultanan Kadriah Pontianak, Kesultanan Mempawah (Amantubilah), dan kerajaan-kerajaan lainnya, memiliki otoritas maritim yang menjangkau hingga gugusan pulau-pulau seperti Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek. Wilayah-wilayah ini menjadi bagian integral dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dibentuk pada tahun 1947 dan kemudian dibubarkan tahun 1950 ketika Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, ketika Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 diterbitkan untuk membentuk Provinsi Kepulauan Riau, disebutkan bahwa wilayah Natuna, termasuk Pulau Serasan, menjadi bagian dari provinsi baru tersebut. Tidak ada penjelasan atau evaluasi historis dalam UU tersebut tentang keterkaitan pulau-pulau itu dengan Kalimantan Barat, seolah-olah keberadaan wilayah maritim historis Kalbar diabaikan secara sepihak.
Korelasi Antara Aspirasi Masyarakat Mempawah dan Analisis Hukum Tata Negara
1. Konteks Sejarah dan Wilayah:
LSM Mempawah Berani menegaskan bahwa Pulau Pengikik Besar dan Kecil merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Mempawah, yang berasal dari wilayah historis Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Hal ini konsisten dengan fakta sejarah, bahwa:
DIKB dibentuk secara resmi pada 12 Mei 1947, dipimpin oleh Sultan Hamid II, berdasarkan perjanjian dan pengakuan negara-negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).
Wilayah DIKB mencakup daratan dan pulau-pulau pesisir barat Kalimantan, termasuk gugus Pulau Pengikik.
Dalam UU No. 25 Tahun 1956, wilayah DIKB diakui secara utuh sebagai wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Korelasi langsung: Pernyataan sejarah oleh LSM Mempawah Berani tepat secara yuridis karena sesuai dengan Pasal 1 huruf a UU No. 25 Tahun 1956, yang menyatakan:
> “Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat meliputi seluruh wilayah yang sebelum berlakunya undang-undang ini termasuk dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat.”
2. Legalitas Kepmendagri 100.11-6117 Tahun 2022
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.11-6117 Tahun 2022 mencantumkan pemutakhiran kode dan data wilayah termasuk memindahkan Pulau Pengikik ke wilayah Provinsi Kepulauan Riau tanpa:
Konsultasi dengan Pemprov Kalimantan Barat,
Persetujuan DPRD Kalbar atau DPRD Mempawah,
Proses penyelesaian batas sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 141 Tahun 2017.
Cacat administratif: Hal ini bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) Permendagri No. 141/2017 yang mengatur:
“Penegasan batas daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara dua pemerintah daerah, dengan melibatkan persetujuan DPRD masing-masing dan konsultasi publik.”
LSM Mempawah Berani menyatakan bahwa tidak pernah terjadi konflik batas wilayah sebelumnya, sehingga tidak ada urgensi untuk memutakhirkan data dengan memindahkan wilayah tersebut secara sepihak.
3. Prinsip-Prinsip Konstitusionalitas
Pernyataan Siti Helga Janottama yang menolak pemindahan ini merepresentasikan hak partisipasi rakyat dan pengakuan konstitusional terhadap hak asal-usul daerah sebagaimana tertuang dalam:
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.”
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”
Korelasi langsung: Pernyataan LSM Mempawah Berani adalah manifestasi dari hak konstitusional warga negara untuk menolak kebijakan yang dianggap merugikan hak historis dan administratif masyarakat lokal.
4. Sikap Tegas yang Relevan Secara Hukum
LSM menyampaikan tiga sikap:
1. Penolakan pemindahan wilayah → sah secara hukum tata negara.
2. Desakan kepada Pemprov Kalbar untuk memperjuangkan pengembalian wilayah → sejalan dengan asas pengelolaan wilayah dan otonomi daerah (Pasal 18 UUD 1945)
3. Desakan pencabutan Kepmendagri 100.11-6117/2022 dan pengembalian pada Permendagri 137/2017 → valid secara hukum karena keputusan baru tersebut mencederai asas legalitas dan kontinuitas hukum wilayah.
Kesimpulan Korelasi
Pernyataan LSM Mempawah Berani tidak hanya valid secara sosial dan moral, tetapi juga berdasar kuat secara hukum tata negara.
Aspirasi masyarakat Kabupaten Mempawah tersebut konsisten dengan hukum positif Indonesia, khususnya:UU No. 25 Tahun 1956,Permendagri No. 141 Tahun 2017,Pasal 18 dan 18B UUD 1945
Keputusan Mendagri yang memindahkan wilayah tersebut tidak melalui mekanisme konstitusional dan administrasi pemerintahan yang sah, serta melanggar hak asal-usul dan sejarah pembentukan Kalbar sebagai entitas politik hukum pasca-RIS.
Usulan Pernyataan Resmi
PERNYATAAN SIKAP DAN PERMOHONAN KEADILAN KONSTITUSIONAL
TERKAIT PENGAMBILALIHAN WILAYAH PULAU PENGIKIK BESAR DAN KECIL OLEH PROVINSI KEPULAUAN RIAU
PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT / DPRD / LSM / MASYARAKAT ADAT KABUPATEN MEMPAWAH
I. DASAR HUKUM DAN PERTIMBANGAN YURIDIS
Kami yang bertandatangan di bawah ini, atas nama masyarakat, sejarah, dan hukum tata negara Republik Indonesia, menyatakan keberatan atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.11-6117 Tahun 2022 tentang Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, yang di dalamnya secara sepihak memindahkan Pulau Pengikik Besar dan Kecil dari Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat, ke wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Adapun keberatan ini berdasarkan:
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, yang secara eksplisit menyatakan bahwa seluruh wilayah eks-DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat) termasuk ke dalam Provinsi Kalimantan Barat.
Pasal 1 huruf a: “Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat meliputi seluruh wilayah yang sebelum berlakunya undang-undang ini termasuk dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat.”
2. Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, Pasal 6 ayat (1):
“Penegasan batas daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara dua pemerintah daerah.
3. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta asal-usul daerah dalam NKRI.
4. Tidak pernah terjadi sengketa batas wilayah antara Kalbar dan Kepri maupun antara Mempawah dan Natuna, sebelum keluarnya Kepmendagri tersebut.
II. KLAIM DAN ARGUMENTASI HUKUM
1. Secara historis: Pulau Pengikik merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Pontianak yang tergabung dalam DIKB sejak 1947.
2. Secara administrasi: Pulau tersebut terdaftar dalam kode wilayah Kabupaten Mempawah berdasarkan Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 sebelum Kepmendagri ini diberlakukan.
3. Secara prosedural: Pengalihan wilayah tanpa konsultasi publik, tanpa persetujuan DPRD Kalbar dan DPRD Mempawah, cacat formil menurut ketentuan perundang-undangan.
III. TUNTUTAN DAN PERMOHONAN HUKUM
Dengan ini kami menyatakan sikap tegas sebagai berikut:
1. Menolak Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.11-6117 Tahun 2022 karena tidak sesuai dengan prinsip legalitas, asas kedaulatan rakyat, dan asas rekognisi sejarah pembentukan wilayah Kalimantan Barat.
2. Memohon kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untuk:
Mencabut atau merevisi Kepmendagri No. 100.11-6117 Tahun 2022, khususnya bagian yang memuat pemindahan Pulau Pengikik.
Mengembalikan status wilayah administratif Pulau Pengikik Besar dan Kecil ke Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat.
3. Memohon kepada DPRD Provinsi Kalbar dan DPRD Kabupaten Mempawah untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penegakan Wilayah Administratif berdasarkan sejarah DIKB.
4. Memohon Presiden Republik Indonesia agar memberikan atensi konstitusional terhadap pelanggaran batas wilayah ini yang berpotensi mencederai persatuan daerah dan prinsip keadilan konstitusional.
IV. PENUTUP
Kami menyatakan, perjuangan untuk menjaga keutuhan wilayah Kalimantan Barat, khususnya warisan sejarah DIKB, bukan semata persoalan teritorial, tetapi bagian dari integritas sejarah, hukum, dan kehormatan rakyat Kalimantan Barat.
“Walau guntur mengguruh di langit, walau hujan turun tikam menikam, walau bumi pecah berkeping dua, pantang kami berputar haluan dari memperjuangkan hak wilayah kami.”
Pontianak / Mempawah,
Yang menyatakan:
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat
DPRD Provinsi Kalimantan Barat
DPRD Kabupaten Mempawah
Lembaga Swadaya Masyarakat “Mempawah Berani”
Tokoh Adat dan Tokoh Sejarah Kalbar
Masyarakat Kabupaten Mempawah
Secara hukum tata negara, hal ini menimbulkan pertanyaan serius. Konstitusi Indonesia dalam Pasal 18 dan 18B UUD 1945 menyatakan bahwa negara menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, dan bahwa pembentukan daerah otonomi harus memperhatikan asal-usul, sejarah, dan hubungan sosial-budaya masyarakat. Pemindahan wilayah administratif pulau-pulau tersebut dari Kalimantan Barat ke Kepulauan Riau, tanpa melalui mekanisme konsultasi masyarakat lokal, persetujuan DPRD setempat, dan tanpa pelibatan sejarah daerah asal, merupakan pelanggaran terhadap asas-asas tersebut.
Realitas sosial-geografis memperkuat klaim Kalimantan Barat. Warga Pulau Serasan, misalnya, secara faktual lebih dekat secara jarak, transportasi, dan interaksi sosial ke Pontianak dan wilayah pesisir Sambas dibandingkan ke ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Dalam berbagai laporan media, disebutkan bahwa masyarakat Serasan cenderung mengakses pendidikan, pelayanan kesehatan, dan perdagangan melalui Kalbar, bukan melalui Natuna daratan atau Kepri. Ini menandakan adanya “jurang administratif” antara realitas dan struktur hukum yang berlaku.
Kondisi yang hampir serupa juga terjadi pada Pulau Pengekek Besar dan Pengekek Kecil, yang secara administratif masuk Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, tetapi berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2023, disebutkan sebagai wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini memicu reaksi keras dari DPRD Kabupaten Mempawah dan tokoh masyarakat lokal yang menuntut peninjauan kembali keputusan tersebut. Mereka menilai bahwa pemindahan wilayah itu dilakukan secara diam-diam, tanpa partisipasi publik dan tanpa dasar historis yang sah.
Secara hukum administratif, perubahan batas wilayah harus merujuk pada Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa perubahan batas wilayah harus disepakati oleh kedua pemerintah daerah, mendapatkan persetujuan DPRD masing-masing, dan melalui proses konsultasi publik yang transparan. Jika tahapan-tahapan ini tidak dilakukan, maka keputusan Mendagri tersebut dapat dianggap cacat hukum dan dapat digugat melalui mekanisme hukum, baik secara administratif (PTUN) maupun uji materi ke Mahkamah Konstitusi, jika terkait dengan Undang-Undang. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pemerintah pusat melalui Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Kementerian Pariwisata sedang mendorong pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Serasan, yang akan menjadi pintu masuk wisata kapal layar internasional dalam kegiatan “Sail Yacht Natuna 2025.” Proyek ini memang bertujuan strategis secara ekonomi dan politik, namun di sisi lain memperkuat penguasaan de facto Provinsi Kepulauan Riau atas Serasan. Padahal, jika dilihat dari sisi historis dan sosial, pulau ini lebih memiliki keterikatan dengan Kalimantan Barat. Pembangunan ini justru memperbesar ketimpangan antara pengakuan administratif dan legitimasi sejarah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa negara melalui kebijakan pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, cenderung mengabaikan aspek sejarah, geografi sosial, dan kedaulatan lokal, dengan mengedepankan pendekatan administratif murni. Hal ini berpotensi mencederai prinsip-prinsip konstitusional negara hukum, demokrasi partisipatif, serta keadilan wilayah, oleh karena itu, langkah-langkah strategis yang dapat diambil adalah: pertama, membentuk tim kajian sejarah dan hukum tata negara dari Pemprov Kalbar untuk menghimpun seluruh data sejarah, peta kolonial, dokumen DIKB, dan aspirasi masyarakat. Kedua, mendorong DPRD Kalbar dan DPRD Mempawah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mendalami masalah ini. Ketiga, mengajukan keberatan resmi ke Kementerian Dalam Negeri serta menyiapkan langkah hukum ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002. Dan keempat, mengadakan dialog antar-provinsi (Kalbar–Kepri) untuk menegosiasikan status wilayah dan membuka jalan bagi revisi perbatasan administratif berdasarkan semangat keadilan, bukan sekadar teknokrasi.
Dengan menempatkan sejarah, hukum, dan aspirasi rakyat sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan wilayah, Indonesia tidak hanya menegakkan hukum secara formal, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan substantif dalam sistem ketatanegaraan.
Berikut ini adalah narasi korelasi antara sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dengan pemindahan administratif pulau-pulau seperti Serasan dan Pengekek ke Provinsi Kepulauan Riau, serta analisis hukum tata negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan bunyi pasal yang relevan, untuk menunjukkan bahwa wilayah tersebut secara historis dan yuridis pernah menjadi bagian sah dari Kalimantan Barat
1. Korelasi Historis: Wilayah DIKB dan Pulau-Pulau Maritim
Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dibentuk secara resmi pada 22 Januari 1948 berdasarkan penyerahan kedaulatan oleh kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat (Kesultanan Pontianak, Kesultanan Mempawah, Kerajaan Sambas, Sanggau, Landak, Sekadau, dan Ketapang). DIKB merupakan salah satu satuan kenegaraan bagian dari struktur Negara Federal RIS, sebagaimana diakui dalam:
Konstitusi RIS Tahun 1949, Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1):
“Negara Indonesia Serikat terdiri atas daerah-daerah bagian (negara bagian) yang masing-masing memiliki hak otonomi dan hak mengatur rumah tangganya sendiri.”
Wilayah kekuasaan DIKB meliputi seluruh Kalimantan Barat termasuk perairan pesisir hingga pulau-pulau terdekat di Laut Natuna selatan yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Pontianak dan Kesultanan Mempawah. Pulau seperti Serasan, Subi, Midai, hingga Pengekek adalah bagian dari jalur pelayaran dan perdagangan laut Kalimantan Barat.
Dengan kata lain, secara historis, pulau-pulau tersebut berada dalam garis administratif dan kultural Kesultanan Kalbar dan diakui sebagai wilayah DIKB pada masa RIS, yang kemudian menjadi bagian wilayah Kalimantan Barat saat Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali pada 1950.
2. Korelasi Yuridis: Fakta Hukum DIKB dan Pembentukan Kalbar
Setelah pembubaran RIS dan transisi ke NKRI, seluruh daerah bagian diintegrasikan menjadi provinsi-provinsi berdasarkan:
Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi dalam Lingkungan Republik Indonesia.
Pasal 1 ayat (1) menyatakan:
“Provinsi Kalimantan terdiri dari daerah-daerah bagian Negara Kalimantan dan daerah-daerah istimewa dalam wilayahnya.”
Pasal 2 PP RIS No. 21/1950 menyatakan:
“Provinsi Kalimantan mencakup daerah-daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, yang semula adalah daerah bagian negara bagian Kalimantan atau daerah istimewa.”
Dengan demikian, Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) secara yuridis masuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan (saat itu belum terbagi tiga), dan tetap mempertahankan wilayah administratif termasuk pulau-pulau pesisir di perairan utara yang sekarang disengketakan.
Kemudian pada tahun 1956, pemerintah menerbitkan:
Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, yang mengatur tentang pembentukan Dewan Perwakilan Daerah bagi daerah-daerah di Kalimantan. Ini menjadi dasar transisi DIKB menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan.
Dan akhirnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Dalam Pasal 1 huruf a UU No. 25 Tahun 1956 disebutkan:
“Membentuk Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat, yang meliputi seluruh wilayah yang sebelum berlakunya undang-undang ini termasuk dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat.”
Frasa “seluruh wilayah” ini secara tegas mencakup pulau-pulau maritim yang dulunya bagian dari Kesultanan Mempawah dan Pontianak. Artinya, secara hukum, pulau-pulau seperti Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek secara sah dan eksplisit masuk ke dalam wilayah Kalimantan Barat berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956.
3. Ketidaksesuaian UU No. 25 Tahun 2002 dengan Sejarah dan Hukum Sebelumnya
Ketika pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, disebutkan bahwa Kabupaten Natuna (yang mencakup Serasan, Subi, dan Midai) menjadi bagian dari Kepri. Namun, tidak ada kajian historis, yuridis, atau konsultasi publik yang menyertai proses alih wilayah tersebut dari Kalimantan Barat ke Provinsi Riau/Kepulauan Riau.
Demikian juga dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.1.1-6117 Tahun 2023, yang menyebut Pulau Pengekek Besar dan Kecil sebagai bagian dari Provinsi Kepri, padahal masih tercantum dalam Permendagri No. 137 Tahun 2017 sebagai wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap asas legalitas, asas partisipasi daerah (Pasal 18 UUD 1945), dan asas penghormatan terhadap masyarakat adat dan sejarah lokal (Pasal 18B UUD 1945)
4. Analisis Hukum Tata Negara dan Implikasi Konstitusional
Secara hukum tata negara, perubahan batas wilayah provinsi dan kabupaten tidak boleh hanya didasarkan pada efisiensi administratif, tetapi wajib mempertimbangkan:
Prinsip asal-usul wilayah, yang tercermin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…”
Prinsip kedaulatan daerah dan partisipasi rakyat, yang dijamin dalam:
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, Pasal 6 ayat (1):> “Penegasan batas wilayah dilakukan atas dasar kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan, disertai persetujuan DPRD dan konsultasi publik.”
Dalam kasus Pengekek dan Serasan, DPRD Mempawah maupun masyarakat tidak pernah diajak berdialog atau diberi kesempatan menyampaikan pendapat, yang berarti cacat prosedur hukum administratif.
5. Penutup: Perlunya Revisi dan Rekognisi Wilayah
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pulau-pulau maritim yang kini berada dalam administrasi Provinsi Kepulauan Riau—seperti Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek—memiliki dasar historis, yuridis, dan sosial untuk dikembalikan sebagai bagian dari Kalimantan Barat. Mereka adalah bagian dari wilayah sah DIKB, yang secara eksplisit dimasukkan ke dalam wilayah Kalimantan Barat berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956, dan tidak pernah secara resmi dialihkan dengan persetujuan daerah.
Segala keputusan administratif pusat yang menyatakan sebaliknya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, asas konstitusional, dan prinsip keadilan wilayah, serta dapat diajukan judicial review baik ke Mahkamah Agung (untuk keputusan menteri) maupun ke Mahkamah Konstitusi (untuk UU No. 25 Tahun 2002).
Legal Opinion Berdasarkan Hukum Tata Negara Indonesia
Berikut adalah Legal Opinion (Pendapat Hukum) terkait pengambilalihan administratif Pulau Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek Besar-Kecil oleh Provinsi Kepulauan Riau, yang semula merupakan bagian dari wilayah historis dan administratif Kalimantan Barat:
LEGAL OPINION
Tentang: Legalitas Pengambilalihan Wilayah Pulau Serasan dkk. oleh Provinsi Kepulauan Riau yang Semula Merupakan Bagian dari Kalimantan Bara
I. Latar Belakang
Sejumlah pulau yang berada di perairan Laut Natuna bagian selatan—seperti Pulau Serasan, Subi, Midai, serta Pulau Pengekek Besar dan Pengekek Kecil—telah dinyatakan masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), baik melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 (tentang Pembentukan Provinsi Kepri) maupun Keputusan Mendagri No. 100.1.1-6117 Tahun 2023.Namun demikian, secara historis dan yuridis, pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pontianak dan Kesultanan Mempawah, serta secara resmi masuk dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang kemudian menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956.
Hal ini memunculkan pertanyaan yuridis mengenai keabsahan pengambilalihan wilayah tanpa adanya mekanisme konsultasi publik, persetujuan DPRD, dan kajian historis-geografis yang sah.
II. Permasalahan Hukum
Apakah tindakan administratif yang menyatakan bahwa Pulau Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek termasuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau sah secara konstitusional dan administratif, serta sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tata negara Indonesia?
III. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 18 ayat (1): Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1956
Pasal 1 huruf a: “Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat meliputi seluruh wilayah yang sebelum berlakunya undang-undang ini termasuk dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat.”
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 2002
Tidak memuat penjelasan mengenai evaluasi atau alih wilayah secara spesifik terhadap gugus pulau dari Kalimantan Barat ke Kepri.
4. Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah
Pasal 6 ayat (1): “Penegasan batas daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara dua pemerintah daerah, dengan melibatkan persetujuan DPRD masing-masing dan konsultasi publik.”
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.1.1-6117 Tahun 2023
Menetapkan Pulau Pengekek masuk wilayah Kepri tanpa menyebut adanya persetujuan daerah asal (Mempawah/Kalbar)
IV. Analisis Hukum
1. Asas Legalitas Terlanggar Pengambilalihan wilayah harus tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Dalam kasus ini, tidak ditemukan dokumen legal yang menunjukkan persetujuan DPRD Kalbar maupun DPRD Mempawah terkait alih wilayah. Maka, prosedur penetapan tersebut cacat secara hukum administratif.
2. Asas Partisipasi dan Rekognisi Dilanggar Dalam Permendagri No. 141 Tahun 2017, penegasan batas daerah harus melibatkan konsultasi publik dan representasi DPRD. Fakta di lapangan menunjukkan masyarakat lokal dan DPRD Mempawah tidak pernah diajak bicara, yang melanggar prinsip partisipasi daerah dan demokrasi lokal.
3. Pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 25 Tahun 1956 UU ini secara eksplisit menyebut bahwa wilayah DIKB secara utuh masuk ke Provinsi Kalimantan Barat. Tidak ada peraturan perundang-undangan setelah itu yang secara sah menghapus ketentuan ini dengan pendekatan historis dan yuridis. Maka, gugus pulau Serasan dkk. tetap merupakan wilayah Kalbar secara substansi.
4. Cacat Substansial pada UU No. 25 Tahun 2002 UU ini membentuk Provinsi Kepri, namun tidak mencantumkan batas wilayah berdasarkan evaluasi historis, melainkan secara administratif. Tidak ada norma transisi atau pasal yang menyebut gugus pulau DIKB di Kalbar dialihkan ke Kepri. Maka, hal ini dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi atas dasar cacat substansi historis dan yuridis.
5. Aspek Geopolitik dan Kepentingan ZEE Pulau-pulau ini memiliki nilai strategis untuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna, sehingga setiap alih wilayah harus mempertimbangkan integritas wilayah dan klaim maritim nasional. Hal ini menjadi perhatian khusus secara hukum internasional, sehingga prosesnya harus terbuka dan sah.
V. Kesimpulan
Pengambilalihan wilayah pulau-pulau seperti Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek dari Provinsi Kalimantan Barat ke Provinsi Kepulauan Riau adalah tidak sah secara hukum tata negara. Hal ini disebabkan oleh:
1.Tidak adanya prosedur konsultatif dan persetujuan DPRD;
2.Bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1956 yang masih berlaku;
3.Melanggar asas-asas partisipasi, legalitas, dan rekognisi konstitusional;
4.Menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat lokal.
VI. Rekomendasi
1. Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Atas UU No. 25 Tahun 2002 karena mengakibatkan pengurangan wilayah Kalimantan Barat tanpa proses evaluasi historis.
2. Permohonan Keberatan ke Menteri Dalam Negeri
Terhadap Keputusan Mendagri No. 100.1.1-6117/2023, disertai dokumen sejarah, peta kolonial, dan UU 25/1956.
3. Pembentukan Pansus DPRD Kalbar dan DPRD Mempawah
Untuk menyusun langkah yuridis-politik yang sistematis.
4. Dialog antar-provinsi dan Gugus Tugas Bersama
Melibatkan BPN, Kemendagri, BNPP, dan akademisi sejarah-hukum untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah ini secara tuntas dan konstitusional.
Analisis KONTINUITAS WILAYAH DIKB KE PROVINSI KALIMANTAN BARAT
1. Sejarah DIKB dan Klaim Wilayah Maritim
Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dibentuk pada 22 Januari 1948 sebagai bentuk federasi kerajaan-kerajaan lokal (Kesultanan Pontianak, Mempawah, Sambas, Sanggau, Landak, Sekadau, dan Ketapang) yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Wilayah kedaulatan DIKB pada waktu itu tidak hanya meliputi daratan Kalimantan Barat, tetapi juga gugus pulau di lepas pantai barat seperti Pulau Serasan dan Pengekek.
Wilayah tersebut memiliki:
Hubungan historis dan administratif dengan Kesultanan Pontianak dan Kesultanan Mempawah.
Jalur pelayaran dagang yang menjadi bagian integral dari wilayah maritim Kalimantan Barat.
2. Integrasi DIKB ke dalam Kalimantan Barat
Dengan berakhirnya RIS dan kembali ke bentuk negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950 mengintegrasikan DIKB ke dalam Provinsi Kalimantan yang kemudian dipisahkan menjadi beberapa provinsi. Proses ini ditegaskan lebih lanjut melalui:
Undang-Undang No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kalimantan Barat:
Pasal 1 huruf a: “Membentuk Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat, yang meliputi seluruh wilayah yang sebelum berlakunya undang-undang ini termasuk dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat.”
Frasa “seluruh wilayah” di sini jelas mencakup seluruh daratan dan pulau-pulau pesisir di bawah otoritas kerajaan-kerajaan DIKB, termasuk Pulau Serasan dan Pengekek.
ANALISIS HUKUM TATA NEGARA
A. Asas Konstitusional: Legalitas Wilayah
Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 18B ayat (2) menegaskan prinsip pengakuan terhadap hak asal-usul daerah dan masyarakat hukum adat. Wilayah DIKB sebagai satuan politik yang lahir dari penyerahan kedaulatan kerajaan-kerajaan tradisional harus diakui sebagai wilayah yang sah berdasarkan prinsip rekognisi dan kontinuitas.
Rekognisi mengakui eksistensi kerajaan lokal yang menyerahkan kedaulatan.
Kontinuitas berarti wilayah kerajaan-kerajaan tersebut tetap diakui dalam struktur NKRI pasca-RIS, sebagaimana termaktub dalam UU No. 25 Tahun 1956.Maka, setiap tindakan administratif yang memindahkan wilayah tersebut ke provinsi lain harus berdasarkan undang-undang dan melalui proses konsultasi dengan pemerintah daerah, DPRD, serta masyarakat adat.
B. Cacat Administratif Pengambilalihan Wilayah
1. UU No. 25 Tahun 2002 (tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau) menyatakan bahwa Kabupaten Natuna masuk ke wilayah Kepri, namun tidak secara spesifik menyebut Pulau Serasan dan Pengekek sebagai alih wilayah dari Kalimantan Barat.
2. Keputusan Mendagri No. 100.1.1-6117 Tahun 2023 menetapkan Pulau Pengekek Besar dan Kecil sebagai milik Kepri tanpa persetujuan Kalimantan Barat.
Berdasarkan Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, hal tersebut tidak sah karena:
Pasal 6 ayat (1): penegasan batas harus berdasarkan kesepakatan dua daerah.
Pasal 8 dan 9: mempersyaratkan adanya dokumen sejarah, peta, dan persetujuan DPRD.
Artinya, pengambilalihan tersebut:
1.Bertentangan dengan asas legalitas (rechtsstaat), Bertentangan dengan asas demokrasi lokal (karena tidak melibatkan masyarakat dan DPRD Mempawah),
2.Melanggar asas non-retroaktif dalam pengakuan batas wilayah historis.
C. Konflik Normatif dan Rekomendasi Tindakan Hukum
Terjadi konflik norma antara:
UU No. 25 Tahun 1956 yang secara eksplisit mengakui wilayah DIKB termasuk pulau-pulau tersebut,Dengan UU No. 25 Tahun 2002 dan Keputusan Mendagri 2023 yang memindahkannya tanpa dasar hukum sejarah.
Tindakan hukum yang dapat dilakukan:
1. Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi atas UU 25/2002.
2. Keberatan administratif ke Menteri Dalam Negeri terhadap keputusan yang bertentangan dengan Permendagri No. 141/2017.
3. Pembentukan Pansus DPRD Provinsi Kalimantan Barat dan DPRD Mempawah.
4. Dialog antar-provinsi yang difasilitasi BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan).
KESIMPULAN
Secara sejarah, Pulau Serasan, Subi, Midai, dan Pengekek adalah bagian dari Kesultanan Kalbar dalam wilayah DIKB.
Secara hukum, UU No. 25 Tahun 1956 tetap sah berlaku dan mencakup wilayah tersebut ke dalam Kalimantan Barat.
Pengambilalihan oleh Kepri tanpa prosedur persetujuan dan konsultasi publik adalah cacat hukum tata negara.
Solusi terbaik adalah mengembalikan wilayah-wilayah tersebut kepada Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan prinsip rekognisi historis dan asas hukum yang sah.
Dokumen ini merupakan analisis hukum tata negara mengenai sengketa wilayah maritim antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau. Sengketa ini berpusat pada kepemilikan beberapa pulau, yaitu Pulau Serasan, Subi, Midai, dan Pulau Pengekek.
Argumentasi Inti: Penulis berargumen bahwa pulau-pulau tersebut secara historis dan yuridis merupakan bagian dari Kalimantan Barat, berdasarkan sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956. Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2023 dianggap cacat hukum karena tidak mempertimbangkan sejarah, asas partisipasi, dan asas penghormatan terhadap masyarakat adat.
Poin-poin penting analisis:
– Sejarah: Dokumen menelusuri sejarah kepemilikan pulau-pulau tersebut, menghubungkannya dengan Kesultanan Pontianak dan Mempawah, dan kemudian dengan DIKB. Penulis menekankan bahwa pulau-pulau tersebut menjadi bagian dari DIKB dan selanjutnya Kalimantan Barat berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956.
– Klaim Hukum: Penulis mempertanyakan legalitas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2023, yang memasukkan pulau-pulau tersebut ke dalam wilayah Kepulauan Riau tanpa kajian historis dan konsultasi yang memadai dengan Kalimantan Barat. Mereka berargumen bahwa tindakan ini melanggar asas legalitas, partisipasi, dan penghormatan terhadap masyarakat adat dan sejarah lokal.
– Analisis Hukum Tata Negara: Analisis mendalam dilakukan dengan mengacu pada Pasal 18B UUD 1945 (mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat), UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah. Penulis berpendapat bahwa proses pengambilalihan pulau-pulau tersebut oleh Kepri cacat prosedur karena tidak melibatkan DPRD Kalimantan Barat dan masyarakat setempat.
– Kesimpulan dan Rekomendasi: Dokumen menyimpulkan bahwa pengambilalihan pulau-pulau oleh Kepulauan Riau tidak sah secara hukum. Rekomendasi yang diberikan mencakup langkah-langkah hukum seperti uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, keberatan administratif kepada Menteri Dalam Negeri, pembentukan Pansus DPRD Kalbar dan Mempawah, dan dialog antar-provinsi.
Korelasi dengan Aspirasi Masyarakat Mempawah: Dokumen juga mencantumkan pandangan LSM Mempawah Berani yang mendukung klaim Kalimantan Barat atas pulau-pulau tersebut. Pendapat LSM ini diperkuat dengan analisis hukum tata negara yang telah diuraikan sebelumnya.
Analisis Kekuatan dan Kelemahan:
– Kekuatan: Analisis ini didukung dengan rujukan yang cukup kuat dari peraturan perundang-undangan dan sejarah, sehingga argumentasinya terstruktur dan sistematis.
– Kelemahan: Meskipun dokumen memberikan analisis yang rinci, akan lebih kuat jika disertai dengan bukti-bukti empiris yang lebih konkrit, seperti peta historis, dokumen kepemilikan tanah, atau kesaksian masyarakat setempat.
Secara keseluruhan, dokumen ini menyajikan analisis hukum yang komprehensif mengenai sengketa wilayah tersebut dan memberikan rekomendasi yang jelas untuk penyelesaiannya. Namun, perlu dipertimbangkan untuk memperkuat analisis dengan bukti-bukti empiris tambahan. ( Red )