
Memahami Pesan Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur SH MHum
BN – Berikut adalah narasi hukum dan historis Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat, disusun dalam format akademik dan kontekstual untuk kebutuhan kajian konstitusional, historis, dan kultural: Narasi normatif Pasal 5 Ayat (1) dan (2) UU No. 9 Tahun 2022 Tentang Provinsi Kalimantan Barat
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat, patut diketahui,bahwa UU ini merupakan landasan hukum terbaru yang secara resmi mengatur kedudukan, cakupan wilayah, ibu kota, serta karakteristik Provinsi Kalimantan Barat, dan mulai berlaku pada tanggal 16 Maret 2022.
1. Ketentuan Pengganti dan Status Hukum
UU Nomor 9 Tahun 2022 mencabut dan menggantikan ketentuan sebelumnya, yaitu:
UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat,UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat No. 10 Tahun 1957, UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat.
UU Nomor 9 Tahun 2022 bukan sekadar peraturan tentang administrasi pemerintahan, melainkan: Alat legitimasi hukum untuk mengunci kembali sejarah wilayah DIKB, termasuk swapraja dan hak-hak maritim, Pengakuan terhadap identitas dan pluralitas budaya, Dan menjadi landasan konstitusional dan historis bagi perjuangan Kalimantan Barat untuk menjaga kedaulatan wilayah, adat, dan hukum.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 menegaskan fondasi karakteristik wilayah Provinsi Kalimantan Barat dengan pendekatan yang tidak hanya administratif, tetapi juga ekologis, sosiokultural, dan spiritual. Pasal ini terdiri atas dua ayat yang memiliki kedalaman makna hukum, sejarah, dan identitas lokal yang patut dianalisis lebih lanjut.
Ayat (1): Karakter Kewilayahan dan Lingkungan Hidup
“Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter kewilayahan yang kaya akan sumber keanekaragaman hayati serta merupakan hutan tropis alami yang dilindungi oleh pemerintah.”
Ayat ini mengandung norma pengakuan atas karakter geografis dan ekologis Kalimantan Barat, yang memiliki wilayah luas dengan kekayaan hayati dan fungsi ekologis strategis bagi Indonesia dan dunia. Namun secara implisit, frasa “karakter kewilayahan” juga mengandung jejak historis dari entitas administratif sebelumnya — yaitu Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) — yang meliputi wilayah darat dan wilayah maritim.
Karakter ini tidak dapat dilepaskan dari struktur kenegaraan Kalimantan Barat pasca-proklamasi 17 Agustus 1945, serta pengakuan internasional melalui Protokol Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, yang merupakan dokumen hukum historis yang memuat wilayah swapraja dan entitas lokal yang kemudian menyatu dalam Republik Indonesia.
Ayat (2): Karakter Suku Bangsa, Budaya, Religiusitas, dan Adat Istiadat
“Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter suku bangsa dan kultural yang secara umum memiliki karakter religius sekaligus menjunjung tinggi adat istiadat dan kelestarian lingkungan.”
Ayat ini mengafirmasi pluralitas etnis dan budaya Kalimantan Barat, dengan pengakuan eksplisit terhadap masyarakat Melayu, Dayak, Tionghoa, dan etnis lainnya sebagai unsur pembentuk identitas daerah. Nilai religiusitas masyarakat Kalimantan Barat — baik Islam, Kristen, Katolik, Buddha, maupun keyakinan lokal — diakui sebagai bagian dari karakter hukum sosial yang membentuk tatanan masyarakat Kalimantan Barat.
Penegasan “menjunjung tinggi adat istiadat” berarti pengakuan terhadap norma-norma hukum adat yang masih hidup — termasuk falsafah Dayak “Adil Katalino Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” yang berarti “berbuat adil sesama manusia, berpandangan ke surga, dan bernapas dari Tuhan,” serta adat dan daulat Kesultanan Melayu yang berperan dalam sejarah kenegaraan wilayah ini.
Makna Konstitusional dan Historis
Pasal ini tidak sekadar menyebut ciri khas wilayah, namun berfungsi sebagai norma “pengunci konstitusional” terhadap:
Eksistensi historis DIKB, yang terdiri dari 12 swapraja dan 3 neo-swapraja,
Kedaulatan maritim dan darat, termasuk hak atas pulau-pulau kecil dan perairan (seperti Pulau Pengikik),
Pengakuan nilai hukum adat dan nilai agama lokal, yang semuanya melekat pada struktur masyarakat Kalimantan Barat sejak pra-kemerdekaan.
Kesimpulan
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 9 Tahun 2022 adalah norma yang bersifat multi-layered: ia bukan hanya mengatur tentang karakteristik geografis dan budaya, tetapi juga menyimpan makna historis-politik yang dapat dijadikan dasar konstitusional untuk:
1. Menuntut pengakuan atas jejak administratif dan wilayah historis bekas DIKB,
2. Mempertahankan dan melindungi wilayah darat dan laut Kalimantan Barat,
3. Menjaga warisan adat, budaya, dan kepercayaan lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, UU ini adalah instrumen hukum nasional yang mengikat secara historis, sosial, dan kultural, serta menjadi landasan perjuangan masyarakat Kalimantan Barat untuk menjaga identitas wilayahnya secara adil dan berdaulat.
Dokumen ini membahas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 yang mengatur tentang Provinsi Kalimantan Barat. Berikut poin-poin pentingnya:
– Penggantian Ketentuan Hukum: UU ini menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1956, UU Nomor 21 Tahun 1958, dan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957, yang semuanya terkait dengan pembentukan Provinsi Kalimantan Barat.
– Karakteristik Provinsi Kalimantan Barat: UU ini secara resmi mengakui karakteristik Kalimantan Barat meliputi:
– Karakteristik wilayah (darat dan maritim)
– Karakteristik suku bangsa (Melayu, Dayak, Tionghoa, dan lainnya)
– Karakteristik budaya (adat istiadat dan warisan budaya)
– Karakteristik keagamaan (kehidupan beragama yang harmonis dan multikultural)
– Kontekstualisasi Historis: UU ini berakar pada Protokol Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, yang mengakui Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan swaprajanya. Ini menegaskan kembali hak-hak historis Kalimantan Barat, termasuk wilayah darat dan maritim.
– Adat, Agama, dan Identitas: UU ini menekankan penghormatan terhadap adat istiadat dan filosofi lokal seperti “Katalino bacuramin ka’ Saruga, basengat ka’ Jubata” (berbuat adil kepada sesama manusia, berpandangan pada surga, dan bernapas dari Tuhan Yang Maha Esa).
– Kesimpulan: UU Nomor 9 Tahun 2022 bukan hanya regulasi administratif, tetapi juga alat legitimasi hukum untuk mengamankan sejarah, identitas, dan pluralitas budaya Kalimantan Barat.
Benang Merah Permasalahan Batas Daerah Provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Kepulauan Riau
Dokumen ini menganalisis permasalahan batas wilayah antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau, khususnya mengenai Pulau Pengeke Besar dan Kecil. Berikut poin-poin utamanya:
– Ketidakjelasan Status Kepemilikan: Awalnya, status kepemilikan kedua pulau tersebut tidak jelas. Berita Acara Verifikasi Penamaan Pulau tahun 2008 di Kalimantan Barat merekomendasikan klarifikasi lebih lanjut.
– Kesepakatan 2014 yang Cacat Hukum: Kesepakatan tahun 2014 yang menyatakan kedua pulau sebagai bagian dari Kabupaten Bintan (Kepri) dianggap cacat hukum karena tidak memenuhi prinsip “Clear and Clean” dan kurangnya dasar hukum yang kuat.
– Keputusan Mendagri 2022 yang Dipertanyakan: Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 2022 yang memasukkan kedua pulau ke dalam wilayah Kepulauan Riau dipertanyakan karena permasalahan batas wilayah belum tuntas.
– Analisis Hukum Administrasi Pemerintahan: Dokumen menjabarkan kelemahan formil dan substansial dalam proses penegasan batas, termasuk kurangnya koordinat geodetik dan peta digital.
– Rekomendasi: Dokumen merekomendasikan audit administratif, klarifikasi kepada Kemendagri, melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG), dan bahkan pengajuan sengketa ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi jika diperlukan.
Secara keseluruhan, kedua dokumen tersebut membahas isu yang berbeda namun saling berkaitan. Dokumen pertama menjelaskan landasan hukum Provinsi Kalimantan Barat, sementara dokumen kedua membahas sengketa batas wilayah yang melibatkan provinsi tersebut. Permasalahan Pulau Pengeke Besar dan Kecil yang diangkat dalam dokumen kedua menunjukkan kompleksitas masalah batas wilayah yang memerlukan penyelesaian hukum yang komprehensif dan transparan.
Kedua dokumen tersebut memiliki korelasi yang signifikan, meskipun membahas topik yang berbeda. Dokumen pertama (UU No. 9 Tahun 2022) menetapkan kerangka hukum yang mengatur Provinsi Kalimantan Barat, termasuk karakteristik wilayah dan hak-hak historisnya. Dokumen kedua membahas sengketa batas wilayah antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau terkait Pulau Pengeke Besar dan Kecil. Korelasinya terletak pada berikut ini:
– Klaim Wilayah Kalimantan Barat: UU No. 9 Tahun 2022 secara tegas mengakui hak-hak historis Kalimantan Barat, termasuk wilayah darat dan maritim. Dokumen kedua menunjukkan bahwa klaim Kepulauan Riau atas Pulau Pengeke Besar dan Kecil menantang klaim ini, sehingga menciptakan konflik atas wilayah yang mungkin termasuk dalam cakupan “hak-hak historis” Kalimantan Barat.
– Prinsip Kedaulatan Wilayah: UU No. 9 Tahun 2022 menegaskan kedaulatan wilayah Kalimantan Barat. Sengketa Pulau Pengeke merupakan tantangan langsung terhadap kedaulatan ini, karena menyangkut penegasan batas wilayah yang sah. Penyelesaian sengketa ini penting untuk mempertahankan kedaulatan wilayah yang dijamin oleh UU.
– Kerangka Hukum Penyelesaian Sengketa: Meskipun UU No. 9 Tahun 2022 tidak secara spesifik membahas mekanisme penyelesaian sengketa batas, dokumen kedua menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip hukum administrasi pemerintahan dan peraturan perundang-undangan yang relevan (seperti Permendagri No. 141 Tahun 2017) harus diterapkan untuk menyelesaikan sengketa Pulau Pengeke. Artinya, penyelesaian sengketa ini harus dilakukan sesuai dengan kerangka hukum yang lebih luas yang dianut oleh negara Indonesia.
– Identitas dan Pluralitas Budaya: UU No. 9 Tahun 2022 menekankan pentingnya identitas dan pluralitas budaya Kalimantan Barat. Penyelesaian sengketa Pulau Pengeke harus mempertimbangkan aspek ini, menghindari tindakan yang dapat menimbulkan konflik sosial atau mengabaikan hak-hak masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.
Singkatnya, dokumen kedua menunjukkan sebuah kasus nyata yang menguji dan menantang validitas beberapa ketentuan yang terdapat dalam dokumen pertama. Dokumen pertama memberikan landasan hukum, sementara dokumen kedua memaparkan permasalahan praktis yang memerlukan penerapan landasan hukum tersebut untuk menemukan solusi yang adil dan sah. Penyelesaian sengketa Pulau Pengeke dengan tepat akan memperkuat pelaksanaan UU No. 9 Tahun 2022 dalam konteks praktis dan penegasan kedaulatan wilayah Kalimantan Barat. ( Red )