Benang merah Permasalahan Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau

Benang merah Permasalahan Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman,SH,MHum Tim Pakar Ikatan Alumni Lemhanas Provinsi Kalimantan Barat, Staf Khusus Senator Syarif Melvin AlKadrie SH, DPD RI Kalimantan Barat, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak)

Abstrak
Dokumen ini menganalisis konstruksi hukum penegasan batas antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, khususnya mengenai Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil.  Permasalahan bermula dari ketidakjelasan status kepemilikan kedua pulau tersebut, yang terungkap dalam Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau di Kalimantan Barat (2008). Meskipun ada kesepakatan tahun 2014 yang menyatakan kedua pulau sebagai bagian dari Kabupaten Bintan (Kepri), kesepakatan ini dinilai cacat hukum karena tidak memenuhi prinsip “Clear and Clean” dan kurangnya dasar hukum yang kuat.  Analisis hukum menunjukkan kelemahan formil dan substansi administratif dalam proses penegasan batas, termasuk penggunaan metode kartometrik yang belum dilakukan secara formal dan tuntas.  Dokumen merekomendasikan audit administratif, klarifikasi formal kepada Kemendagri, melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG), dan bahkan  pengajuan sengketa ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi jika diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan secara yuridis dan komprehensif sesuai Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, Permendagri Nomor 76 Tahun 2014, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014, patut diduga tidak menerapkan Asas Asas Pemerintahan Daerah Yang Baik dan Tindak Administrasi Pemerintahan yang bisa mengarah “penyalahgunaan Kewenangan secara Hukum Tata Usaha Negara”, karena Tidak Jelas penggunaan istilah dalam berita Acara Tahun 2014 Merupakan Cakupan Wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau apakah mengarah penegasan Batas Daerah di Kedua Provinsi atau Batas Wilayah di Laut di Kedua Provinsi yaitu Antara Propinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau dari sejak Tahun 2007, 2008 sampai dengan Tahun 2014, Kemudian baru muncul Temuan Hukum Administrasi Pemerintahan Bulan Juli 2025 serta menjadi Perhatian Publik di Media Sosial dan Para penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Anggota DPRD Mempawah dan Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat,serta perhatian khusus DPD RI Sultan Syarif Melvin AlKadrie SH Senator Daerah Provinsi Kalimantan Barat, serta Tim Pakar IKAL Kalimantan Barat.

Ringkasan Isi
Dokumen ini membahas sengketa batas wilayah antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau terkait Pulau Pengeke Besar dan Kecil.  Analisis difokuskan pada cacat hukum dalam proses penegasan batas yang telah dilakukan.  Poin-poin pentingnya adalah:
– Ketidakjelasan Status Kepemilikan:  Awalnya, status kepemilikan Pulau Pengeke Besar dan Kecil tidak jelas.  Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau tahun 2008 di Kalimantan Barat merekomendasikan klarifikasi lebih lanjut di tingkat pusat.
– Kesepakatan 2014 yang Cacat Hukum:  Sebuah kesepakatan tahun 2014 menyatakan kedua pulau sebagai bagian dari Kabupaten Bintan (Kepri). Namun, kesepakatan ini dianggap cacat karena tidak memenuhi prinsip “Clear and Clean” yang diamanatkan dalam Permendagri No. 141 Tahun 2017 dan  tidak melalui proses kartometrik yang tepat.  Selain itu, kesepakatan tersebut hanya mengacu pada verifikasi dari Kalimantan Barat, sementara verifikasi serupa dari Kepulauan Riau tidak tersedia.
– Keputusan Mendagri 2022 yang Dipertanyakan: Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 2022 yang memasukkan kedua pulau ke dalam wilayah Kepulauan Riau dipertanyakan karena permasalahan batas wilayah belum tuntas.
– Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan:  Analisis menjabarkan kelemahan formil dan substansi administratif dalam proses penegasan batas, termasuk kurangnya koordinat geodetik, peta digital, dan kesepakatan lintas wilayah yang terdokumentasi dengan baik.
– Rekomendasi:  Dokumen merekomendasikan audit administratif, permintaan klarifikasi kepada Kemendagri, pelibatan BIG, dan upaya yudisial jika perlu untuk menyelesaikan sengketa ini secara sah dan definitif.  Hal ini diperlukan agar sesuai dengan Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.
Dokumen ini menyoroti pentingnya proses penegasan batas wilayah yang legal dan transparan, serta peran Kemendagri dalam menyelesaikan sengketa antar provinsi.  Ketidakjelasan status kedua pulau tersebut dapat berdampak pada berbagai aspek pemerintahan dan pengelolaan sumber daya di wilayah tersebut.
ANALISIS HUKUM PENEGASAN BATAS DAERAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Berikut adalah ringkasan dan analisis hukum administrasi pemerintahan daerah terkait permasalahan batas wilayah antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, khususnya mengenai Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil:
I. Benang Merah Permasalahan:
Permasalahan bermula dari ketidakjelasan status kepemilikan Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil yang terungkap dalam Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau di Kalimantan Barat (28 Juni 2008). Berita acara tersebut mencatat perlunya klarifikasi lebih lanjut di tingkat pusat terkait kedua pulau tersebut karena adanya klaim tumpang tindih antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau.  Meskipun ada kesepakatan pada Berita Acara Batas Daerah (11 Juli 2014) yang menyatakan kedua pulau sebagai bagian dari Kabupaten Bintan (Kepri), kesepakatan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan secara tuntas karena tidak memenuhi prinsip “Clear and Clean” dan kurangnya dasar hukum yang kuat.  Ketidakjelasan ini berlanjut hingga munculnya Keputusan Mendagri 050-145 Tahun 2022 yang memasukkan kedua pulau ke dalam wilayah Kepulauan Riau.
II. Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah:
A. Cacat Administrasi dan Kelemahan Formil:
– Klaim sepihak:  Kesepakatan dalam Berita Acara 11 Juli 2014 yang menyatakan Pulau Pengeke Besar dan Kecil sebagai bagian dari Kabupaten Bintan didasarkan pada hasil verifikasi penamaan pulau di Kalimantan Barat tahun 2008.  Namun, verifikasi tersebut justru menunjukkan adanya permasalahan yang perlu diselesaikan di tingkat pusat, bukan sebagai dasar penegasan batas wilayah.  Tidak adanya verifikasi formal serupa dari Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2007/2008 memperkuat kelemahan ini.
– Prinsip “Clear and Clean”:  Kesepakatan tersebut tidak memenuhi prinsip “Clear and Clean” yang diamanatkan dalam Permendagri No. 141 Tahun 2017, karena tidak didasari oleh koordinat geodetik, peta digital, dan kesepakatan lintas wilayah yang terdokumentasi secara resmi dan komprehensif.
– Keputusan Tidak Final:  Kesepakatan tersebut bukanlah keputusan final karena tidak didasari keputusan Menteri Dalam Negeri.
B. Aspek Teknis Penegasan Batas Laut:
– Metode Kartometrik:  Permendagri No. 141 Tahun 2017 menetapkan bahwa penentuan batas laut dilakukan dengan metode kartometrik, yaitu dengan peta dasar, koordinat, dan prinsip equidistance atau garis tengah.  Proses ini belum dilakukan secara formal dan tuntas untuk Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil.
C. Aspek Yuridis Historis:
– Perjanjian Kolonial:  Perjanjian kolonial masa lalu bukanlah dasar hukum yang kuat untuk penetapan batas wilayah saat ini.
– Permendagri No. 58 Tahun 2021 dan Keputusan Mendagri 050-145 Tahun 2022:  Penggunaan kedua peraturan tersebut sebagai dasar pengakuan atas Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil di wilayah Kepulauan Riau patut dipertanyakan validitasnya karena permasalahan batas wilayah masih belum selesai secara tuntas.
III. Kesimpulan:
Permasalahan batas wilayah Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau disebabkan oleh penyelesaian batas laut yang belum dilakukan secara yuridis dan komprehensif sesuai Permendagri No. 141 Tahun 2017.  Kesepakatan yang ada tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat.  Penyelesaiannya memerlukan intervensi tingkat pusat (Kemendagri) melalui mekanisme TPBD Nasional, metode kartometrik, penetapan koordinat batas daerah laut, dan pemetaan resmi.
IV. Rekomendasi:
1. Audit administratif atas proses masuknya Pulau Pengeke Besar dan Kecil dalam kode wilayah Kepulauan Riau.
2. Permintaan klarifikasi formal kepada Kemendagri.
3. Permintaan salinan verifikasi Kepri Tahun 2007-2008 (jika ada).
4. Melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG).
5. Ajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi atau MA (PTUN) jika diperlukan.
Berawal dari Judul Dokumen hasil Tindakan Administrasi Pemerintahan Daerah yang dituangkan dalam  Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau di Provinsi Kalimantan Barat Tanggal: 28 Juni 2008
Dikeluarkan oleh: Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Jl. Kebon Sirih No. 31, Jakarta
Isi Pokok Berita Acara:
1. Verifikasi Nama Pulau:
Dilakukan di Pontianak pada tanggal 28 Juni 2008. Dihadiri oleh unsur pemerintah provinsi, asisten pemerintahan, camat, kepala desa, dan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.
2. Jumlah Pulau Terverifikasi:
Ditetapkan sebanyak 217 pulau di wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang telah diverifikasi dan disepakati penamaannya.
Yang menjadi perhatian dari analisis Konstruksi Hukum  adalah pada point berikut ini:
4. Pulau yang Butuh Klarifikasi di Tingkat Pusat (Lintas Provinsi):
2 (dua) Pulau antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau:
Pulau Pengikik Besar,  Pulau Pengikik Kecil
Berdasarkan Point 4 di atas menyatakan dengan tegas ada dua  Pulau yang dibutuhkan Klarifikasi ditingkat Pusat Lintas Provinsi  , yaitu pulau Pengeket Besar dan Pengeket  Kecil.
Jika memperhatikan norma hukum pasal Pasal 20 ayat 8,9,10,11 Perda Kabupaten Bintan Nomor 11 Tahun 2007 berbunyi:
20 ayat 8 Desa Pulau Pengikik, Kecamatan Tambelan, berbatasan:
Utara: Pulau Menggirang & Kampung Melayu
Selatan: Selat Karimata
Barat: Desa Pulau Mentebung
Timur: Pulau Datuk, Provinsi Kalimantan Barat
Pasal 20 ayat 10 menyatakan batas wilayah dituangkan dalam peta dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perda ini.
Pasal 20  ayat 11 menyebut batas wilayah ditentukan secara pasti melalui Peraturan Bupati.
Analisis Hukum:
1. Sesuai Permendagri No. 141 Tahun 2017
Permendagri ini mengatur tentang mekanisme dan prosedur penegasan batas daerah. Terkait dokumen di atas, ada dua poin penting:
a. Penerapan Prinsip “Clear and Clean”
Dokumen telah menyebut batas wilayah secara deskriptif , bahwa tentang Batas Daerah mewajibkan:
Batas dituangkan dalam peta garis batas, Peta tersebut harus menggunakan Koordinat Geodetik (Sistem Geografis/UTM), Menggunakan citra satelit dan dokumen historis (Pasal 5 s.d. Pasal 7)
Dalam Perda nomor 11’Tahun 2007, dinyatakan bahwa  peta hanya disebut sebagai lampiran, belum terlihat apakah sudah mengikuti koordinat teknis yang dimaksud.
b. Konflik Lintas Provinsi – Batas Desa Pulau Pengikik
Disebutkan bahwa Desa Pulau Pengikik berbatasan dengan Pulau Datuk Provinsi Kalimantan Barat. Ini merupakan batas antar provinsi, dan menurut Permendagri 141 Tahun 2017  penyelesaiannya harus melalui:
Tingkat Teknis → Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD)
Musyawarah oleh Tim PBD Provinsi → Kabupaten → Kemendagri
Jika tidak tercapai → Keputusan Mendagri
Catatan: Ini sangat penting karena menunjukkan adanya sengketa wilayah administratif antar provinsi (Bintan – Kepri vs Kalbar) yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan Perda Kabupaten, tetapi harus ditarik ke forum nasional atau antar Provinsi Berdasarkan Permendagri 141/2017, apalagi dengan Perjanjian Yang sudah berakhir 1886, Perjanjian Kolonial VOC dengan Kerajaan Riau Lingga, sebagai bukti Klaim.
2. Tinjauan Permendagri No. 76 Tahun 2014
Permendagri ini mengatur penataan desa, termasuk pemekaran, penggabungan, dan penegasan batas desa.
Dalam dokumen ini, terdapat beberapa indikator relevan:
1. Dokumen PERDA Nomor 11 Tahun 2007 Kab Bintan ini mengarah pada penegasan batas wilayah administratif desa/kelurahan, dan secara normatif mengikuti struktur yang sah menurut Permendagri 76/2014 dan Permendagri 141/2017.
2.Belum dijelaskan secara teknis apakah penegasan batas tersebut sudah menggunakan: Koordinat Geodetik, Peta digital (shapefile, citra satelit), Kesepakatan Lintas Wilayah/Provinsi, khususnya Desa Pulau Pengikik vs Kalbar
3. Adanya batas antar provinsi (Kepri – Kalbar) harus ditangani dengan mekanisme formal melalui TPBD dan keputusan Mendagri, bukan hanya melalui Perda Kabupaten.
4.Disarankan untuk menelusuri dokumen peta lampiran dan Peraturan Bupati sebagaimana disebut pada pasal 20 ayat 11, serta memverifikasi apakah proses verifikasi dan validasi sesuai prosedur Permendagri 141/2017 sudah dijalankan.
Benang Merah penegasan batas yang elegan
Analisis Laporan Hasil Rapat  Pembinaan  dan Pembakuan Nama Nama Pulau  Di Indonesia Dalam Rangka Verifikasi dan Pembakuan  Nama Nama Pulau di Provinsi Kalimantan Barat, Biro Pemerintahan Juli 2008, pada Poin 12 angka 2 menyatakan
Terdapat 2 (Dua) pulau yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, masing masing:
a. Pulau Pengeke Besar, b.Pulau Pengeket Kecil
Analisis Berita Acara Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Riau Kepulauan Hari Rabu tanggal 19, bulan Juli, Tahun 2014, point yang paling penting menjadi point analisis hukum adalah:
“Bahwa pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Sesuai hasil verifikasi penamaan pulau di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008″
Analisisnya,  Jika kita kaitkan dengan Berita Acara Verifikasi  Penamaan Pulau  di Provinsi Kalimantan Barat pada point  4 menyatakan, bahwa ” Permasalahan Yang Akan Diselesaikan ditingkat Pusat antara lain: Pada huruf a Ada dua pulau  yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, yaitu pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil..
Berdasarkan Berita Acara diatas, bahwa secara hukum administrasi negara dalam hal ini hukum administrasi pemerintahan Daerah secara detail fakto dan dejure, bahwa  masih akan diselesaikan ditingkat Pusat.
Bahwa yang menjadi titik point analisis hukum administrasi negara dalam hukum administrasi pemerintahan Daerah adalah kemudian klasul pada Berita Acara Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Riau Kepulauan Hari Rabu tanggal 19, bulan Juli , Tahun 2014, di Pontianak point  1 berbunyi :
Berdasarkan kesepakatan bersama Tim Penegasan Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, “Bahwa pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Sesuai hasil verifikasi penamaan pulau di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008”
Analisis Klarifikasi Hukum Administrasi Negara dan atau Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah adalah klasul
Istilah “Cakupan wilayah” Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Sesuai Hasil verifikasi penamaan Pulau di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008, yang menjadi analisis hukum administrasi negara dan /atau hukum administrasi pemerintahan Daerah adalah ada dua hal yang perlu diklarifikasi,yaitu:
Cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, mengacu sesuai hasil verifikasi penamaan pulau Provinsi Kalimantan Barat, padahal Berita Acara hari Sabtu, Tanggal 28 Juni Tahun 2008 di Provinsi Kalimantan Barat telah disepakati dan ditandatangani hasil Rapat  Pembinaan dan Pembakuan Nama Pulau di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Rapat secara resmi dibuka oleh Asisten Pemerintahan  dan Hukum Setda Provinsi Kalimantan Barat, dihadiri oleh unsur dari Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten/Kota serta Camat dan Kepala Desa yang memiliki pulau diwilayah serta Tim Nasional Pembakuan Rupanumi.
Klasul Berita acara tersebut adalah Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau di Propinsi Kalimantan Barat, Pertanyaan mana berita acara di Provinsi Kepulauan Riau yang dinyatakan pada Berita Acara Hari Kamis, Tanggal 11, Bulan Juli Tahun 2014 tentang Batas Daerah Kalimantan Barat Dengan Provinsi Kepulauan Riau? karena pada klasul ”
1. Berdasarkan Kesepakatan antara Tim Penegasan Batas Daerah Provinsi Kalimantan  Dengan Provinsi Riau, yang menyatakan  Bahwa Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
2. Ada klasul Tindakan Pejabat Administrasi , ” Sesuai hasil Verifikasi Penamaan Pulau di Provinsi Kalimantan Barat”
JIka kita cermati dengan konstruksi Hukum Administrasi Negara, pada Berita Acara Direktorat Jenderal  Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri, Nomenklatur adalah ” BERITA ACARA VERIFIKASI PENAMAAN PULAU DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT ” Pada hari Sabtu , tanggal 28 ,Bulan Juni Tahun 2008 di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat” bukan di Provinsi Kepulauan Riau.
Bahwa  pada point 4 Klasulnya Tindakan Administrasi Pemerintahan menyatakan dengan jelas secara detail fakto :
“Permasalahan yang akan diselesaikan di Tingkat Pusat Antara Lain:
a. Ada dua pulau  yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau yaitu Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil.”
Berdasarkan klasul point 4 diatas, kemudian dikuatkan dengan Laporan Hasil Rapat Pembinaan dan Pembakuan Nama Nama Pulau  Di Indonesia Dalam Rangka Verifikasi dan Pembakuan Nama Nama Pulau  Di Provinsi Kalimantan Barat yang di Terbitkan Biro Pemerintahan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Bulan Juli 2008, Pada Point 12:
” Dari jumlah pulau di Provinsi Kalimantan Barat diatas terdapat 10 ( Sepuluh ) Pulau yang bermasalah dan perlu ditindaklanjuti untuk penyelesaian oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi , dan Kabupaten yang Bersangkutan , Pulau Pulau yang masih bermasalah tersebut sebagai berikut:
2) Terdapat 2 (dua) pulau  yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, masing -masing :
a.Pulau Pengeke Besar
b.Pulau Pengeke Besar
Berdasarkan klasul tersebut diatas, sebenarnya permasalahan kedua Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil masih perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau.
Bahwa yang menjadi analisis Hukum Administrasi Pemerintahan adalah klasul:
“bahwa Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, sesuai hasil verifikasi pulau di Provinsi Kalimantan Barat.”
Pertanyaan hukum administrasi pemerintahan Daerah adalah ” dan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008″ dimana hasil verifikasi penamaan Pulau di Provinsi Kepulauan Riau yang dimaksud pada point 1 Berita Acara Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, sehingga ada klasul Tindakan Administrasi Pemerintahan, bahwa Kesepakatan yang dilakukan di Hotel Kartika  Jl. Rahadi Usman Pontianak dihadiri :
1.Tim Penegasan Batas Daerah  Propinsi Kalimantan Barat.
2. Tim Penegasan Batas Daerah Provinsi Kepulauan Riau
Terindikasi mengacu Hasil Verifikasi Penamaan Pulau Di Provinsi Kalimantan Barat antara Tim Nasional Pembakuan Nama Rupa Bumi yang sebenarnya pada point 4 masih ada permasalahan yang akan diselesaikan di Tingkat Pusat antara lain :
“a. Ada  2 Pulau yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau  yaitu Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil.”
Kemudian hasil verifikasi penamaan Pulau  di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008 mana ????, dan Kesepakatan Bersamanya mana ????
Bahwa pada Berita Acara hari Kamis tanggal 11,  Bulan Juli Tahun 2014 adalah Tindak Administrasi Pemerintahan yang ditujukan untuk penegasan Batas Daerah kedua Provinsi tersebut, karena masih ditindak lanjuti tindakan Administrasi Pemerintahan untuk menyamakan persepsi yaitu :,
Pertama, yang dimaksudkan Batas Daerah di Berita Acara diatas tersebut diatas , apakah Penentuan Batas awal tentang Batas Darat di Kedua Provinsi, atau  dengan menggunakan klasul “cakupan wilayah Kabupaten Bintan”
Kedua, Bahwa Kedua Pulau yaitu Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil pada Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau di Provinsi Kalimantan Barat hari  Sabtu, Tanggal 28, bulan Juni, Tahun 2008, pada point 4, masih Permasalahan yang akan diselesaikan diTingkat Pusat antara lain : pada huruf a. Ada 2 Pulau yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, yaitu Pengeke Besar dan Pengeke Kecil, dan dilaporkan Hasil Rapat Juli 2008 Biro Pemerintahan Daerah Provinsi Kalimantan Barat juga menyatakan pada point 12 angka 2) juga menyatakan 2 (dua) pulau  yang perlu diklarifikasi antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau , masing masing , a. Pulau Pengeke Besar, b. Pulau Pengeke Kecil.
Ketiga, Bahwa istilah “Merupakan Cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Riau… Sesuai hasil verifikasi penamaan Pulau Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008, secara tindakan adminitrasi pemerintahan daerah tidak muncul Berita Acara dan Laporannya, sehingga cacat hukum administrasi pemerintahan, karena tentang Batas Daerah antar Provinsi berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 Tentang Batas Daerah ada dua Kategorisasi Hukum dalam Penentuan Batas Daerah.yaitu
1. Batas Daerah Darat di Provinsi
2. Batas Daerah Laut di Provinsi
Tentang Penegasan Batas Daerah harus mengacu Permendagri 141 Tahun 2017 adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Penegasan Batas Daerah. Peraturan ini bertujuan untuk menciptakan kejelasan dan kepastian hukum terkait batas wilayah administrasi pemerintahan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Beberapa poin penting dalam Permendagri 141 Tahun 2017 meliputi:
Tujuan Penegasan Batas Daerah: Menetapkan batas wilayah secara pasti, sistematis, dan terkoordinasi untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan dan memberikan kejelasan hukum.
Prinsip Penegasan Batas: Penegasan batas daerah dilakukan dengan mempertimbangkan aspek teknis dan yuridis, termasuk penggunaan titik koordinat dan pemetaan.
Penanganan Sengketa Batas: Jika terjadi sengketa batas, peraturan ini mengatur mekanisme penyelesaiannya, termasuk fasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
Peta Batas Daerah: Batas daerah yang telah ditegaskan harus dimuat dalam peta yang mencantumkan titik koordinat batas wilayah darat dan laut.
Peta Batas Daerah: Batas daerah yang telah ditegaskan harus dimuat dalam peta yang mencantumkan titik koordinat batas wilayah darat dan laut.
Peta Batas Daerah: Batas daerah yang telah ditegaskan harus dimuat dalam peta yang mencantumkan titik koordinat batas wilayah darat dan laut.
Secara keseluruhan, Permendagri 141 Tahun 2017 menjadi acuan penting dalam proses penegasan batas daerah di Indonesia, baik dalam konteks penyelesaian sengketa maupun penataan administrasi pemerintahan daerah.
Keempat, bahwa Ketidak jelasan tentang klasul yang menyatakan merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Riau, karena Kesepakatan salah satumya mengacu Hasil Perivikasi Penamaan Pulau Provinsi Kalimantan Barat yang masih masih Permasalahan yang akan diselesaikan ditingkat Pusat terhadap kedua Pulau yang perlu diklarifikasi antara kedua Provinsi, namun penegasan batas Daerah awal mengacu yang masih menjadi masalah dari hasil verifikasi terhadap kedua Pulau tersebut, dan dihasil kesepakatan itu mengacu Hasil Verifikasi Penamaan Pulau Provinsi Riau Tahun 2007 dan Tahun 2008 tidak dimunculkan dalam kesepakatan tersebut diatas, sedangkan verifikasi yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat pada point 4 Berita Acara hari Sabtu, tanggal 28 Bulan Juni, tahun 2008 dan laporan Biro Pemerintahan Setda Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat, bulan juli 2008 masih akan diminta klarifikasi antar kedua Provinsi, tentang Batas Daerah kedua Provinsi tersebut.
Kelima, Kemudian belum jelas apakah yang dimaksudkan kesepakatan Cakupan Wilayah itu mengarah ke Batas Darat di Kedua Provinsi, tentu tidak mungkin karena titik permasalahan di Kepulauan dari kedua Provinsi tersebut, namun dengan membaca secara cermat, bahwa masih ada tindakan administrasi pemerintahan yang dilakukan selanjutnya seperti pada point 2 Berita Acara Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau yang menyatakan:
“Selanjutnya dimintakan kepada Menteri Dalam Negeri Melalui Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan penegasan batas wilayah laut, antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Riau  melalui. kartometrik” Pertanyaannya Klasul ini bagaimana Tindakan Yuridis penegasan batas wilayah laut.
Analisis adalah, bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 menyatakan Batas Daerah di Laut adalah pembatas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk metode dengan menggunakan metode yang dimaksudkan Pasal 1 angka  11 Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, bahwa Metode Kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran/penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 dan 11 Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, dihubungkan dengan klasul pada Berita Acara hari Kamis tanggal 11,bulan Juli 2014 mengenai Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau pada point 1 bahwa Pulau “Pengeke Besar dan Pengeke Kecil merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau” dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penentuan batas daerah yang dimaksudkan adalah Batas wilayah laut, yang menurut Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 pada pasal 1 angka 4. Batas Daerah di Laut adalah pembatas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
Pertanyaannya bagaimana melakukan Penegasan batas wilayah laut antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau melalui  Kartometrik, agar jelas cakupan wilayah pulau pengeke besar dan pulau Pengeke Kecil, karena pada rentang waktu tahun 2008 sampai dengan 2017 Berdasarkan Permendagri Nomor 131 Tahun 2017 Tentang Kode dan Data wilayah Administrasi Pemerintahan Belum ada data pulau, tetapi terdapat nama Desa Pengeke yang masuk Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, dan pada keputusan Mendagri 050145 Tahun 2022 Pulau Pengeke Besar dan Pengeke  Kecil masuk Provinsi Kepulauan Riau dan kemendagri ini adalah Lampiran dari Permendagri Nomor 58 Tahun 2021 Tentang Kode , Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Dan Pulau.
Narasi diatas adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat 6 dan Pasal 11 ayat 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 58 Tahun 2022 Tentang Kode , Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau , perlu dilakukan pemberian dan pemutakhiran kode, data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021.
Bahwa masuknya Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil ke Provinsi Kepulauan Riau atau merupakan cakupan wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau pada Berita Acara Batas Daerah Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, akan menjadi persoalan hukum ketika yang dimaksudkan adalah penegasan batas wilayah laut antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, karena ada dua peraturan perundang-undangan yang diacu, yaitu
Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan batas Daerah di laut, karena saling berhadapan di dua wilayah laut kedua Provinsi tersebut, atau saat ini berada diwilayah perairan provinsi Kalimantan Barat secara lebih spesifik diwilayah Kabupaten Mempawah.
Pertanyaannya dengan apa Penegasan Batas Daerah di Laut yang saling berhadapan antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau, ? karena mengacu kepada Surat Nomor 100/6195/Pem II, Tanggal 19 November 2021 perihal tanggapan unsur rupa bumi di Kabupaten Mempawah menyatakan:
“…. Sehubungan dengan keberadaan Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil yang sampai saat ini belum memiliki penetapan, Pemerintah Kabupaten Mempawah menyerahkan seluruh proses penetapan  Pulau Tersebut kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dikarenakan  Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil Berbatasan langsung dengan provinya Kabupaten Mempawah akan mendukung penetapan Pulau tersebut apabila bukti pendukung yang termuat saat ini berada diwilayah perairan Provinsi Kalimantan Barat dan secara lebih spesifik di wilayah Kabupaten Mempawah Dan apabila nantinya hasil penetapan menyatakan bahwa merupakan wilayah provinsi lain, Pemerintah Kabupaten Mempawah juga tidak akan mempermasalahkan hal tersebut.
Bahwa permasalahannya akan timbul sengketa wilayah ketika cakupan wilayah ketika yang dimasukkan batas daerah itu adalah batas Daerah di laut antara provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau yaitu BATAS DAERAH DI LAUT, oleh karena wajib mengacu Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, pada Pasal 14 ayat (1) Pengukuran dan penentuan batas daerah di laut  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan paling jauh 12 (dua belas) mil laut untuk daerah provinsi.
(2) Pengukuran dan penentuan batas daerah di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. batas antara dua daerah provinsi diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi ke arah laut lepas atau perairan kepulauan yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak;
b. batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut diukur berdasarkan prinsip garis tengah; dan
c. batas daerah di laut untuk pulau yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut.
(3) Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah di laut.
BENANG MERAH DAN ANALISIS HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH TERKAIT PERMASALAHAN BATAS DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
(Fokus: Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil)
I. Benang Merah Permasalahan:
Permasalahan batas wilayah antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, khususnya terkait Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil, bermula dari:
1. Tidak adanya kejelasan status kepemilikan administratif kedua pulau.
2. Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau di Kalimantan Barat (28 Juni 2008) menyatakan kedua pulau perlu klarifikasi di tingkat pusat lintas provinsi.
3. Kesepakatan Berita Acara 11 Juli 2014 menyebut kedua pulau sebagai cakupan wilayah Kabupaten Bintan (Kepri), namun:
Tidak mengacu hasil verifikasi Provinsi Kepri secara eksplisit.
Bertentangan dengan prinsip “Clear and Clean” menurut Permendagri No. 141 Tahun 2017.
Hanya berdasar hasil verifikasi Kalimantan Barat yang justru menyatakan statusnya “masih perlu klarifikasi”.
4. Keputusan Mendagri No. 050-145 Tahun 2022 memasukkan kedua pulau ke wilayah Kepri tanpa penyelesaian yuridis tuntas.
II. Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah:
A. Cacat Formil dan Substansi Administratif:
Perda Kabupaten Bintan No. 11 Tahun 2007 menyebutkan batas Desa Pulau Pengikik berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Barat.
Artinya, batas desa menyentuh batas antar provinsi.
Berdasarkan Pasal 5–7 Permendagri 141/2017, batas provinsi harus ditetapkan dengan koordinat geodetik dan metode teknis.
Pasal 20 ayat (10) & (11) Perda Bintan 11/2007 menyebut bahwa batas dituangkan dalam peta dan ditetapkan dengan Peraturan Bupati, tetapi tidak tersedia bukti legal dan spasial yang memenuhi syarat kartometrik.
B. Aspek Teknis – Kartometrik (Pasal 1 angka 11 Permendagri 141/2017):
Batas laut antar provinsi diukur dengan prinsip:
Equidistance (sama jarak) jika saling berhadapan <24 mil laut (Pasal 14 ayat 2b).
Koordinat dan citra satelit wajib disertakan (Pasal 14 ayat 3).
Penegasan batas laut belum pernah dilakukan secara sistematis terhadap kedua pulau ini.
C. Aspek Yuridis Historis:
Berita Acara Verifikasi Kalbar 2008 (Pasal 4) secara tegas menyebut:
Pulau Pengeke Besar & Kecil “perlu diklarifikasi di tingkat pusat lintas provinsi”.
Tidak ada Berita Acara Verifikasi dari Provinsi Kepulauan Riau tahun 2007–2008 yang dikutip secara resmi dalam dokumen pembanding.
Frasa “cakupan wilayah Kabupaten Bintan” dalam Berita Acara 2014 hanya merujuk hasil verifikasi Kalbar, bukan hasil penyelesaian sengketa dua arah.
III. Isu Kritis dalam Penegasan Batas:
Aspek Permasalahan
Legalitas Dasar, Tidak ada putusan Mendagri yang mendahului penetapan 050-145/2022.
Administrasi Tidak ada Berita Acara Prov. Kepri yang ditandatangani bersama Kalbar tahun 2008.
Teknis Spasial, Belum dilakukan pemetaan koordinat batas laut antara Kalbar–Kepri.
Verifikasi Ganda, Hanya ada hasil verifikasi Kalbar 2008 yang justru menyatakan kedua pulau bermasalah.
Penerapan Permendagri, Tidak memenuhi syarat kartometrik sesuai Pasal 14 Permendagri 141/2017.
IV. Analisis Final Terstruktur:
1. Permendagri No. 141 Tahun 2017 mengatur secara tegas penegasan batas daerah laut antarprovinsi harus melalui:
TPBD Provinsi → TPBD Nasional → Keputusan Mendagri (Pasal 11–16).
2. Pulau Pengeke Besar dan Kecil terindikasi bukan merupakan pulau darat administratif, tetapi pulau perairan di batas wilayah laut antarprovinsi, sehingga wajib dilakukan:
Verifikasi koordinat dan batas laut secara kartometrik (Pasal 14).
Dilibatkannya BIG dan peta geospasial terkini.
3. Perda Kabupaten Bintan No. 11/2007 dan Berita Acara 2014 tidak bisa dijadikan dasar hukum final karena:
Tidak melibatkan pemetaan resmi.
Tidak didukung Berita Acara Provinsi Kepri.
Bertentangan dengan hasil verifikasi Kalbar 2008 (yang justru menyatakan statusnya bermasalah).
4. Surat Pemkab Mempawah (2021) menunjukkan bahwa secara administratif pulau itu secara de facto berada di wilayah Kalbar, meskipun belum ditetapkan secara de jure.
V. REKOMENDASI HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN:
1. Audit Ulang dan Tinjauan Administrasi
Audit atas dasar masuknya kode wilayah Pulau Pengeke Besar dan Kecil dalam Kepulauan Riau.
Penelusuran dokumen asli verifikasi Kepri 2007/2008 (jika ada).
2. Tindakan Formal oleh Kalbar:
Permintaan klarifikasi formal ke Kemendagri.
Permohonan peninjauan ulang Keputusan Mendagri No. 050-145 Tahun 2022.
Surat resmi dari TPBD Kalbar ke TPBD Nasional.
3. Langkah Teknis:
Permintaan pengukuran ulang menggunakan metode kartometrik (Pasal 14 Permendagri 141/2017).
Melibatkan BIG dan Tim Geospasial Pusat.
4. Upaya Yudisial (Jika Diperlukan):
Pengajuan gugatan ke MA/PTUN atas cacat formil verifikasi.
Atau pengujian konstitusionalitas Keputusan Mendagri ke Mahkamah Konstitusi.
VI. KESIMPULAN STRATEGIS:
Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil belum pernah ditetapkan secara sah sebagai wilayah Provinsi Kepulauan Riau, karena dokumen verifikasi yang ada justru menyatakan statusnya masih harus diklarifikasi di tingkat pusat lintas provinsi.
Segala tindakan administratif berikutnya, termasuk Keputusan Mendagri 050-145/2022 dan pengkodean wilayah, berpotensi cacat hukum apabila tidak didahului penyelesaian batas laut yang sesuai Permendagri 141/2017.
Oleh karena itu, intervensi pusat (Kemendagri, BIG, dan TPBD Nasional) adalah satu-satunya jalan hukum yang sah untuk menentukan status final kedua pulau ini.
NARASI DAN ANALISIS HUKUM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Terkait Permasalahan Batas Wilayah Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau
I. Narasi Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan
Permasalahan batas wilayah antara Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), khususnya terkait Pulau Pengeke Besar dan Pulau Pengeke Kecil, merupakan contoh konkrit bagaimana sengketa batas wilayah dapat menjadi persoalan administratif yang kompleks dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sengketa ini bukan hanya menyangkut aspek teknis kartografis, tetapi juga berkaitan dengan kejelasan kompetensi pemerintahan, dasar hukum penetapan wilayah, dan kewenangan administratif yang dijalankan oleh pemerintah daerah.
Dalam konteks hukum administrasi pemerintahan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 memberikan dasar normatif tentang tata kelola kewenangan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Undang-undang ini menekankan prinsip legalitas, akuntabilitas, dan profesionalitas dalam setiap tindakan administratif. Sementara itu, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk pengelolaan wilayah administratif sebagai salah satu aspek utama otonomi daerah.
Kedua undang-undang ini secara bersamaan membentuk kerangka normatif untuk menangani konflik batas wilayah, termasuk prosedur penyelesaian dan keharusan adanya keputusan yang sah secara hukum melalui mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
II. Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan
1. Asas Legalitas dan Kewenangan Pemerintah (UU 30/2014 Pasal 10 & 14)
Dalam konteks Pulau Pengeke Besar dan Pengeke Kecil, permasalahan bermula dari belum ditetapkannya secara eksplisit batas wilayah administratif yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menyebabkan dualisme klaim kewenangan antara Kalbar dan Kepri. Berdasarkan UU 30/2014, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan kewenangan yang sah. Oleh karena itu, klaim suatu wilayah harus memiliki dasar hukum yang eksplisit dalam bentuk peraturan perundang-undangan, bukan hanya praktik administratif atau historis semata.
2. Kepastian Hukum dan Penyelesaian Sengketa (UU 30/2014 Pasal 10 dan Pasal 21–23)
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin kepastian hukum dalam menjalankan fungsi administratif. Ketidakjelasan batas menyebabkan ketidakpastian dalam pelayanan publik, pemungutan pajak, dan perizinan. UU 30/2014 mengamanatkan bahwa dalam hal terjadi sengketa antar pemerintah daerah mengenai kewenangan atau wilayah, maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme administratif dan jika perlu dengan mekanisme keberatan atau banding administratif.
3. Tugas Pemerintah Pusat Menyelesaikan Sengketa Wilayah (UU 23/2014 Pasal 14 & 18)
UU 23/2014 mengatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan batas antar daerah, penyelesaiannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini melalui Kementerian Dalam Negeri. Penyelesaian dilakukan melalui tahapan verifikasi, klarifikasi, dan validasi dokumen serta peta. Mekanisme ini menekankan pentingnya penggunaan data resmi, termasuk hasil pemetaan BIG (Badan Informasi Geospasial), dokumen sejarah (staatsblad, regeeringsalmanak), serta Perda dan Kepmen terdahulu.
4. Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi Administrasi Pemerintahan
Sengketa batas ini juga menguji pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU 30/2014, yakni akuntabilitas, transparansi, dan keadilan. Penetapan batas wilayah yang tidak didasarkan pada prosedur administratif yang terbuka dan partisipatif dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik, terutama di masyarakat pulau-pulau terluar yang merasakan langsung dampak administratifnya.
5. Implikasi Administratif terhadap Pelayanan Publik dan Keuangan Daerah
Sengketa batas wilayah memiliki konsekuensi langsung terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah, seperti pemungutan pajak daerah, penyaluran Dana Alokasi Umum dan Khusus (DAU/DOK), pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Ketidaktegasan batas menimbulkan risiko tumpang tindih kewenangan, serta potensi konflik sosial antar masyarakat di wilayah yang dipersengketakan.
III. Kesimpulan
Permasalahan batas wilayah antara Kalbar dan Kepri menunjukkan pentingnya pelaksanaan administrasi pemerintahan yang berbasis pada hukum, berlandaskan pada prinsip legalitas, kepastian hukum, dan tata kelola yang baik. UU 30 Tahun 2014 dan UU 23 Tahun 2014 memberikan kerangka hukum yang jelas dalam penyelesaian konflik administratif, namun implementasi di lapangan membutuhkan ketegasan negara dalam memastikan bahwa seluruh proses penyelesaian dilakukan secara objektif, adil, dan didukung oleh dokumen sah dan pemetaan yang mutakhir.
Rekomendasi
Percepatan proses penegasan batas oleh Kemendagri berdasarkan Permendagri 141 Tahun 2017.
Pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat adat dalam klarifikasi batas.
Penguatan data sejarah seperti peta kolonial (staatsblad) dan Regeeringsalmanak untuk kepastian historis administratif.
Pemanfaatan teknologi geospasial secara integratif dengan data hukum.
Berikut narasi dan analisis hukum administrasi pemerintahan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 (Administrasi Pemerintahan) dan UU No. 23 Tahun 2014 (Pemerintahan Daerah), dilengkapi dengan sitasi jurnal penelitian serta data penerbitan yang Anda minta:
Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan
Permasalahan batas wilayah antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, terutama terkait Pulau Pengeke Besar dan Kecil, mencerminkan konflik administratif yang kompleks — melebihi sekadar geografis, namun juga kelembagaan dan prosedural. Undang‑Undang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014) menuntut bahwa setiap keputusan pemerintah harus memiliki dasar hukum yang sah, akuntabel, dan transparan (Pasal 10 dan 14 UU 30/2014). Sementara itu, UU No. 23/2014 memberikan kerangka penyelesaian sengketa batas melalui mekanisme verifikasi, koordinasi antar daerah, dan keputusan pemerintah pusat (Pasal 14 dan 18).
Pada konteks ini, verifikasi terhadap Pulau Pengeke tahun 2008 menyatakan masih memerlukan penyelesaian di tingkat pusat, namun pada 2014, Provinsi Kepri mengklaim pulau tersebut sebagai “cakupan wilayah Kabupaten Bintan” hanya berdasar verifikasi Kalbar. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip legalitas, kepastian hukum, dan wewenang yang ditetapkan oleh UU.
Analisis dengan Landasan UU
1. Prinsip Legalitas dan Kewenangan (UU No. 30/2014)
Menurut UU 30/2014, setiap tindakan administratif harus berbasis kewenangan yang jelas. Mengklaim wilayah tanpa Surat Keputusan Mendagri atau keputusan resmi TPBD merupakan pelanggaran terhadap asas legalitas Pasal 10 dan Pasal 14 UU 30/2014.
2. Penyelesaian Sengketa Lintas Daerah (UU No. 23/2014)
UU 23/2014 mengatur bahwa jika terjadi sengketa antar daerah, penyelesaiannya melalui tahapan:
Verifikasi bersama (gubernur, bupati/camat)
Koordinasi Kemendagri (TPBD Nasional)
Paling akhir, keputusan Mendagri (Pasal 18 UU 23/2014). Prosedur ini tidak diikuti dalam klaim tahun 2014, sehingga tindakan tersebut cacat hukum.
3. Kepastian Hukum dan Akuntabilitas
Pasal 10 UU 30/2014 menuntut proses yang akuntabel dan transparan. Berita Acara 2014 tidak disertai peta koordinat atau data BIG, melanggar prinsip ini dan membuka potensi konflik administratif dan pelayanan publik.
4. Aspek Teknis: Batas Laut dan Kartometrik
Menurut Pasal 14 Permendagri No. 141/2017 (yang juga sejalan dengan UU 23/2014), pengukuran batas laut antar provinsi harus menggunakan metode kartometrik (peta dasar, koordinat), terutama untuk jarak <24 mil laut. Proses ini belum dijalankan untuk Pulau Pengeke.
Referensi Jurnal Pendukung
1. Anggun Aprilia Sari, Khomsin & Cherie Bhekti Pribadi
_Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut antara Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Kalimantan Barat menurut Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014_, GEOID (ITS), 2025, hlm. – (tidak tersedia)
Membahas bagaimana batas pengelolaan laut sejauh 12 mil dari pantai berdasarkan UU 23/2014, menghasilkan tumpang tindih antara kedua provinsi.
2. Harry Setya Putra
_Penyelesaian Sengketa Tapal Batas antara Kabupaten/Kota Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014_, Jurnal Dharmasisya FH UI, Vol. 1 No. 1 (2021), hlm. – (tidak tersedia)
Menjelaskan mekanisme non‑yuridis dan yuridis penyelesaian sengketa tapal batas antar daerah, sejalan dengan prosedur UU 23/2014.
3. Jayanti Puspitaningrum
_Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah melalui Pengujian Undang‑Undang di MK_, Jurnal Konstitusi, Vol. 17 No. 3 (2020), hlm. 605–628
Menjelaskan bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (termasuk uji undang‑undang) dapat mempengaruhi penetapan hükum batas daerah.
Kesimpulan dan Relevansi
Berdasarkan telaah UU dan jurnal penelitian di atas:
Prosedur administratif penyelesaian sengketa batas wilayah antar-provinsi harus mengikuti ketentuan UU 23/2014 (Pasal 18) dan UU 30/2014 (Pasal 10 & 14), termasuk verifikasi, koordinasi, dan keputusan Kemendagri.
Metode kartometrik wajib digunakan sesuai Permendagri 141/2017 (selaras UU 23/2014) untuk menghindari tumpang tindih batas laut.
Gugatan yuridis atau uji materiil (MK/PTUN) dapat ditempuh jika proses administratif tidak diikuti secara sah, sebagaimana dibahas oleh Puspitaningrum.

CATEGORIES
TAGS
Share This