
ANALISIS PENENTUAN BATAS LAUT KALIMANTAN BARAT – KEPULAUAN RIAU MENURUT UU 23/2014 DAN PERMENDAGRI 141/2017 DAN ANALISIS HISTORIS YURIDIS HUKUM TATA NEGARA
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
(Tim Ahli Khusus Senator Syarif Melvin AlKadrie SH DPD RI Kalimantan Barat Dan Tim Pakar Alumni Lemhanas Provinsi Kalimantan Barat)
BN – Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut antara Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Kalimantan Barat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014″ oleh Anggun Aprilia Sari dkk., berikut adalah ringkasan analisis dan narasi lengkapnya:
ANALISIS PENENTUAN BATAS LAUT KALIMANTAN BARAT – KEPULAUAN RIAU MENURUT UU 23/2014 DAN PERMENDAGRI 141/2017
1. Latar Belakang Masalah
Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Kalimantan Barat terletak saling berhadapan dan dipisahkan oleh laut, yaitu Laut Natuna dan Selat Karimata. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil laut dari garis pantai terluar. Namun, karena jarak antar wilayah ini relatif dekat, penarikan 12 mil laut dari masing-masing provinsi menimbulkan tumpang tindih wilayah pengelolaan laut.
2. Landasan Hukum
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
BAB V
KEWENANGAN DAERAH PROVINSI DI LAUT DAN DAERAH PROVINSI YANG BERCIRI KEPULAUAN
Bagian Kesatu
Kewenangan Daerah Provinsi di Laut
Pasal 27
(1) Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya.
(2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan
e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(4) Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua yg Daerah provinsi tersebut.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) mtidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
Bagian Kedua
Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
Pasal 28
(1) Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
Pasal 27 dan pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang Penataan Daerah. Penataan Daerah ini bertujuan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing nasional dan daerah, serta memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah. Penataan daerah mencakup pembentukan daerah dan penyesuaian daerah, termasuk pemekaran dan penggabungan daerah, yang dapat didasarkan pada pertimbangan kepentingan strategis nasional.
UU No. 23 Tahun 2014: Pasal 27 menyebutkan bahwa daerah provinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil laut dari garis pantai.
Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah: Jika terjadi konflik atau tumpang tindih wilayah laut antar provinsi yang saling berhadapan, maka batas wilayah ditentukan dengan metode garis tengah (median line). Dalam Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, Pasal 17 ayat (3) mengatur tentang penentuan batas wilayah laut antar provinsi yang berhadapan menggunakan prinsip garis tengah (median line).
Bunyi lengkap pasal tersebut adalah: “Dalam hal batas daerah di laut antara provinsi yang berhadapan, prinsip yang digunakan adalah garis tengah (median line), kecuali disepakati lain oleh para pihak”.
Penjelasan lebih lanjut:
Garis Tengah (Median Line): Prinsip ini menetapkan batas wilayah laut dengan menarik garis yang berjarak sama dari garis pantai terluar masing-masing provinsi yang berhadapan.
Pengecualian: Kesepakatan antara provinsi yang berhadapan dapat mengubah penerapan prinsip garis tengah ini.
Penerapan: Prinsip ini berlaku untuk penentuan batas wilayah laut yang berbatasan langsung, baik itu berbatasan dengan laut lepas atau perairan kepulauan.
Penting untuk dicatat bahwa Permendagri ini menjadi pedoman dalam penegasan batas daerah, termasuk batas wilayah laut, untuk menghindari konflik dan tumpang tindih wilayah.
Penjelasan lebih lanjut: Permendagri No. 141 Tahun 2017: Merupakan pedoman dalam penegasan batas daerah, termasuk batas wilayah laut antar provinsi.
Garis Tengah (Median Line): Metode ini digunakan untuk menentukan batas wilayah laut antara dua wilayah yang saling berhadapan. Garis ini ditarik di tengah-tengah antara titik terluar dari kedua wilayah tersebut, menurut Jurnal Geodesi Undip.
Tumpang Tindih Wilayah: Jika ada klaim wilayah laut yang saling bertumpang tindih, metode garis tengah ini menjadi solusi untuk menetapkan batas yang jelas dan adil bagi kedua belah pihak, berdasarkan Jurnal Geodesi Undip.
Dengan demikian, Permendagri No. 141 Tahun 2017 memberikan acuan yang jelas dalam penyelesaian potensi sengketa batas wilayah laut antar provinsi, yaitu dengan menggunakan prinsip garis tengah.
3. Metodologi Penelitian
Data berupa garis pantai tahun 2017 dari BIG (Badan Informasi Geospasial) dengan skala 1:50.000.
Tahap awal dilakukan proses buffer 12 mil laut dari garis pantai masing-masing provinsi.
Ketika terjadi tumpang tindih, dilakukan konversi garis pantai menjadi titik (convert to point), lalu dibuat Thiessen Polygon untuk menghasilkan median line sebagai dasar batas wilayah pengelolaan laut. Median line kemudian didigitasi untuk membagi wilayah laut secara adil.
4. Hasil Penelitian
Terdapat tumpang tindih pengelolaan laut seluas area yang cukup signifikan antara dua provinsi. Hasil digitasi berdasarkan median line memberikan keluasan sebagai berikut:
Provinsi Kepulauan Riau: 108.530,11 km²
Provinsi Kalimantan Barat: 14.407 km²
5. Analisis Hukum dan Teknis
Keadilan Geospasial: Penggunaan median line memenuhi prinsip keadilan spasial dan menghindari dominasi satu wilayah atas yang lain.
Kepastian Hukum: Dengan adanya pembagian berdasarkan Permendagri 141/2017, maka ada kejelasan yurisdiksi masing-masing pemerintah provinsi dalam hal pengelolaan sumber daya laut.
Strategi Mitigasi Sengketa: Kajian ini menjadi referensi penting dalam penyusunan Peraturan Daerah atau dalam penyelesaian potensi konflik pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah perbatasan laut antarprovinsi.
Baik, berikut ini narasi lanjutan dan analisis hukum lebih mendalam dengan mengaitkan hasil kajian dalam artikel jurnal penelitian Journal Of Geodesy And Geomatics Departemen Teknik Geomtimka FTSPK ITS Sukolilo Surabaya, No 2 Tahun 2022 (254-259) tersebut dikaitkan dengan Analisis sejarah hukum wilayah laut Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), termasuk kemungkinan rembesan sejarah hukum kolonial dan konflik yurisdiksi kontemporer: ANALISIS HUKUM: BATAS WILAYAH LAUT KALIMANTAN BARAT – KEPULAUAN RIAU DALAM KONTEKS SEJARAH HUKUM DAN STATUS DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT (DIKB)
1. Konteks Historis: DIKB dan Hak Atas Laut
Pada masa Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang terbentuk berdasarkan Konstitusi RIS 1949, wilayah ini merupakan hasil federasi kerajaan-kerajaan yang memiliki otonomi dan kekuasaan atas wilayah darat dan laut secara adat dan historis. Berdasarkan Protokol 21 Desember 1949 dan Konferensi Meja Bundar (KMB), daerah-daerah federal termasuk DIKB memiliki hak kewilayahan termasuk laut wilayah tradisional—yang sudah dikelola oleh Kesultanan atau kerajaan lokal sebelum RI merdeka. Namun, setelah integrasi ke dalam NKRI tahun 1950 melalui PP RIS No. 21 Tahun 1950, status istimewa DIKB dicabut secara administratif, dan sejak terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat (1957), status historis wilayah laut tidak lagi diakui secara eksplisit dalam hukum positif.
2. Ketimpangan Kewilayahan Laut (Data Terbaru)
Penelitian tahun 2022 dalam jurnal Geoid mengungkap:
Luas laut dikelola Kepulauan Riau: 108.530,11 km²
Luas laut dikelola Kalimantan Barat: 14.407 km²
Dari sisi spasial, tampak bahwa Kalimantan Barat yang dulunya berstatus daerah istimewa dan bagian dari Residen Van Borneo Barat dengan wilayah maritim historis (termasuk gugus pulau-pulau seperti Tambelan, Pengikik, dll) kini hanya mendapat porsi laut yang jauh lebih sempit daripada Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan pemekaran lebih baru (UU No. 25 Tahun 2002).
3. Isu Yurisdiksi: Sengketa Batas Laut
Berdasarkan Permendagri 141 Tahun 2017, penetapan batas laut antarprovinsi menggunakan metode median line (garis tengah) ketika wilayah laut saling berhadapan. Akan tetapi, pendekatan ini mengesampingkan sejarah penguasaan wilayah maritim oleh kerajaan-kerajaan lokal yang dahulu bernaung dalam DIKB dan wilayah kolonial Residentie Westerafdeeling van Borneo.
Dengan demikian, metode modern ini berpotensi menciptakan ketimpangan dan penghapusan memori hukum wilayah laut historis.
4. Potensi Konflik Peraturan (Falsifikasi Hukum)
Jika ditelusuri lebih dalam:
UU No. 23 Tahun 2014 dan Permendagri 141/2017 tidak memasukkan elemen sejarah kolonial dan adat dalam penentuan batas wilayah laut.
Pasal 10 dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 141 Tahun 2017 mengatur tentang “Penegasan Batas Daerah” dan secara spesifik membahas mengenai pengukuran dan pemetaan batas daerah.
Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Pasal 10 Permendagri 141 Tahun 2017:
Pengukuran Batas: Pasal ini menjelaskan bahwa pengukuran batas daerah dilakukan secara kartometrik, yaitu dengan menggunakan data peta dan koordinat.
Peta Dasar: Pasal ini juga menyebutkan bahwa dalam pengukuran dan pemetaan batas daerah, digunakan peta dasar yang memenuhi standar yang berlaku.
Titik Kontrol: Terdapat ketentuan mengenai titik kontrol yang digunakan sebagai dasar pengukuran dan pemetaan, termasuk titik kontrol horisontal dan vertikal.
Penyajian Data: Data hasil pengukuran dan pemetaan batas daerah disajikan dalam bentuk peta digital dan berita acara kesepakatan.
Penyelarasan Data: Data hasil pengukuran dan pemetaan juga harus diselaraskan dengan data yang ada pada daerah lain yang berbatasan.
Secara keseluruhan, Pasal 10 ini memberikan panduan teknis mengenai bagaimana proses pengukuran dan pemetaan batas daerah dilakukan, dengan tujuan menciptakan data batas daerah yang akurat dan memiliki kepastian hukum.
Di sisi lain, beberapa peraturan daerah (seperti Pasal 20 ayat 8 Perda Kabupaten Bintan No. 11 Tahun 2007) malah mencantumkan wilayah seperti Pulau Pengikik yang berdasarkan peta kolonial masuk dalam wilayah Residen Mempawah (sekarang Kalimantan Barat).
Hal ini memunculkan konflik horizontal antar daerah dan bahkan berimplikasi hukum jika dikaitkan dengan potensi pengelolaan sumber daya alam (perikanan, migas, dll).
Berdasarkan Kewenangan atribusi yang dimiliki Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Maka berdasarkan Hukum Tata Negara cq Hukum Administrasi Negara dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda. Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda. Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam memajukan Daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk meningkatkan daya saing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang dapat dijadikan pegangan bagi pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.
5. Rekomendasi Rekonstruksi Hukum Sejarah Laut DIKB
Kajian historis-peta kolonial: Gunakan peta seperti Staadsblad, Regeeringsalmanak, dan arsip Besluit Gubernur untuk memulihkan pengakuan wilayah laut Kesultanan/Kerajaan eks DIKB.
Rekonstruksi hukum publik daerah istimewa: Bahwa DIKB memiliki status yang secara historis memiliki hak atas wilayah laut tertentu, sehingga perlu pendekatan multilevel (sejarah, politik, hukum) dalam menetapkan batas.
Dialog antarprovinsi dan pusat-daerah: Mediasi politik-hukum perlu dibuka antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau untuk merumuskan delimitasi ulang berdasarkan historical title bukan hanya equidistance principle.
6. Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa dalam konteks dua wilayah provinsi yang saling berhadapan secara geografis, penentuan batas wilayah laut harus menggunakan median line sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 141/2017, dengan pengambilan dasar penarikan batas 12 mil laut sebagaimana tertuang dalam UU No. 23/2014. Hal ini menghasilkan penetapan kewenangan wilayah laut Provinsi Kepulauan Riau lebih besar dibanding Kalimantan Barat karena posisi geografis dan konfigurasi garis pantai masing-masing.
Berikut fatwa atau nota diplomatik dari Sultan Syarif Melvin AlKadrie, SH, Sultan IX Kesultanan Kadriah Pontianak, kepada Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum, selaku Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak, untuk menjelaskan batas wilayah maritim bersejarah Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan dokumen sejarah dan peraturan hukum:
FATWA SULTAN KESULTANAN KADRIAH PONTIANAK
Nomor: 01/FATWA-SK/2025
Tentang:
Penegasan Kembali Wilayah Maritim Bersejarah Kesultanan Kadriah Pontianak dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB)
Kepada Yth.
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum
Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan senantiasa mengharap ridha Allah SWT, dan berlandaskan semangat menjaga warisan sejarah, hukum, dan kedaulatan adat Kesultanan Kadriah Pontianak serta amanah sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), maka bersama ini kami sampaikan fatwa sebagai berikut:
I. LATAR SEJARAH
1. Kesultanan Kadriah Pontianak sebagai entitas kerajaan yang berdiri sejak tahun 1771 M (23 Oktober), memiliki wilayah kedaulatan maritim yang mencakup perairan delta Kapuas, pesisir barat Kalimantan hingga gugusan Pulau Tambelan dan Pengikik, sebagaimana termaktub dalam peta kolonial Hindia Belanda, Residentie Westerafdeeling van Borneo.
2. Dalam masa Republik Indonesia Serikat (RIS), DIKB diakui sebagai satuan kenegaraan dengan hak administratif dan maritim yang berlaku berdasarkan Konstitusi RIS 1949 dan Protokol 21 Desember 1949.
3. Hak kelautan tersebut tidak pernah dicabut secara eksplisit melalui perjanjian bilateral antar wilayah, namun mengalami penyeragaman administratif melalui PP RIS No. 21 Tahun 1950 dan kemudian integrasi ke dalam Provinsi Kalimantan Barat (1957).
II. KONFLIK YURISDIKSI KONTEMPORER
4. Bahwa berdasarkan hasil kajian ilmiah Geoid Vol. 17 No. 2 Tahun 2022, wilayah laut Provinsi Kalimantan Barat hanya mendapat alokasi pengelolaan laut seluas 14.407 km², jauh di bawah alokasi Provinsi Kepulauan Riau sebesar 108.530,11 km², dengan dasar penarikan 12 mil laut dari garis pantai berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 dan Permendagri No. 141 Tahun 2017.
5. Bahwa wilayah Pulau Tambelan, Pulau Pengikik, dan gugusan perairan sebelah barat Kalimantan historically termasuk dalam residen Mempawah, namun kini diklaim dalam peraturan daerah lain, seperti Pasal 20 ayat 8 Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007, yang tidak sesuai dengan sejarah hukum wilayah dan peta kolonial.
III. PERINTAH DAN ARAHAN SULTAN
Maka dengan ini, sebagai Sultan Kesultanan Kadriah Pontianak yang berdaulat secara adat dan berkepentingan dalam menjaga integritas sejarah dan wilayah warisan Kesultanan, kami memerintahkan:
Kepada Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak:
1. Menyiapkan Kajian Hukum dan Sejarah Wilayah Maritim DIKB dan Kesultanan Kadriah, dengan merujuk:
Peta-peta kolonial (Staadsblad, Regeeringsalmanak, Besluit Gubernur)
Konstitusi RIS 1949 dan Protokol 21 Desember 1949
Putusan dan produk hukum terkait batas wilayah pasca-1950
2. Menyusun Nota Diplomatik dan Surat Keberatan Resmi kepada:
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
Gubernur Kalimantan BaratDPRD Provinsi Kalimantan Barat
Bupati Mempawah dan Sambas
3. Mengadvokasi pengakuan kembali wilayah laut tradisional DIKB dan Kesultanan Kadriah melalui dialog publik, seminar hukum tata negara, dan uji materiil bila diperlukan terhadap peraturan daerah yang mengklaim wilayah laut yang historis dimiliki oleh Kalimantan Barat.
4. Melibatkan ahli hukum tata negara, geospasial, dan sejarah hukum dalam proses rekonstruksi batas maritim untuk diserahkan sebagai dokumen yuridis kepada pemerintah pusat.
Demikian fatwa ini kami keluarkan sebagai langkah afirmasi Kesultanan terhadap sejarah, kedaulatan, dan keadilan wilayah.
Pontianak, 15 Juli 2025 M
18 Muharram 1447 H
SULTAN KADRIAH PONTIANAK KE IX
Sultan Syarif Melvin AlKadrie, SH
Senator DPD RI Dari Kalimantan Barat.
Berikut adalah lampiran lanjutan atas Fatwa Sultan Kadriah Pontianak terkait batas wilayah laut Kalimantan Barat, disusun berdasarkan peta sejarah, dokumen kolonial, dan analisis hukum menyeluruh.
LAMPIRAN FATWA SULTAN KADRIAH PONTIANAK
Tentang: Penegasan Batas Wilayah Maritim Historis Kalimantan Barat
I. PETA KUNO & REFERENSI SEJARAH HUKUM
1. Wilayah Maritim Residen Van Borneo Barat (Residentie Westerafdeeling van Borneo)
Peta Belanda tahun 1886–1930 menyebut wilayah Kalimantan Barat sebagai bagian dari Residentie Westerafdeeling van Borneo yang mencakup:
Wilayah pesisir dari Sambas, Pontianak, hingga Mempawah, Gugus Kepulauan Tambelan dan Pengikik secara administratif dicatat sebagai bagian dari Mempawah
Staadsblad Hindia Belanda yang relevan:
Staatsblad No. 178 Tahun 1938: Residentie West-Borneo dibagi atas:
Afdeling Sambas,Afdeling Pontianak Afdeling Mempawah (memuat wilayah kepulauan)
Staatsblad 1898 No. 178 dan 1899 No. 210: mengatur yurisdiksi Kesultanan dan pemerintahan lokal yang diperkuat Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas wilayah perairan dan gugusan pulau
2. Regeeringsalmanak (1925, 1939, 1942)
Menyebut bahwa: Pulau Tambelan dan Pengikik termasuk dalam Bestuursressort van Residentie Pontianak, Pulau-pulau tersebut menjadi bagian terluar pengawasan hukum kolonial di bawah kontrol langsung Residen di Pontianak
II. ANALISIS KATEGORISASI DAN METODE HUKUM
1. Kategorisasi Hukum
Hukum Kolonial, Staatsblad, Besluit Gubernur Jenderal, Regeeringsalmanak
Hukum Nasional
UU No. 23 Tahun 2014, Permendagri 141 Tahun 2017
Hukum Historis Lokal
Kewenangan Kesultanan berdasarkan adat dan wilayah penguasaan sebelum 1945
Hukum Federal, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, lihat selaras point Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 merupakan peraturan terbaru yang mengatur tentang Provinsi Kalimantan Barat. UU ini menyempurnakan dasar hukum, menyesuaikan cakupan wilayah, menegaskan karakteristik, serta menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Provinsi Kalimantan Barat.
BAB II
CAKUPAN WILAYAH, IBU KOTA, DAN KARAKTERISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Pasal 3
Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu:
Kabupaten Bengkayang; Kabupaten Kapuas Hulu; Kabupaten Kayong Utara; Kabupaten Ketapang; Kabupaten Kubu Raya; Kabupaten Landak; Kabupaten Melawi; Kabupaten Mempawah; Kabupaten Sambas; Kabupaten Sanggau; Kabupaten Sekadau; Kabupaten Sintang; Kota Pontianak; dan Kota Singkawang.
Pasal 4
Ibu kota Provinsi Kalimantan Barat berkedudukan di KotaPontianak.
Pasal 5
(1) Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter kewilayahan yang kaya akan sumber keanekaragaman hayati serta merupakan hutan tropis alami yang dilindungi oleh pemerintah.
(2) Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter suku bangsa dan kultural yang secara umum memiliki karakter religius sekaligus menjunjung tinggi adat istiadat dan kelestarian lingkungan.
Beberapa poin penting yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 2022:
Penyempurnaan Dasar Hukum: UU ini mencabut dan mengganti beberapa ketentuan yang sebelumnya mengatur Kalimantan Barat dalam UU lain, seperti UU No. 25 Tahun 1956, UU No. 21 Tahun 1958, dan UU Darurat No. 10 Tahun 1957
Penyesuaian Cakupan Wilayah: UU ini menetapkan kembali batas-batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Penegasan Karakteristik: UU ini menegaskan karakteristik khusus dari Provinsi Kalimantan Barat.
Sinkronisasi Peraturan: UU ini memastikan keselarasan dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
Jumlah Kabupaten dan Kota: UU ini menetapkan bahwa Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota, dengan Kota Pontianak sebagai ibu kota provinsi BPK RI.
Penting untuk dicatat: UU ini mulai berlaku sejak tanggal 16 Maret 2022. Dengan adanya UU ini, peraturan-peraturan sebelumnya yang mengatur hal yang sama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Konstitusi RIS 1949 & Protokol 21 Desember 1949 (DIKB sebagai entitas negara bagian)
2. Klarifikasi Hukum
UU No. 23 Tahun 2014 memberi batas pengelolaan laut 12 mil laut dari pantai provinsi tanpa mengakui sejarah wilayah.
Permendagri 141/2017 menetapkan “median line” untuk menghindari konflik, namun tidak mempertimbangkan hak historis atau titel lama (historical title) seperti pada DIKB.
Perda Kabupaten Bintan No. 11 Tahun 2007 Pasal 20 ayat 8 mencantumkan pulau seperti Pengikik dalam wilayahnya secara administratif tanpa verifikasi sejarah.
3. Verifikasi Hukum
Verifikasi dilakukan dengan mencocokkan peta kolonial dengan peta modern dan dokumen hukum:
Pulau Pengikik dan Tambelan masuk dalam wilayah historis Mempawah (Residen Borneo Barat).Tidak ditemukan dokumen hukum yang secara sah memindahkan wilayah ini ke Provinsi Riau pasca-integrasi 1950.
Penetapan wilayah Kepulauan Riau dalam UU No. 25 Tahun 2002 tidak menyebutkan secara eksplisit Pulau Pengikik sebagai bagian sah berdasarkan dokumen historis.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau tidak secara eksplisit menyebutkan Pulau Pengikik sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan dokumen historis. Selain itu, batas timur Kepulauan Riau dalam undang-undang tersebut berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat, bukan Pulau Pengikik.
Penjelasan lebih rinci:
UU No. 25 Tahun 2002:Undang-undang ini hanya menetapkan batas-batas umum Provinsi Kepulauan Riau, tanpa merinci setiap pulau atau wilayah administratif yang termasuk di dalamnya.
Pulau Pengikik: Berdasarkan dokumen historis dan administrasi, Pulau Pengikik secara historis dan geografis lebih dekat dengan wilayah Kalimantan Barat, khususnya Kesultanan Pontianak.
Batas Timur: Batas timur Kepulauan Riau dalam UU tersebut adalah Provinsi Kalimantan Barat, bukan Pulau Pengikik, yang secara administratif dan historis tidak termasuk dalam wilayah Riau pada masa lalu.
Dokumen Historis: Dokumen-dokumen sejarah, seperti peta kolonial dan catatan administrasi, menunjukkan bahwa Pulau Pengikik tidak pernah tercatat sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi Provinsi Riau.
Sengketa Wilayah: Meskipun Pulau Pengikik secara administratif berada di bawah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, klaim terhadap pulau tersebut oleh Kepulauan Riau berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun 2007 ditentang karena tidak sesuai dengan fakta sejarah dan dokumen administratif yang ada. (Pasal 20 ayat 8,10 )
Perlu Penegasan Batas: Untuk menghindari sengketa lebih lanjut, perlu adanya penegasan batas wilayah Laut yang jelas antara wilayah laut Kalimantan Barat dan wilayah laut Kepulauan Riau, yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi Geospasial (BIG), lihat hasil penelitian terbaru, berdasarkan pasal 7 Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 jika terjadi tumpang tindih wilayah maritim atau batas wilayah Laut.
4. Validasi Hukum
Validasi wilayah laut Kalimantan Barat berdasarkan UU 23/2014 tidak memperhitungkan asas sejarah (historical sovereignty) sebagaimana digunakan dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982), oleh karena itu data peta historis wilayah maritim menjadi bahan pertimbangan secara adil dan bermartabat serta transparan .
Oleh karena itu, pengurangan wilayah laut Kalimantan Barat menjadi hanya 14.407 km² (berbanding Kepulauan Riau 108.530 km²) berpotensi tidak sah secara historis.
5. Falsifikasi Hukum (Pembatalan Norma Bertentangan)
Permendagri 141/2017 dan UU 23/2014 bertentangan dengan prinsip:
Non-retroactive abolishment of legal status dalam hukum federal RIS, Dokumen Protokol Akte Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 serta Protokol 21 Desember 1949, serta Peta wilayah Kerajaan/Kesultanan yang bergabung di DIKB dan Peta Indonesia 1948 dan peta Kalimantan Barat 1505 sd 1848.
Prinsip ex injuria jus non oritur dalam hukum internasional, yaitu hukum yang berasal dari ketidakadilan atau pemaksaan tidak menghasilkan legitimasi
Sehingga, peniadaan hak-hak maritim Kesultanan atau DIKB pasca-1950 tidak sepenuhnya sah jika tidak melalui tindakan hukum resmi yang membatalkan titel wilayah, selama ini UU Provinsi Kalimantan Barat yang baru Tahun 2022 hanya mencabut keistimewaan DIKB , bukan mencabut wilayah yuridiksi maritim atau batas laut.
III. PENUTUP DAN RUMUSAN STRATEGIS
1. Fatwa Sultan dan Nota Diplomatik harus dijadikan dasar untuk:
Mengadvokasi delimitasi ulang wilayah laut Kalimantan Barat
Mengajukan pengakuan wilayah maritim berdasarkan peta kolonial dan hukum RIS ke Kementerian Dalam Negeri dan Mahkamah Konstitusi dan Kebadan Yang Berwenang.
2. Langkah tindak lanjut:
Kajian yuridis akademik bersama perguruan tinggi, lihat Jurnal Penelitian Geoid Vol 17, No 2 .2022 (254-259).
Diskusi hukum dengan DPRD Kalimantan Barat,DPR RI, DPD RI Komite II, dan Kemenko Polhukam. ( Red )