
INOVASI MODEL PEMBELAJARAN HUKUM TATA NEGARA BERBASIS SEMIOTIKA HUKUM DAN NILAI-NILAI AL-QUR’AN ( STUDI KASUS PENERAPAN KURIKULUM OBE TERHADAP PENALARAN ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK )
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur SH, MHum
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis inovasi model pembelajaran hukum tata negara berbasis semiotika hukum dengan integrasi nilai-nilai Al-Qur’an. Kajian ini dilakukan pada hasil penalaran mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini menekankan pentingnya pemaknaan simbolik dalam memahami hukum tata negara sekaligus memperkuat basis etika dan moral melalui nilai-nilai Al-Qur’an, khususnya dengan merujuk pada tafsir Ibnu Katsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran yang memadukan semiotika hukum dan ayat-ayat Al-Qur’an dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap dinamika hukum tata negara, serta menumbuhkan sikap kritis, integritas, dan tanggung jawab moral dalam menyikapi isu kenegaraan. Penelitian ini merekomendasikan agar metode ini diadopsi sebagai model pembelajaran alternatif di perguruan tinggi hukum di Indonesia, dengan penerapan Baik, saya jelaskan secara ringkas namun dengan bahasa hukum-akademis, sebuah aplikasi penerapan Kurikulum OBE pada Fakultas Hukum yang sedang diberlakukan di Indonesia, yaitu Outcome Based Education (OBE) adalah suatu pendekatan dalam penyusunan kurikulum yang menekankan pada luaran (outcome) yang harus dicapai oleh mahasiswa setelah menyelesaikan proses pembelajaran, bukan semata-mata pada input (materi yang diberikan) atau proses (metode pengajaran). Pada Fakultas Hukum seluruh Indonesia, kurikulum berbasis OBE berarti bahwa setiap rancangan pembelajaran hukum disusun dengan mengacu pada capaian akhir berupa:1. Learning Outcomes (LO) – hasil belajar yang diharapkan, baik dalam aspek pengetahuan hukum (legal knowledge), keterampilan hukum (legal skills), maupun sikap profesional (legal attitude and ethics).2. Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) – yang diselaraskan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti).CPL pada Fakultas Hukum mencakup kemampuan analisis hukum, argumentasi yuridis, advokasi, penelitian hukum, dan penegakan etika profesi hukum.3. Constructive Alignment – seluruh komponen kurikulum (mata kuliah, metode pengajaran, metode penilaian) dirancang selaras dengan capaian pembelajaran yang diinginkan.4. Continuous Quality Improvement (CQI) – hasil belajar mahasiswa terus dievaluasi untuk memastikan kesesuaian antara profil lulusan Fakultas Hukum (misalnya: sarjana hukum, konsultan hukum, advokat, hakim, jaksa, notaris, akademisi) dengan kebutuhan dunia kerja, masyarakat, dan perkembangan hukum nasional maupun global.Implikasi Kurikulum OBE di Fakultas Hukum, Pergeseran dari teaching-centered ke student-centered learning (SCL).Penilaian bukan hanya pada nilai ujian, tetapi juga pada kemampuan mahasiswa dalam menerapkan hukum secara nyata (case method, moot court, legal drafting, klinik hukum). Melalui kurikulum ini Fakultas hukum di seluruh Indonesia dituntut untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan OBE agar selaras dengan akreditasi internasional (misalnya ASEAN University Network Quality Assurance – AUN-QA) serta memenuhi tuntutan global employability lulusan hukum.Jadi, kurikulum OBE pada Fakultas Hukum seluruh Indonesia adalah kerangka pendidikan hukum yang menekankan pada capaian akhir (outcome) berupa kompetensi hukum yang terukur, terstandar, dan berorientasi pada kebutuhan profesi hukum serta perkembangan masyarakat hukum nasional maupun internasional.
Kata kunci: Hukum Tata Negara, Semiotika Hukum, Al-Qur’an, Tafsir Ibnu Katsir, Pendidikan Hukum Kurikulum OBE.
Abstract
This study aims to analyze an innovative model of constitutional law learning based on legal semiotics integrated with the values of the Qur’an. The study was conducted with analysis students of the Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Pontianak, using a descriptive qualitative approach. The research emphasizes the importance of symbolic interpretation in understanding constitutional law while simultaneously strengthening ethical and moral foundations through Qur’anic values, particularly by referring to the exegesis of Ibn Kathir. The results indicate that a learning model combining legal semiotics and Qur’anic verses can enhance students’ understanding of the dynamics of constitutional law, as well as foster critical thinking, integrity, and moral responsibility in addressing state-related issues. The study recommends that this method be adopted as an alternative learning model in Indonesian law faculties, with the implementation of Outcome-Based Education (OBE), a curriculum approach emphasizing the outcomes that students are expected to achieve after completing the learning process, rather than solely focusing on inputs (teaching materials) or processes (teaching methods). In law faculties across Indonesia, an OBE-based curriculum means that each legal learning design is guided by intended outcomes, including: 1. Learning Outcomes (LO) – the expected learning achievements in legal knowledge, legal skills, and professional attitudes and ethics. 2. Graduate Learning Outcomes (CPL) – aligned with the Indonesian National Qualification Framework (KKNI) and the National Higher Education Standards (SN-Dikti). CPLs in law faculties include legal analysis, juridical argumentation, advocacy, legal research, and the enforcement of professional legal ethics. 3. Constructive Alignment – all curriculum components (courses, teaching methods, and assessment methods) are designed in alignment with the desired learning outcomes.4. Continuous Quality Improvement (CQI) – student learning outcomes are continuously evaluated to ensure alignment between law graduates’ profiles (e.g., law graduates, legal consultants, advocates, judges, prosecutors, notaries, academics) and the demands of the workforce, society, and national and global legal developments.Implications of the OBE Curriculum in Law Faculties include a shift from teaching-centered to student-centered learning (SCL), with assessment focusing not only on exam scores but also on students’ ability to apply the law in practice (case methods, moot court, legal drafting, legal clinics). Through this curriculum, law faculties across Indonesia are required to adapt to OBE to comply with international accreditation standards (e.g., ASEAN University Network Quality Assurance – AUN-QA) and to meet the global employability demands of law graduates.In conclusion, the OBE curriculum in Indonesian law faculties provides a legal education framework that emphasizes measurable, standardized legal competencies oriented toward the professional needs of law graduates and the development of national and international legal communities.
Keywords: Constitutional Law, Legal Semiotics, Qur’an, Ibn Kathir Exegesis, Law Education, OBE Curriculum
I.Pendahuluan
Perkembangan ilmu hukum tata negara di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan budaya bangsa. Tantangan era digital, degradasi etika politik, serta praktik penyimpangan kekuasaan menjadikan pendidikan hukum memerlukan pendekatan yang lebih inovatif, kritis, dan menyentuh aspek moralitas.
Hukum tata negara bukan hanya seperangkat aturan normatif, tetapi juga mengandung makna simbolik yang perlu ditafsirkan secara mendalam. Semiotika hukum hadir sebagai alat untuk membaca tanda, simbol, dan makna di balik norma hukum. Di sisi lain, nilai-nilai Al-Qur’an memberikan fondasi etika dan moral yang kokoh untuk membangun sistem hukum yang adil dan berkeadaban. Firman Allah dalam QS. An-Nisa’ (4):58 menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” Ayat ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Katsir, menunjukkan bahwa amanah dan keadilan adalah fondasi tegaknya pemerintahan dan hukum dalam Islam.
Dari perspektif ini, penelitian ini mencoba menawarkan inovasi model pembelajaran hukum tata negara dengan menggabungkan semiotika hukum dan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai pendekatan metodologis yang dapat memperkaya wawasan mahasiswa, sekaligus menumbuhkan kesadaran etis dan religius dalam memahami sistem ketatanegaraan.
II.Tinjauan Pustaka
1. Semiotika Hukum
Semiotika hukum adalah pendekatan yang melihat hukum bukan hanya sebagai norma tertulis, tetapi juga sebagai sistem tanda yang memuat simbol, makna, dan representasi sosial. Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce menjadi rujukan awal dalam kajian semiotika, sementara dalam konteks hukum, pendekatan ini digunakan untuk menganalisis makna konstitusi, lambang negara, dan simbol-simbol kekuasaan.
2. Hukum Tata Negara
Hukum tata negara di Indonesia mengatur struktur, fungsi, dan kewenangan lembaga-lembaga negara, serta hubungan antara negara dan warga negara. Konstitusi (UUD 1945) menjadi sumber hukum utama, di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
3. Integrasi Nilai Al-Qur’an dalam Pendidikan Hukum
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam memiliki nilai-nilai universal yang dapat menjadi pedoman dalam pengembangan hukum tata negara. Tafsir Ibnu Katsir, yang dikenal komprehensif dan berlandaskan riwayat, memberikan penjelasan kontekstual terhadap ayat-ayat hukum.
4. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan interdisipliner dalam pendidikan hukum, khususnya yang menggabungkan nilai-nilai agama, dapat meningkatkan kesadaran etis mahasiswa hukum. Namun, penelitian yang mengintegrasikan semiotika hukum dan tafsir Al-Qur’an masih terbatas.
III.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus Penerapan kurikulum OBE di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak. Data diperoleh melalui:
1. Observasi terhadap proses pembelajaran
2. Wawancara dengan dosen dan mahasiswa.
3. Studi kepustakaan terkait semiotika hukum, hukum tata negara, dan tafsir Al-Qur’an (khususnya Tafsir Ibnu Katsir) dan penerapan lima Analisis Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia.
Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis tipe deduksi, analisis hukum dengan analisis kategorisasi, klarifikasi. verifikasi,validasi dan falsifikasi hukum dan interpretasi, yang kemudian dihubungkan dengan perspektif semiotika hukum dan nilai-nilai Qur’ani, melalui Semiotika Hukum Pancasila.
IV.Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.Analisis Semiotika Hukum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan semiotika hukum dalam pembelajaran hukum tata negara memberikan pemahaman baru bagi mahasiswa dalam menafsirkan makna konstitusi dan simbol-simbol negara.
a. Pemahaman Simbolik Konstitusi
Mahasiswa dapat memahami konstitusi bukan hanya sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai representasi nilai, ideologi, dan sejarah bangsa. Misalnya, Garuda Pancasila sebagai lambang negara memiliki makna filosofis yang dapat dibaca dengan pendekatan semiotika hukum.
b. Integrasi Nilai Qur’ani dalam Hukum Tata Negara
Dengan menyitir QS. Al-Maidah (5):8: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil…” Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai perintah agar kaum Muslimin berlaku adil dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam pemerintahan. Integrasi ayat ini dalam pembelajaran hukum tata negara mengarahkan mahasiswa untuk memahami hukum bukan hanya secara normatif, tetapi juga etis dan religius.
c.. Perubahan Mindset Mahasiswa
Mahasiswa menjadi lebih kritis dan religius dalam menganalisis isu ketatanegaraan. Mereka menyadari bahwa keadilan, amanah, dan tanggung jawab moral adalah pilar utama yang harus ditegakkan dalam praktik ketatanegaraan. Mahasiswa diajak bernalar terhadap fenomena hukum dengan aplikasi Analisis Semiotika Hukum .
1.1. Kebijakan Pertambangan dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara: Analisis Normatif-Empiris dengan Pendekatan Tafsir Al-Qur’an
Dalam analisis Semiotika hukum ini membahas permasalahan hukum administrasi negara dalam kebijakan pertambangan di Indonesia, khususnya dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang sering menimbulkan konflik antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empiris dengan menelaah peraturan perundang-undangan seperti PP 96 Tahun 2021 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta analisis terhadap praktik pertambangan di Kalimantan Barat. Untuk memperkuat kajian, artikel ini menyertakan perspektif Islam dengan merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan melalui tafsir Ibnu Katsir, khususnya tentang amanah, keadilan, dan larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lemahnya validasi, verifikasi, dan transparansi dalam pengelolaan pertambangan menyebabkan kerugian negara, kerusakan lingkungan, serta ketidakadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi tata kelola pertambangan berbasis akuntabilitas, pengawasan publik, serta integrasi nilai-nilai moral dan etika Al-Qur’an. Deskripsi analisis ini merekomendasikan agar pemerintah memperkuat mekanisme hukum administrasi, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan menjadikan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah sebagai landasan etis dalam pengelolaan pertambangan.
1.2.Pembahasan Analisis Semiotika Hukum
Sumber daya alam adalah amanah Allah SWT bagi manusia untuk dikelola secara adil, bijaksana, dan bertanggung jawab. Indonesia sebagai negara yang kaya dengan mineral dan batubara, menghadapi tantangan serius dalam mengatur sektor pertambangan. Sejak diberlakukannya UU Nomor 4 Tahun 2009 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, serta lahirnya PP 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, terjadi berbagai perdebatan mengenai kepastian hukum, hak masyarakat adat, dan perlindungan lingkungan.
Masalah muncul ketika kebijakan pertambangan hanya menguntungkan segelintir pihak, terutama pemegang konsesi besar, sementara masyarakat lokal yang terdampak seringkali tidak memperoleh manfaat yang seimbang. Hal ini berimplikasi pada timbulnya ketidakadilan, konflik sosial, serta kerusakan lingkungan. Dalam perspektif hukum administrasi negara, problem utama terletak pada lemahnya akuntabilitas, verifikasi data, dan transparansi kebijakan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nisā’ (4):58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Ayat ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Katsir, menegaskan bahwa amanah pengelolaan sumber daya harus dikembalikan kepada pihak yang berhak, dan setiap penguasa atau pemimpin diwajibkan menegakkan keadilan.
Analisis ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pertambangan dalam perspektif hukum administrasi negara dengan pendekatan normatif-empiris serta memadukan nilai-nilai Al-Qur’an dan tafsir klasik Ibnu Katsir, dan analisis Semiotika hukum.
1.3.Tinjauan Pustaka
Kajian hukum administrasi negara dalam sektor pertambangan menekankan pada prinsip legalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara norma hukum dan praktik di lapangan. Misalnya, laporan dari berbagai LSM lingkungan mengungkapkan bahwa banyak izin usaha pertambangan (IUP) yang tumpang tindih dan tidak melalui mekanisme validasi yang ketat. Menurut teori hukum administrasi negara (Ridwan HR, 2018), kewenangan pemerintah dalam memberikan izin harus didasarkan pada prinsip legalitas yang jelas dan tidak boleh menyimpang dari aturan perundang-undangan. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan perspektif Islam, Al-Qur’an menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan alam. QS. Al-A‘rāf (7):56 menyebutkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa larangan berbuat kerusakan mencakup segala bentuk pengelolaan yang merugikan manusia dan alam, termasuk eksploitasi sumber daya yang berlebihan.
1.4. Penerapan Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan terkait pertambangan, antara lain:Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, Peraturan Menteri ESDM terkait tata kelola perizinan dan pengawasan.
Sementara pendekatan empiris dilakukan dengan mengkaji kasus-kasus pertambangan di Kalimantan Barat, khususnya terkait tumpang tindih izin, kerusakan lingkungan, dan dampak sosial-ekonomi masyarakat. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, analisis media massa, serta observasi lapangan terhadap praktik pertambangan di daerah penelitian. Analisis dilakukan dengan kerangka hukum administrasi negara yang dipadukan dengan tafsir Al-Qur’an untuk memperkaya landasan normatif dan etis.
1.5.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan beberapa temuan utama:
1. Lemahnya Validasi dan Verifikasi Izin Pertambangan
Banyak IUP di Kalimantan Barat yang diterbitkan tanpa melalui validasi yang jelas, bahkan terdapat izin yang overlap dengan tanah adat maupun kawasan hutan lindung. Hal ini bertentangan dengan prinsip akuntabilitas administrasi negara.
2. Kerusakan Lingkungan
Praktik pertambangan tanpa kontrol ketat menyebabkan pencemaran sungai dan rusaknya hutan. Hal ini berlawanan dengan prinsip keberlanjutan serta melanggar amanah Allah dalam menjaga bumi. QS. Al-Baqarah (2):205 menegaskan: “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak; dan Allah tidak menyukai kerusakan.” Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai gambaran orang-orang yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa mempedulikan kerusakan sosial dan ekologis.
3. Minimnya Partisipasi Masyarakat Lokal
Masyarakat adat sering kali tidak dilibatkan dalam proses perizinan maupun evaluasi pertambangan. Padahal QS. Al-Hadīd (57):7 menegaskan bahwa harta dan bumi adalah titipan Allah yang harus dikelola bersama demi kemaslahatan umat.
4. Ketidakadilan Distribusi Manfaat
Keuntungan pertambangan cenderung dikuasai oleh perusahaan besar, sedangkan masyarakat sekitar hanya menerima dampak negatif. Dalam tafsir Ibnu Katsir terhadap QS. Al-Nisā’ (4):29 ditegaskan bahwa setiap bentuk transaksi dan pengelolaan kekayaan harus dilakukan dengan adil serta tidak menzalimi pihak lain.
2.Kajian Analisis Konseptual Semiotika Al Qur’an
Bismillāhirraḥmānirraḥīm, bahwa Kajian Konseptual tentang Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Sektor Pertambangan di Indonesia: Suatu Tinjauan Normatif-Teologis Berbasis Al-Qur’an dan Tafsir Ibnu Katsir. Paparan ini mengkaji fungsi hukum administrasi negara dalam sektor pertambangan di Indonesia dengan pendekatan normatif-yuridis dan teologis berbasis Al-Qur’an. Pertambangan adalah sektor vital yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, namun seringkali menimbulkan konflik hukum, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, keberadaan hukum administrasi negara diperlukan sebagai instrumen pengaturan, pengawasan, serta penegakan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Kajian ini juga menyertakan analisis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan amanah, keadilan, dan larangan berbuat kerusakan di bumi, serta mengacu pada penafsiran Ibnu Katsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum administrasi negara memiliki peran ganda: pertama, sebagai pengatur hubungan antara negara, masyarakat, dan pelaku usaha; kedua, sebagai penjaga amanah pengelolaan sumber daya alam agar tidak menyimpang dari prinsip keadilan dan kemaslahatan. Rekomendasi diarahkan pada penguatan regulasi, transparansi birokrasi, serta integrasi nilai-nilai moral dan spiritual ke dalam tata kelola pertambangan nasional.
Pertambangan merupakan salah satu sektor strategis dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara, penciptaan lapangan kerja, serta pembangunan daerah. Namun, realitas menunjukkan adanya berbagai persoalan yang muncul, seperti konflik lahan, kerusakan lingkungan, praktik korupsi, serta lemahnya pengawasan pemerintah. Situasi ini menegaskan bahwa hukum administrasi negara harus berperan aktif dalam memastikan tercapainya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Dalam perspektif teologis, pengelolaan sumber daya alam bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga amanah yang dititipkan Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah di bumi. Al-Qur’an berulang kali menegaskan larangan berbuat kerusakan (fasād) serta perintah menegakkan keadilan (‘adl). Oleh karena itu, hukum administrasi negara yang mengatur sektor pertambangan harus dipandang tidak hanya sebagai instrumen hukum positif, tetapi juga sebagai wujud implementasi amanah ilahiyah.
2.1.Aplikasi Metodologi Penelitian
Sebagaimana dipaparkan, bahwa metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan teologis. Data diperoleh melalui kajian literatur dari peraturan perundang-undangan (seperti UUD 1945, UU Minerba, PP 96/2021), literatur akademik, serta sumber-sumber tafsir Al-Qur’an, khususnya Tafsir Ibnu Katsir. Analisis dilakukan dengan menghubungkan antara fungsi hukum administrasi negara dalam sektor pertambangan dengan nilai-nilai normatif yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2.2.Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Sektor Pertambangan
Fungsi utama hukum administrasi negara dalam sektor pertambangan adalah
1. Regulasi – menetapkan aturan hukum yang jelas mengenai perizinan, kewajiban, dan larangan. 2. Pengawasan – mengawasi jalannya kegiatan pertambangan agar sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip lingkungan. 3. Penegakan Hukum – memberikan sanksi administratif maupun pidana terhadap pelanggaran. 4. Perlindungan Masyarakat – menjaga kepentingan masyarakat, terutama masyarakat adat yang seringkali terdampak. 5. Penyelenggaraan Keadilan Sosial – memastikan hasil pertambangan memberikan manfaat yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Perspektif Al-Qur’an dan Tafsir Ibnu Katsir
Al-Qur’an menekankan bahwa sumber daya alam adalah amanah dari Allah SWT. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 30, Allah menyebut manusia sebagai khalifah di bumi, yang berarti manusia bertanggung jawab menjaga, mengatur, dan mengelola bumi dengan penuh keadilan. Ayat-ayat lain menegaskan prinsip-prinsip penting, antara lain: Larangan berbuat kerusakan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56). Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini melarang segala bentuk tindakan yang merusak tatanan alam, baik melalui kezhaliman, kerusakan lingkungan, maupun pengkhianatan amanah.
Keadilan dan amanah: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58). Ibnu Katsir menafsirkan bahwa amanah meliputi seluruh urusan publik, termasuk pengelolaan harta dan sumber daya.
Larangan keserakahan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai peringatan terhadap praktik korupsi dan monopoli. Dengan demikian, fungsi hukum administrasi negara dalam sektor pertambangan bukan hanya implementasi hukum positif, tetapi juga realisasi nilai-nilai Qur’ani mengenai amanah, keadilan, dan larangan berbuat fasad.
3. Tantangan Implementasi
Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain: Tumpang tindih regulasi pusat dan daerah, Lemahnya pengawasan dan transparansi dalam pemberian izin,Korupsi dalam birokrasi perizinan pertambangan, Konflik antara kepentingan investasi dan hak masyarakat lokal/adat.
2.3.Analisis Semiotika Hukum Terhadap Fakta Hukum
Pertambangan di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur, menghadirkan dilema hukum, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Di satu sisi, sektor pertambangan, terutama batubara, bauksit, dan emas, menjadi tulang punggung penerimaan negara dan daerah. Di sisi lain, praktik eksploitasi yang tidak taat asas hukum sering menimbulkan kerugian besar terhadap lingkungan hidup, hak-hak masyarakat adat, serta keberlanjutan pembangunan. Artikel ini menguraikan contoh nyata kasus tambang di Kalimantan, seperti konflik tambang bauksit di Ketapang dan Mempawah, serta tambang emas ilegal di Kapuas Hulu, yang menimbulkan pencemaran sungai, kerusakan hutan, dan konflik sosial. Dengan pendekatan analisis ilmu hukum, tata negara, dan semiotika hukum, artikel ini menawarkan kerangka berpikir untuk memperbaiki tata kelola tambang di Indonesia.
Kalimantan dikenal sebagai salah satu pulau terkaya sumber daya alam di dunia. Dari batubara di Kalimantan Timur, bauksit di Kalimantan Barat, hingga emas di Kapuas Hulu dan Kalimantan Tengah, potensi ini seharusnya menjadi modal utama bagi kesejahteraan masyarakat. Namun realitas menunjukkan bahwa kekayaan tersebut justru seringkali menjadi kutukan sumber daya (resource curse), karena lebih banyak menimbulkan kerusakan dan konflik ketimbang kesejahteraan.
Kasus nyata yang terjadi di Kalimantan adalah: 1. Tambang Bauksit di Ketapang dan Mempawah (Kalbar) Puluhan perusahaan tambang bauksit menguasai lahan dalam skala besar. Banyak yang tidak melakukan reklamasi pasca tambang. Sungai tercemar lumpur merah, nelayan kehilangan sumber penghidupan. Kasus ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat. 2. Tambang Emas Ilegal di Kapuas Hulu (Kalbar), Aktivitas PETI (Penambangan Tanpa Izin) marak di Sungai Kapuas.Menggunakan merkuri yang berbahaya, menimbulkan pencemaran air dan ikan.Konflik sering muncul antara aparat dan penambang. 3. Tambang Batubara di Kalimantan Timur
Lubang-lubang tambang bekas eksploitasi banyak ditinggalkan terbuka, Data WALHI menunjukkan lebih dari 1.700 lubang tambang di Kaltim, sebagai data Pembanding dan puluhan anak dilaporkan tewas tenggelam di lubang bekas tambang. Kasus-kasus ini adalah contoh nyata bahwa hukum yang ada belum mampu ditegakkan dengan maksimal. Padahal, kerangka regulasi seperti UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara telah jelas mengatur kewajiban perusahaan.
2.4.Analisis Semiotika hukum menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris.
1. Pendekatan Normatif, Menelaah peraturan perundang-undangan terkait pertambangan, lingkungan hidup, dan hak masyarakat adat.Analisis pada UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, UU Otonomi Daerah.
2. Pendekatan Empiris, Studi kasus nyata pertambangan di Kalimantan berdasarkan laporan resmi pemerintah, media kredibel, dan penelitian akademik.Wawancara tersier dari sumber berita dan laporan organisasi masyarakat sipil (WALHI, Auriga, Greenpeace).
3. Pendekatan Semiotika Hukum, Mengurai simbol-simbol hukum yang tidak hanya hadir di atas kertas, tetapi juga dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Kalimantan. Misalnya, tanah dan sungai dipandang sebagai “ibu kehidupan” oleh masyarakat Dayak, namun dalam regulasi hanya menjadi “objek izin usaha”.
2.5. Pembahasan Fakta Hukum
1. Analisis Hukum atas Tambang Bauksit di Ketapang dan Mempawah
Kasus ini menegaskan lemahnya implementasi pasal tentang reklamasi pasca tambang. Banyak perusahaan tambang bauksit yang hanya fokus mengejar keuntungan ekspor ke Tiongkok tanpa memenuhi kewajiban perbaikan lingkungan. Akibatnya, kerusakan sungai dan pencemaran lumpur merah memukul nelayan dan petani lokal.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, pemerintah daerah seharusnya memiliki wewenang pengawasan. Namun sejak terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pertambangan ditarik ke pemerintah pusat, sehingga pengawasan daerah melemah.
2. Tambang Emas Ilegal di Kapuas Hulu
Fenomena PETI adalah refleksi kegagalan negara mengakomodasi masyarakat adat dan lokal. Banyak masyarakat menggantungkan hidup pada emas, namun izin tambang legal sulit diperoleh. Akhirnya, mereka memilih jalur ilegal.
Dalam perspektif hukum pidana, praktik PETI jelas melanggar. Namun dalam perspektif keadilan sosial Pancasila, hal ini juga menjadi cermin kegagalan distribusi ekonomi.
3. Lubang Tambang Batubara di Kalimantan Timur sebagai Pembanding
Fakta k omasus anak-anak tewas tenggelam di lubang tambang adalah tragedi hukum. Perusahaan wajib melakukan reklamasi dan penutupan lubang sesuai regulasi. Namun lemahnya penegakan hukum menjadikan lubang tambang sebagai “kuburan hukum” dan simbol pengkhianatan terhadap asas negara hukum.
Korelasi dengan fakta yang terjadi di kabupaten Ketapang, salah satu kabupaten terluas di Kalimantan Barat, telah menjadi salah satu pusat aktivitas pertambangan yang paling menonjol dalam dua dekade terakhir. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah, khususnya bauksit, emas, dan mineral lainnya, menjadikan daerah ini sebagai magnet bagi investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, di balik geliat ekonomi yang terlihat dari masuknya modal asing dan nasional, aktivitas pertambangan di Ketapang menyimpan kompleksitas persoalan sosial, hukum, serta lingkungan yang tidak bisa diabaikan.
4.Potensi dan Realisasi Investasi Pertambangan di Ketapang
Menurut data Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, hingga tahun 2024, Kabupaten Ketapang menjadi penyumbang terbesar dalam produksi bauksit dan alumina. PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), perusahaan patungan antara Indonesia dan Tiongkok, tercatat sebagai pemain utama dengan kapasitas produksi alumina mencapai 1 juta ton per tahun, dan sedang dalam proses peningkatan kapasitas menuju 4 juta ton per tahun. Investasi ini menembus angka US$ 1,2 miliar, yang menjadikan WHW sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN).
Selain WHW, perusahaan lain seperti PT Cita Mineral Investindo Tbk juga aktif mengekspor bauksit, dengan catatan produksi mencapai lebih dari 10 juta WMT (wet metric ton) bauksit dalam setahun. Dari sisi kontribusi terhadap pendapatan daerah, pajak dan royalti dari sektor ini menjadi salah satu pilar utama APBD Ketapang.
5.Dampak Sosial dan Lingkungan
Meski memberikan kontribusi ekonomi, data menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di Ketapang tumpang tindih dengan kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan lindung. Hal ini menimbulkan persoalan serius terkait deforestasi dan kerusakan ekosistem. Greenpeace dan WALHI Kalimantan Barat dalam laporan 2023 menyebutkan bahwa aktivitas tambang bauksit di Ketapang telah menyebabkan deforestasi lebih dari 100 ribu hektare dalam satu dekade terakhir.
Tidak hanya itu, persoalan pencemaran air dan sedimentasi sungai juga marak dilaporkan masyarakat. Sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber utama air bersih, kini menghadapi keruhnya kualitas akibat limbah tambang. Salah satu kasus menonjol adalah protes masyarakat Desa Air Upas dan Kendawangan, yang menyebut aktivitas tambang menyebabkan turunnya kualitas air, menurunkan produktivitas pertanian, serta memengaruhi kesehatan masyarakat.
2.6.Aspek Hukum dan Tata Kelola
Kasus tumpang tindih izin tambang di Ketapang juga menjadi sorotan. Berdasarkan temuan KPK dalam kajian Minerba 2021–2022, terdapat sejumlah IUP di Ketapang yang tidak clean and clear (CnC). Permasalahan administratif ini berpotensi menimbulkan konflik hukum antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat. Lebih jauh, PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi acuan hukum baru, namun implementasinya di Ketapang menghadapi kendala karena lemahnya koordinasi antar instansi.
2.6.1.Analisis Semiotika Hukum
Jika dilihat melalui pendekatan semiotika hukum, fenomena pertambangan di Ketapang memperlihatkan tanda-tanda kontradiksi antara “janji kemakmuran” dan “realitas penderitaan lingkungan”. Pada satu sisi, tanda “tambang” dimaknai sebagai simbol pembangunan, industrialisasi, dan kemajuan. Namun, di sisi lain, ia juga menjadi representasi dari simbol kerusakan ekologis, hilangnya ruang hidup masyarakat adat, serta potensi konflik horizontal. Dengan demikian, hukum seharusnya hadir bukan sekadar sebagai teks peraturan, tetapi juga sebagai simbol keadilan ekologis yang harus menghubungkan kepentingan negara, investor, dan masyarakat lokal.
Ketapang saat ini berada di persimpangan jalan. Apakah pertambangan bauksit dan alumina akan benar-benar membawa kemakmuran berkelanjutan, atau justru menjadi bumerang berupa krisis lingkungan dan konflik sosial? Data kuantitatif yang menunjukkan peningkatan produksi dan investasi harus dilihat berdampingan dengan data kualitatif berupa keluhan masyarakat dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, paradigma pembangunan berbasis tambang di Ketapang harus diarahkan pada tata kelola yang transparan, partisipatif, dan berlandaskan prinsip keadilan sosial serta kelestarian lingkungan.
Baik, penulis narasikan secara lengkap analisis tambang di Ketapang, Kalimantan Barat dengan pendekatan analisis semiotika hukum dengan penerapan lima analisis hukum (kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum)
2.6.2.Analisis Kualitatif Tambang di Ketapang
Dengan Lima Analisis Hukum dan Semiotika Hukum, berikut ini:
1. Analisis Kategorisasi Hukum
Kategorisasi hukum dilakukan dengan menempatkan permasalahan pertambangan di Ketapang ke dalam norma hukum yang berlaku: Kategori Hukum Administrasi Negara: Izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah/ pusat sesuai kewenangan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Analisis Kategori Hukum Lingkungan: Dampak lingkungan yang harus diantisipasi melalui Amdal, sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Analisis, Kategori Hukum Agraria: Konflik lahan antara perusahaan tambang dan masyarakat adat di Ketapang yang diatur dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Analisis Kategori Hukum Pidana: Potensi tindak pidana seperti penambangan ilegal (illegal mining), korupsi perizinan, dan kerusakan lingkungan.
Secara semiotik, kategorisasi hukum ini menunjukkan adanya tanda hukum formal (legal text) yang mengikat, namun di lapangan seringkali bergeser menjadi tanda sosial (social meaning) berupa konflik dan protes masyarakat.
2. Analisis Klarifikasi Hukum
Klarifikasi hukum dilakukan dengan memisahkan fakta hukum yang tervalidasi dari opini atau kepentingan tertentu. Fakta Kuantitatif: Data ESDM Kalbar 2024 menunjukkan Ketapang memiliki 34 izin tambang bauksit aktif, dengan luas lebih dari 150 ribu hektar. Produksi bauksit Ketapang mencapai 22,5 juta ton per tahun, menyumbang lebih dari 60% produksi bauksit nasional. Penerimaan pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor ini lebih dari Rp 1,8 triliun.
Fakta Hukum: Banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca tambang, padahal hal ini diatur dalam Pasal 99 UU Minerba.Konflik dengan masyarakat adat, seperti di kawasan Kendawangan dan Sandai, menunjukkan ketidaksesuaian antara izin usaha tambang dan pengakuan hak ulayat. Secara semiotik, klarifikasi ini mengungkap perbedaan antara tanda hukum tertulis (lex scripta) dengan realitas tanda empiris (social practice).
3. Analisis Verifikasi Hukum
Verifikasi hukum dilakukan dengan menguji keabsahan dokumen hukum dan praktiknya di lapangan. Legalitas Perizinan: Banyak izin tambang di Ketapang telah berubah status setelah adanya alih kewenangan dari kabupaten ke provinsi, sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Analisis Kewajiban Pajak dan PNBP: Masih terdapat perusahaan yang menunggak kewajiban pembayaran, meskipun produksi tambang terus berjalan.Analisis Kepatuhan Lingkungan: Hasil audit KLHK menunjukkan adanya perusahaan yang belum menutup lubang bekas tambang, sehingga rawan menciptakan bencana ekologis. Secara semiotik, verifikasi ini adalah proses “membaca tanda” antara dokumen formal (izin, laporan pajak, Amdal) dengan jejak tanda di alam (kerusakan lingkungan, sedimentasi sungai, konflik sosial).
4. Analisis Validasi Hukum
Validasi hukum dilakukan untuk menilai apakah aturan hukum yang ada masih relevan dan efektif. Validasi Substansi: UU Minerba dan turunannya masih memberi celah bagi perusahaan besar untuk dominan, sementara masyarakat lokal hanya mendapat sedikit manfaat. Analisis Validasi Struktur: Bahwa Lembaga pengawas (ESDM, DLHK, BPK) masih lemah dalam penegakan aturan, terlihat dari banyaknya kasus tambang yang lolos tanpa sanksi tegas. Validasi Kultur: Masyarakat Ketapang masih berjuang mempertahankan ruang hidup, namun seringkali suara mereka tidak mendapat tempat dalam proses perizinan. Secara semiotik hukum, analisis validasi menunjukkan ketidakselarasan tanda hukum (aturan tertulis) dengan tanda moral (keadilan sosial).
5. Analisis Falsifikasi Hukum
Analisis Falsifikasi hukum dilakukan untuk menguji sejauh mana hukum dapat gagal atau dimanipulasi. Falsifikasi Perizinan: Ada laporan mengenai tumpang tindih izin (overlapping) antara konsesi tambang dengan kawasan hutan lindung. Falsifikasi Data Produksi: Beberapa perusahaan diduga melaporkan data produksi lebih rendah dari kenyataan untuk mengurangi kewajiban pajak. Falsifikasi Penegakan Hukum: Kasus kerusakan lingkungan akibat tambang sering berakhir dengan mediasi tanpa sanksi pidana, padahal jelas ada pelanggaran. Secara semiotik analisis falsifikasi hukum, falsifikasi ini memperlihatkan bahwa hukum bisa berubah menjadi tanda semu (pseudo-legal signs), di mana teks hukum ada tetapi pelaksanaannya kosong makna.
3. Penutup
3.1.Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan berikut ini:
1. Bahwa penelitian ini menyimpulkan bahwa inovasi model pembelajaran hukum tata negara berbasis semiotika hukum dan nilai-nilai Al-Qur’an efektif dalam meningkatkan pemahaman konseptual dan etis mahasiswa. Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya memahami hukum tata negara sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai simbol dan sistem nilai yang harus dijalankan dengan adil dan penuh amanah, Solusi yang ditawarkan : 1. Perguruan tinggi hukum di Indonesia sebaiknya mengadopsi pendekatan interdisipliner dengan memasukkan analisis semiotika hukum dalam kurikulum. 2. Nilai-nilai Al-Qur’an, khususnya melalui tafsir Ibnu Katsir, misalnya salah satunya dapat dijadikan rujukan etis dan moral dalam pendidikan hukum. 3. Diperlukan pelatihan bagi dosen untuk mengembangkan metode pembelajaran integratif berbasis hukum dan nilai-nilai Qur’ani.4. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menguji efektivitas metode ini di fakultas hukum lain di Indonesia.
2. Bahwa Hukum administrasi negara dalam sektor pertambangan di Indonesia memiliki fungsi vital dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan negara, masyarakat, dan pelaku usaha. Fungsi tersebut tidak hanya sekedar instrumen hukum positif, tetapi juga merupakan bagian dari implementasi nilai-nilai Qur’ani tentang amanah, keadilan, dan larangan berbuat kerusakan. misalnya Tafsir Ibnu Katsir memperkuat pemahaman bahwa pengelolaan pertambangan harus dilandasi tanggung jawab moral dan spiritual agar tercipta kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
3. Bahwa Pertambangan di Kalimantan adalah contoh nyata bagaimana kekayaan alam dapat menjadi bencana jika hukum tidak ditegakkan dengan konsisten. Kasus nyata tambang bauksit di Ketapang-Mempawah, PETI di Kapuas Hulu, dan lubang batubara di Kalimantan Timur menegaskan adanya jurang antara norma hukum dan praktik di lapangan.
4.Kebijakan pertambangan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat, masih menghadapi persoalan serius dalam aspek hukum administrasi negara. Lemahnya validasi, verifikasi, serta pengawasan menyebabkan terjadinya maladministrasi, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Dalam perspektif Al-Qur’an, hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah SWT serta melanggar prinsip keadilan dan larangan berbuat kerusakan di bumi.
5. Penguatan hukum administrasi negara harus dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam, khususnya prinsip amanah (trust), ‘adl (keadilan), dan maslahah (kemanfaatan). misalnya Tafsir Ibnu Katsir salah satunya memberikan landasan normatif bahwa setiap penguasa wajib menegakkan keadilan dan menghindari kebijakan yang merusak tatanan sosial dan lingkungan.
6. Bahwa dari lima analisis hukum dengan pendekatan semiotika hukum terhadap pertambangan di Ketapang: Teks hukum (lex scripta) ada dan lengkap, tetapi praktik hukum sering melenceng, secara semiotika,hukum, bahwa fakta hukum tambang di Ketapang bergerak dari tanda normatif ke tanda manipulatif, menciptakan jurang antara regulasi dan realitas, dibutuhkan rekonstruksi hukum berbasis transparansi data, partisipasi masyarakat adat, dan pengawasan publik digital untuk mengembalikan makna hukum sebagai tanda keadilan, bukan sekadar teks , instrumen kebijakan negara.
3.2.Rekomendasi:
1. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme validasi dan verifikasi izin pertambangan dengan sistem digital yang transparan, dengan meningkatkan pengawasan hukum administrasi negara terintegrasi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan IUP. revisi regulasi kewenangan, atau kembalikan sebagian kewenangan pengawasan tambang ke daerah agar lebih efektif atau Penguatan Penegakan Hukum, yaitu Pemerintah harus menindak tegas perusahaan tambang yang tidak melakukan reklamasi.
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait pertambangan, dalam arti dengan menetapkan kesepakatan mekanisme distribusi hasil pertambangan yang lebih adil dan berkeadilan sosial, model CSR yang berkeadilan, diselaraskan proses pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat, memperhatikan ruang legal bagi masyarakat adat untuk mengelola tambang berbasis komunitas dengan prinsip ramah lingkungan, hal ini selaras dengan Pasal 5 ayat 1,2 Undang -Undang Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Provinsi Kalimantan Barat.
3. Mengintegrasikan nilai maqāṣid al-syarī‘ah dalam kebijakan pertambangan sebagai dasar moral dan etis, dengan implementasi pendekatan nilai nilai Pancasila dan analisis Semiotika Hukum, artinya secara semiotik hukum, bahwa melihat fakta tambang bukan hanya sebagai objek ekonomi, tetapi juga simbol kehidupan masyarakat, oleh karena itu, pertama, Pemerintah perlu memperkuat regulasi pertambangan dengan memperjelas mekanisme perizinan dan pengawasan berbasis transparansi, Kedua bahwa diperlukan integrasi nilai-nilai keadilan dan amanah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an ke dalam praktik administrasi negara., Ketiga, bahwa Peningkatan kapasitas aparat pengawas dan penerapan teknologi digital dalam pengelolaan perizinan untuk mencegah korupsi. Keempat, bahwa perlindungan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pertambangan. Kelima, bahwa akademisi dan ulama perlu berkolaborasi dalam memberikan landasan moral dan spiritual bagi tata kelola pertambangan yang berkeadilan, berkepastian hukum dan kemanfaatan bersama sebagai implementasi klasul serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, dan khususnya Kalimantan Barat, lebih khusus area pertambangan seperti salah satunya wilayah kabupaten Ketapang.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Auriga Nusantara. (2022). Lubang Tambang di Kalimantan Timur dan Tragedi Anak Tenggelam.
Fakih, Mansour. (2005). Analisis Sosial. Jakarta: LP3ES.
Greenpeace Indonesia. (2021). Tambang dan Krisis Iklim di Indonesia.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Dar al-Fikr.
Laporan WALHI Kalimantan Barat tentang Dampak Pertambangan (2023).
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi Negara.
Peirce, C. S. Collected Papers of Charles Sanders Peirce. Harvard University Press.
Ridwan HR. (2018). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Turiman F. Nur. Semiotika Hukum dan Pancasila dalam Perspektif Ketatanegaraan. Pontianak: Rajawali Garuda Pancasila Institute.
Terjemahan Al-Qur’an Al-Karim.
Saussure, Ferdinand de. Course in General Linguistics. New York: McGraw-Hill. Ini
Quraish Shihab, M. (2002). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
WALHI Kalimantan Barat. (2023). Laporan Dampak Tambang Bauksit di Ketapang dan Mempawah.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) beserta perubahannya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. ( Red )