Mengenal Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur: Penjaga Memori Hukum dan Lambang Negara Meluruskan Sejarah, Memperkuat Hukum.

Mengenal Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur: Penjaga Memori Hukum dan Lambang Negara Meluruskan Sejarah, Memperkuat Hukum.

BN – Deskripsi Singkat: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur adalah seorang pakar hukum tata negara dan peneliti sejarah terkemuka yang telah mendedikasikan dirinya untuk mengungkap kebenaran di balik sejarah Lambang Negara Garuda Pancasila. Penelitiannya yang ekstensif, termasuk tesis S2-nya di UI berjudul “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)” dan kontribusinya pada Amandemen UUD 1945, telah memberikan pemahaman yang lebih akurat dan komprehensif tentang sejarah dan hukum lambang negara Indonesia. Ia juga turut menulis buku “Sultan Hamid II, Sang Perancang Lambang Negara,” yang memberikan perspektif baru dan bukti-bukti yang mendukung peran Sultan Hamid II dalam proses perancangan lambang negara. Melalui karya dan dedikasinya, Turiman Fachturahman Nur berupaya untuk memperkuat pondasi hukum dan sejarah bangsa Indonesia.
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, S.H., M.Hum., adalah seorang akademisi dan pemikir hukum yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Ia mengabdikan dirinya sebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (UNTAN) dan dikenal sebagai salah satu tokoh intelektual yang mendalami secara serius sejarah hukum dan simbol-simbol negara Republik Indonesia.
Dalam dunia akademik dan masyarakat, nama Turiman identik dengan kajian mendalam tentang Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia. Ia adalah salah satu akademisi yang paling vokal dan konsisten menyuarakan fakta bahwa Sultan Hamid II, tokoh asal Kalimantan Barat, adalah perancang utama lambang negara tersebut. Melalui tulisan, ceramah, dan diskusi ilmiah, Turiman berupaya merekonstruksi narasi sejarah yang selama ini dianggap kabur atau bahkan terpinggirkan.
Tidak hanya mendalami aspek sejarah lambang negara, Turiman juga dikenal luas atas kontribusinya dalam bidang semiotika hukum—yakni cabang ilmu yang mengkaji makna di balik simbol-simbol hukum dan negara. Baginya, hukum bukan sekadar teks atau norma, tetapi juga menyimpan pesan-pesan kebudayaan dan identitas yang tercermin dalam simbol, lambang, bahkan struktur institusi negara.
Ia telah menulis dan berbicara di berbagai forum nasional, termasuk dalam webinar-webinar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Panca Olah Institute, serta lembaga-lembaga akademik lainnya. Dalam setiap paparannya, ia tidak hanya menampilkan sisi legalistik dari suatu isu, tetapi juga membawa dimensi sejarah, sosial, dan budaya, khususnya dari perspektif masyarakat Melayu Kalimantan.
Turiman juga memberikan perhatian pada perkembangan hukum tata negara dan kebijakan publik. Ia pernah mengkritik tajam proses rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi yang dianggapnya lebih bersifat politis daripada meritokratis. Ia menyuarakan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam evaluasi terhadap kebijakan publik dan sistem peradilan, serta mendorong penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap ranah pemerintahan.
Sebagai seorang tokoh Melayu Kalimantan Barat, Turiman tidak pernah lepas dari diskusi mengenai identitas dan dinamika sosial-politik di wilayah tersebut. Dalam wawancara dengan media internasional, ia menegaskan bahwa masyarakat Melayu bukanlah kelompok radikal atau garis keras. Ia menyatakan bahwa perjuangan yang mereka lakukan adalah dalam kerangka konstitusional dan hukum yang sah. Sikap ini memperlihatkan komitmennya terhadap jalur akademik dan legal dalam memperjuangkan hak-hak kultural dan historis masyarakat daerah.
Keseluruhan pemikiran dan karya Turiman memperlihatkan bahwa ia bukan hanya seorang dosen biasa. Ia adalah penjaga memori hukum dan lambang negara, sekaligus penjaga warisan identitas lokal dalam konteks kebangsaan Indonesia. Dalam dirinya berpadu antara intelektualitas akademik, kepekaan sejarah, dan keteguhan nilai.
Naratif lengkap dari profil intelektual Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, telah diperluas dan diperkaya dengan informasi tambahan mengenai karya-karya ilmiahnya, termasuk kontribusinya dalam jurnal Universitas Indonesia
Meluruskan Sejarah, Memperkuat Hukum
Deskripsi Singkat:
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, S.H., M.Hum., adalah pakar hukum tata negara, dosen, dan peneliti sejarah hukum yang dikenal luas atas dedikasinya mengungkap sejarah asli perancangan Lambang Negara Republik Indonesia: Garuda Pancasila. Lewat riset akademik, publikasi ilmiah, dan kerja-kerja advokasi kultural, Turiman menjadi sosok sentral dalam upaya merekonstruksi narasi sejarah hukum bangsa yang adil dan faktual.
Peneliti Hukum dan Sejarah yang Visioner
Turiman Fachturahman Nur berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Sebagai seorang akademisi di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (UNTAN), ia telah membimbing banyak mahasiswa dalam memahami hukum tidak hanya sebagai teks normatif, tetapi sebagai bagian dari proses kebudayaan dan sejarah bangsa. Tesis masternya di Universitas Indonesia yang berjudul “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)” menjadi karya pionir dalam mengkaji posisi hukum dan sejarah Lambang Negara RI secara kritis dan berbasis sumber otentik.
Penelitian tersebut membongkar peran penting Sultan Hamid II—tokoh dari Kalimantan Barat—dalam merancang lambang Garuda Pancasila, sebuah narasi yang sebelumnya tersingkir dalam sejarah resmi. Turiman tak hanya menulis tesis, tetapi juga menerbitkan buku “Sultan Hamid II, Sang Perancang Lambang Negara”, yang menjadi rujukan penting dalam banyak forum akademik dan kebangsaan.
Kontribusi dalam Semiotika dan Filsafat Hukum
Selain hukum tata negara, Turiman dikenal sebagai salah satu pengkaji semiotika hukum di Indonesia. Baginya, simbol-simbol negara—seperti lambang, bendera, dan struktur konstitusi—bukanlah ornamen administratif semata, melainkan penyampai pesan kultural yang dalam. Dalam beberapa tulisan ilmiahnya yang terbit di jurnal-jurnal Universitas Indonesia, seperti Jurnal Hukum & Pembangunan, Jurnal Konstitusi, dan Jurnal Sejarah Hukum, ia menyoroti bagaimana simbol-simbol negara dapat menjadi alat pemersatu atau sebaliknya—alat penyingkir—terhadap kelompok identitas lokal.
Turiman mendorong agar simbol negara dibaca dengan kacamata historis dan kebudayaan lokal, tidak hanya dalam konteks nasionalistik formal. Salah satu tulisannya yang penting di jurnal UI adalah “Semiotika Lambang Negara: Menafsir Jejak Sejarah, Menegakkan Keabsahan Hukum”, yang menekankan pentingnya tafsir simbolik yang akurat terhadap lambang-lambang negara pascakolonial.
Pemikir Kritis dalam Isu Hukum dan Kebijakan Publik
Di luar sejarah lambang negara, Turiman juga dikenal sebagai pengkritik tajam terhadap penyimpangan dalam proses politik hukum. Ia mengkritik politisasi Mahkamah Konstitusi, membela sistem meritokrasi, dan menyerukan perlunya partisipasi publik dalam evaluasi kebijakan. Dalam forum-forum ilmiah nasional seperti AGSI, Panca Olah Institute, dan berbagai universitas, ia membawa perspektif hukum yang progresif, namun berakar kuat pada konstitusi dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat.
Penjaga Warisan Melayu dan Pembela Identitas Daerah
Sebagai tokoh Melayu Kalimantan Barat, Turiman aktif dalam pelestarian warisan sejarah dan budaya daerah. Ia memposisikan identitas lokal bukan sebagai hambatan dalam pembangunan nasional, tetapi sebagai pilar penting dari keberagaman Indonesia. Dalam wawancara dengan media nasional dan internasional, ia menegaskan bahwa masyarakat Melayu Kalimantan bukanlah kelompok ekstrem, melainkan komunitas beradab yang memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum dan konstitusional
Karya dan Dedikasi untuk Bangsa
Turiman telah menerbitkan berbagai artikel ilmiah, esai, dan jurnal yang memperkaya khazanah hukum dan sejarah nasional. Beberapa di antaranya:
“Sejarah Konstitusional Lambang Negara RI dan Proses Pengakuan Negara Terhadap Perancangnya” (Jurnal Hukum UI)
“Hak Konstitusional Masyarakat Adat dan Dinamika Daerah Istimewa dalam Konteks Negara Kesatuan” (Jurnal Konstitusi)
“Semiotika Hukum dalam Lambang Negara: Kajian Filosofis terhadap Pancasila Visual” (Jurnal Filsafat Hukum)
“Sultan Hamid II dan Perjuangan Konstitusional dalam Negara RIS” (Jurnal Sejarah Hukum Indonesia)
Kesimpulan: Antara Intelektualisme dan Nasionalisme
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur bukan sekadar akademisi. Ia adalah penjaga memori hukum bangsa dan penjaga narasi identitas lambang negara. Dalam dirinya melekat kombinasi antara kecerdasan intelektual, ketajaman analisis hukum, dan kepekaan sejarah. Ia hadir bukan hanya untuk mencatat sejarah, tetapi untuk meluruskannya—agar bangsa ini dapat berdiri di atas pondasi hukum dan sejarah yang jujur dan adil. ( Red )

CATEGORIES
Share This