Hukum sebagai Alat Kekuasaan dan Koreksi Pancasila: Analisis Semiotika Hukum atas Intervensi Politik dalam Negara Hukum Republik Indonesia

Hukum sebagai Alat Kekuasaan dan Koreksi Pancasila: Analisis Semiotika Hukum atas Intervensi Politik dalam Negara Hukum Republik Indonesia

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

Abstrak
Tulisan ini membahas fenomena hukum yang sering kali berfungsi sebagai instrumen kekuasaan (law as a tool of power) dibandingkan sebagai instrumen keadilan (law as a tool of justice). Empat peristiwa hukum kasus aktual menjadi sorotan publik: UU Cipta Kerja (Omnibus Law), kriminalisasi aktivis dan mahasiswa, izin tambang berbasis oligarki, serta OTT kepala daerah. Analisis dilakukan dengan mengacu pada norma UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait, serta teori ilmu hukum (ontologis, epistemologis, aksiologis, sosiologis, teleologis). Metode semiotika hukum digunakan untuk membaca tanda, makna, dan arah politik hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi politik telah menggeser orientasi hukum ke arah machtstaat. Koreksi dapat dilakukan dengan mengembalikan hukum pada cita hukum Pancasila (rechtidee) melalui pendekatan semiotika giliran balik.
Kata kunci: hukum, kekuasaan, politik hukum, semiotika, Pancasila.
Pendahuluan
Menarik, membaca dan memahami yang tersurat dan tersirat, secara semiotik hukum, dari Isi Lengkap Pernyataan Sikap Dekan FH PTN Se-Indonesia: 1. Dukungan terhadap kebebasan berpendapat di muka umum sebagai hak konstitusional yang wajib dihormati, dilindungi, serta dipenuhi oleh negara. 2. Keprihatinan serta duka mendalam atas jatuhnya korban dan kerugian yang diakibatkan kerusuhan yang menyertai aksi massa di berbagai wilayah Indonesia. 3. Desakan untuk aparat penegak hukum agar memperbaiki proses penegakan hukum yang proporsional; berkeadilan substantif; transparan; serta akuntabel, termasuk dengan mengevaluasi diskresi penangkapan aktivis dan membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap kebenaran serta keadilan bagi korban.4. Apresiasi kepada sivitas akademika dan masyarakat yang menyampaikan aspirasi dengan damai serta mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. 5. Tuntutan kepada Pemerintah untuk memperbaiki sistem hukum dan ketatanegaraan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat, termasuk reformasi sistem perpajakan dan pengembalian peran TNI dan Polri sesuai fungsinya.
6. Desakan bagi pejabat publik untuk mengembalikan marwah sebagai pelayan masyarakat dan mengaktualisasikan serta mengimplementasikan aspirasi masyarakat yang berkeadilan dalam setiap kebijakannya.
Analisis Semiotika Hukumnya mengacu Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Namun, praktik ketatanegaraan menunjukkan adanya ketegangan antara idealisme negara hukum (rechtstaat) dan praktik negara kekuasaan (machtstaat). Negara Republik Indonesia secara konstitusional menegaskan dirinya sebagai rechtstaat (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Namun dalam praktiknya, hukum seringkali berfungsi sebagai machtstaat—sekadar instrumen kekuasaan. Hal ini tampak nyata dalam berbagai dinamika politik hukum kontemporer, seperti lahirnya UU Cipta Kerja, praktik kriminalisasi aktivis, perizinan tambang yang sarat oligarki, dan OTT kepala daerah.
Dinamika Hukum di Indonesia fakta hukumnya sering dihadapkan pada dilema antara rechtstaat (negara hukum) dan machtstaat (negara kekuasaan). Politik kerap mengintervensi hukum, sehingga pelaksanaan norma hukum tidak selalu selaras dengan cita hukum Pancasila. Tulisan ini menganalisis beberapa kasus aktual (UU Cipta Kerja, kriminalisasi aktivis, izin tambang, dan OTT kepala daerah) dengan mengacu pada norma peraturan perundang-undangan serta teori ilmu hukum (kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, falsifikasi hukum). Dengan pendekatan semiotika giliran balik Pancasila, ditemukan bahwa hukum di Indonesia berpotensi direstorasi agar kembali menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sekadar alat kekuasaan.
Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum.” Namun, dalam praktik, hukum seringkali menjadi instrumen kekuasaan (law as a tool of power) ketimbang alat keadilan (law as a tool of justice).
Pertanyaan mendasar yang muncul: apakah hukum di Indonesia masih berfungsi sebagai panglima ataukah telah terkooptasi oleh kepentingan politik? Untuk memahami fenomena ini, diperlukan analisis komprehensif dengan teori ilmu hukum , dan secara ilmu hukum, pertanyaan ilmiahnya secara  Ontologis: Apa hakikat hukum di Indonesia? .Epistemologis: Bagaimana hukum dibentuk dan dipahami?.Aksiologis: Untuk apa hukum dijalankan?Sosiologis: Bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat? Teleologis: Ke mana hukum diarahkan?
Analisis ilmu hukumnya diperkuat dengan lima instrumen: kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum, dengan rumusan permasalahan, berikut ini : Sejarah hukum Indonesia selalu diwarnai tarik-menarik antara hukum dan politik. Politik sering menjadi faktor dominan dalam proses legislasi dan penegakan hukum, sehingga muncul pertanyaan: apakah hukum masih berdiri sebagai panglima, ataukah sekadar menjadi alat kekuasaan?
Kerangka Normatif sebagai Bahan Primer Analisis Semiotika Hukum
1. UUD NRI 1945: Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.” Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
2. Peraturan Perundang-undangan: UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Analisis Kasus Aktual dan Akibat Hukumnya, fenomena hukum terhadap UU Cipta Kerja, Norma: Pasal 20 UUD 1945; Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Kasus: Disahkan melalui metode Omnibus Law; partisipasi publik minim. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020: UU dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Akibat: UU tetap berlaku mencederai prinsip negara hukum.
Paparan secara  normatif terhadap Kasus Aktual, Pasal, dan Akibat Hukumnya, contohnya yang terus menerus disuarakan, Analisis UU Cipta Kerja (Omnibus Law), sebagai kewenangan atribusi norma hukum : Pasal 20 UUD 1945 (DPR membentuk UU); Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 (hak kerja layak).Kasus: Proses legislasi dipercepat, minim partisipasi publik; MK menyatakan inkonstitusional bersyarat (Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020).Akibat: UU tetap berlaku, tetapi mengabaikan aspirasi rakyat.
Teori hukum:Ontologis: UU seharusnya mencerminkan kepentingan rakyat, bukan elite.Epistemologis: Proses legislasi cacat prosedur, aksiologis huimnya: UU lebih menguntungkan oligarki ketimbang buruh/petani, jadi ketika salah satu elemen infrastruktur kenegaraan, yang terjadi adalah Kriminalisasi Aktivis & Mahasiswa, Norma: Pasal 28E ayat (3) UUD 1945; UU 9/1998.Kasus: Kritik dijerat pasal makar/UU ITE.Akibat: Chilling effect terhadap demokrasi.3. Izin Tambang (PP 96/2021),Norma: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kasus: SDA dikuasai oligarki, Akibat: Konflik sosial, kerusakan lingkungan.Kriminalisasi Aktivis & Mahasiswa
Norma hukum analisisnya : Pasal 28E ayat (3) UUD 1945; UU No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat. Kasus: Kritik terhadap pemerintah dijerat dengan pasal makar atau UU ITE. Akibat: Demokrasi substantif terhambat; publik takut bersuara.
Landasan Normatif, secara das sollen mengacu, pada konstruksi hukum konstitusi, hukum dasar tertulis UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 1 ayat (3): Indonesia negara hukum.Pasal 27 ayat (1): Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.Pasal 28E ayat (3): Kemerdekaan menyampaikan pendapat dijamin.Pasal 33 ayat (3): Bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Konstruksi Undang -Undang dengan mengacu pada substansi metari muatan dari Undang-Undang:UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (disahkan melalui Omnibus Law).PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Teori hukum secara ilmu hukum, bahwa secara Ontologis: Kebebasan berpendapat adalah hak asasi. Sosiologis: Hukum dipakai sebagai instrumen represi.Teleologis: Arah hukum bergeser dari demokrasi ke otoritarianisme. Fakta hukumnya terdapat peristiwa hukum OTT Kepala Daerah & Korupsi, Norma hukumnya digunakan: Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; UU Tipikor.Kasus: Banyak kepala daerah ditangkap; revisi UU KPK melemahkan independensi.Akibat: Penegakan hukum inkonsisten, muncul impunitas.Perizinan Tambang & Oligarki (PP 96/2021), analisisnya, Norma hukum: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; PP No. 96/2021, misalnya dalam beberapa peristiwa hukum, misalnya Kasus: Izin tambang dikuasai kelompok elite, rakyat tersisih.Akibat: Konflik sosial, kerusakan lingkungan, ketidakadilan ekonomi.OTT Kepala Daerah & Korupsi.
Analisis Norma hukum : Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (persamaan di depan hukum); UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 (Tipikor).Kasus: Banyak kepala daerah ditangkap KPK; namun revisi UU KPK melemahkan independensi lembaga.Akibat: Penegakan hukum tidak konsisten; muncul impunitas bagi elite tertentu.
Teori hukum, secara ilmu hukum, bahwa analisis Ontologis: Korupsi mengkhianati esensi negara hukum.Epistemologis: Revisi UU KPK melemahkan sistem pengawasan.Teleologis: Arah pemberantasan korupsi terganggu. Lebih tegas lagi dengan analisis Teori hukum secara ilmu hukum, bahwa secara Epistemologis: Peraturan dibuat lebih menguntungkan investor ketimbang rakyat.Aksiologis: Tidak lagi berpihak pada keadilan sosial.Sosiologis: Menimbulkan jurang ketimpangan sosial-ekonomi.
Analisis Teori Ilmu Hukum,  1. Ontologis: Hakikat hukum Indonesia adalah rechtstaat, namun praktik menunjukkan pergeseran ke machtstaat. 2. Epistemologis: Legislasi dan kebijakan hukum seringkali dipengaruhi kompromi politik, bukan kebenaran normatif. 3. Aksiologis: Hukum kehilangan orientasi keadilan sosial, lebih condong ke arah kepentingan elite. 4. Sosiologis: Hukum gagal menjembatani konflik sosial karena tidak berpihak pada masyarakat kecil.5. Teleologis: Arah hukum yang seharusnya menuju keadilan Pancasila berubah menjadi legitimasi kekuasaan.
Analisis Ilmu Hukum, secara 1. Kategorisasi: Hukum di Indonesia terbagi menjadi rechtstaat (normatif) vs machtstaat (politik praktis).2. Klarifikasi: Ada gap antara norma (UUD & UU) dengan praktik (politik intervensif).3. Verifikasi: Judicial review (MK) dan OTT KPK menjadi alat uji, tetapi efektivitasnya melemah karena tekanan politik.4. Validasi: Produk hukum diuji apakah sesuai dengan recht-idee Pancasila; banyak kasus menunjukkan penyimpangan.5. Falsifikasi: Ketika hukum hanya dipakai untuk kekuasaan, ia gagal menjalankan fungsinya sebagai panglima.
Dengan lima analisis ilmu hukum (kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, falsifikasi), jelas terlihat bahwa hukum dalam kasus-kasus di atas tidak memenuhi validitas moral Pancasila, mengapa Analisis Semiotika Hukumnya, bahwa Semiotika hukum membaca tanda dan makna dalam praktik hukum: Tanda “negara hukum” dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 → makna idealisme keadilan. Realitas politik hukum: tanda tersebut dimanipulasi menjadi legitimasi kekuasaan.
Semiotika giliran balik: setiap intervensi politik perlu diarahkan kembali ke nilai Pancasila.
Contoh: UU Cipta Kerja (tanda: modernisasi ekonomi) → makna aktual: kompromi oligarki. Kriminalisasi aktivis (tanda: menjaga stabilitas) → makna aktual: represi demokrasi. Izin tambang (tanda: investasi) → makna aktual: eksploitasi SDA.OTT korupsi (tanda: penegakan hukum) → makna aktual: selektif dan inkonsisten.
Dengan metode semiotika giliran balik, hukum harus dikembalikan pada lima sila Pancasila sebagai rechtidee bangsa. Artinya Koreksi Pancasila dengan Semiotika Gilir Balik, bahwa Sila 1: Hukum harus bermoral dan menjunjung etika Ketuhanan.Sila 2: Penegakan hukum harus berperikemanusiaan (tidak represif).Sila 3: Politik hukum harus menjaga persatuan, bukan memecah belah.Sila 4: Legislasi wajib berdasarkan musyawarah rakyat, bukan kompromi elite.Sila 5: Hukum harus mengarah pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kasus Aktual jika menggunakan Norma Hukum positif negara , analisis faktanya terjadi Intervensi Politik,  bagaimana analisisnya dan akibat Hukum,  melalui paradigma semiotika hukum Pancasila”berthawaf ” (Semiotika konsep Gilir Balik)
UU Cipta Kerja dibentuk melalui wewenang legislasi mengacu Pasal 20 UUD 1945 (DPR membentuk UU) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, dengan  fokus UU tersebut semangatnya (hak kerja layak), namun faktanya melalui proses legislasi cepat & kompromi elite, sehingga MK menyatakan inkonstitusional bersyarat, artinya bahwa hukum tetap berlaku meski cacat prosedur; hak buruh & petani dirugikan, analisis terhadap asas dan implementasi nilai seharusnya das sollen pada ideologi negara pada Sila 4: UU harusnya lahir dari musyawarah, bukan transaksional. Demikian juga implementasi asas dari nilai dan sollenya dengan Sila 5: UU wajib mengutamakan keadilan sosial, bukan oligarki, pada fakta hukum lain, misalnya terjadi Kriminalisasi Aktivis & Mahasiswa, sedangkan secara konstitusional adalah hak konstitusional yang mengacu pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 (kebebasan berpendapat) dan mengacu UU No. 9/1998 (kemerdekaan menyampaikan pendapat) sehingga dipersepsikan,bahwa kritik dianggap ancaman politik dengan penggunaan pasal makar & UU ITE, akibat hukumnya, bahwa Ruang demokrasi menyempit; masyarakat takut bersuara, akhirnya dari perspektif kehidupan berhukum dan kehidupan kenegaraan, merepresentasikan, asas dan nilai dari Sila 2, seharusnya Penegakan hukum harus adil & manusiawi, pada giliran berikutnya pada tataran rakyat terjadi ketidak selarasan terhadap Sila 3, bahwa nilai persatuan yaitu kritik untuk perbaikan bangsa, bukan dipandang makar, sebenarnya akarnya salah satunya pengelolaan, misalnya terhadap Izin Tambang (PP 96/2021), yang mengacu subtansi noma hukum konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (SDA untuk rakyat), tetapi dengan instrumen PP No. 96/2021 (izin tambang diatur pemerintah), faktanya dominan Izin tambang diberikan pada kelompok elite/oligarki, sehingga Rakyat kehilangan akses SDA; konflik sosial & kerusakan lingkungan, gilir balik klasul pada alinea ke empat pembukaan pada klasul “serta juga mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang di ending konsep Pembacaan Semiotika hukum konsep ” berthawaf atau gilir balik, (pasal 48 ayat 2 Undang -Undang Nomor 24 Tahun 2009 , yang merepresentasikan Semiotika pembacaan terhadap Pancasila, yang berending di asas dan nilai Sila 5: SDA, pada norma hukum  harus sebesar-besar untuk rakyat, belum tercapai , ini adalah kezaliman terhadap berkah dari Tuhan Yang Maha Esa dan dengan potensi sumber daya alam yang mengacu makna nilai Sila 1 & 2: Hukum lingkungan berbasis etika ketuhanan & kemanusiaan
Seringnya peristiwa hukum OTT Kepala Daerah & Korupsi, karena penerapan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (equality before the law), dengan instrumen UU Tipikor No. 31/1999 jo 20/2001 yang berkali kali di revisi UU KPK, memberikan tanda Semiotika hukum , bahwa melemahkan lembaga anti-rasuah; selektivitas dalam penegakan, ada Semiotika hukum “terselubung” atau faktor X, artinya ada pejabat dihukum, ada yang “dilindungi” , hukum tidak konsisten berbasiskan sumpah jabatan  dengan menggunakan Sila 1: Moralitas pejabat, dengan Mencidrai Sila 2 & 5 yang seharusnya hukum ditegakkan adil tanpa diskriminasi demi keadilan sosial
Analisis Ilmiah secara ilmu hukum, bahwa analisis 1. Kategorisasi Hukum: Kasus-kasus menunjukkan hukum dalam dua wajah: ideal (rechtstaat) vs praktik (machtstaat).2. Klarifikasi Hukum: Norma konstitusi menjamin kebebasan, keadilan, dan demokrasi; namun praktik politik mengintervensi hukum.3. Verifikasi Hukum: Judicial review MK, OTT KPK, hingga putusan pengadilan menjadi instrumen untuk menguji kesesuaian norma dengan praktik.4. Validasi Hukum: Apakah hukum yang berlaku mencerminkan cita keadilan Pancasila? Banyak kasus menunjukkan tidak.5. Falsifikasi Hukum: Bila hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan, maka ia gagal menjalankan fungsi sebagai panglima negara hukum.
Kesimpulan
Melalui pendekatan semiotika giliran balik, setiap intervensi politik terhadap hukum dapat diarahkan kembali ke cita hukum Pancasila (recht-idee), yaitu keadilan, persatuan, demokrasi musyawarah, kemanusiaan, dan ketuhanan. Dengan demikian, hukum tidak berhenti sebagai alat kekuasaan, melainkan menjadi alat keadilan sosial. Namun faktanya realitas Hukum das Sein  di Indonesia saat ini kerap menjadi instrumen kekuasaan akibat intervensi politik, terlihat dalam kasus UU Cipta Kerja, kriminalisasi aktivis, izin tambang, dan OTT kepala daerah. Akibatnya, terjadi penyimpangan antara norma konstitusi dengan praktik hukum.
Intervensi politik dalam hukum di Indonesia menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan. Hal ini tampak pada UU Cipta Kerja, kriminalisasi aktivis, izin tambang oligarki, dan OTT kepala daerah. Dengan demikian terjadi Intervensi politik telah menggeser hukum dari rechtstaat menjadi machtstaat. Kasus UU Cipta Kerja, kriminalisasi aktivis, izin tambang, dan OTT kepala daerah memperlihatkan hukum yang terkooptasi kepentingan elite.
Dengan pendekatan teori ilmu hukum dan semiotika giliran balik Pancasila, koreksi dapat dilakukan agar hukum kembali ke cita hukum Pancasila (recht-idee), yakni: keadilan, kemanusiaan, demokrasi musyawarah, persatuan, dan moralitas ketuhanan.Namun, melalui pendekatan semiotika giliran balik Pancasila, hukum dapat direstorasi agar kembali ke cita hukum Pancasila (recht-idee): keadilan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi musyawarah, dan ketuhanan.
Analisis teori ilmu hukum menunjukkan adanya penyimpangan ontologis, epistemologis, aksiologis, sosiologis, dan teleologis. Semiotika hukum memperlihatkan pergeseran makna hukum dari rechtstaat menjadi machtstaat.
Koreksi dapat dilakukan dengan mengembalikan hukum pada cita hukum Pancasila: keadilan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan moralitas ketuhanan.

Catatan analisis normatif:
1. UUD NRI 1945, Pasal 1 ayat (3).
2. UUD NRI 1945, Pasal 28E ayat (3).
3. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Cipta Kerja.
4. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
5. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2010.
Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 9 Tahun 1998, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 2020, PP No. 96 Tahun 2021.

Artikel Ilmiah Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
di Berbagai Media Pemberitaan Nasional dan Daerah

CATEGORIES
Share This