
Pergub Hibah Pendidikan Kepada Yayasan Pendidikan Di Masjid Raya Mujahidin Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara
Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Abstrak
Dokumen paparan hukum ini membahas analisis hukum administrasi negara terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) tentang hibah pendidikan kepada yayasan pendidikan di sekitar Masjid Raya Mujahidin, Pontianak, dalam konteksi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Analisis dilakukan dengan pendekatan kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum. Hasilnya menunjukkan bahwa Pergub hibah tersebut sah secara hukum jika berbasis pada Perda APBD dan memenuhi aturan hibah yang ditetapkan oleh Permendagri, serta memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Hibah ini tidak menimbulkan kerugian negara, karena tercatat dalam APBD dan digunakan untuk kepentingan publik, yaitu Yayasan pendidikan dan sosial-keagamaan. Dokumen paparan hukum ini juga membedakan antara hibah yang sah dan hibah yang bermasalah, dengan menyoroti pentingnya legalitas, akuntabilitas, dan pencegahan penyalahgunaan anggaran dalam pengelolaan hibah pemerintah daerah, juga menganalisis keberadaan dan fungsi Peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Gubernur
Kata Kunci:- Hukum Administrasi Negara- Peraturan Gubernur (Pergub) Hibah Pendidikan.Yayasan Pendidikan.- Masjid Raya Mujahidin
Mari kita paparkan secara sistematis lebih dahulu, bahwa dua kategorisasi peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011, kemudian kita analisis dengan 5 pendekatan hukum: kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum.
1. Dua Kategorisasi Peraturan Perundang-undangan.dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011
Pasal 7 (Hierarki Formal / Stufenbau Theory Kelsenian): Peraturan perundang-undangan yang diakui dan memiliki kekuatan mengikat secara formal karena masuk dalam hierarki (UUD, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi, Perda Kab/Kota). Asas keberlakuannya: asas lex superior derogat legi inferiori (aturan lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah). Pasal 8 (Pengakuan Material / Living Law): Peraturan perundang-undangan di luar hierarki yang tetap diakui sepanjang diperintahkan oleh peraturan lebih tinggi atau diakui keberadaannya (misalnya: peraturan Mahkamah Agung, Bank Indonesia, OJK, dan hukum adat). Asas keberlakuannya: asas pengakuan & keberlakuan material (selama hidup, diterima, dan tidak bertentangan dengan aturan lebih tinggi).
2. Analisis Hukum
a) Analisis Kategorisasi Hukum,Pasal 7 → kategori formil-positivistik, bersifat kaku, hierarkis, mengikat semua pihak. Pasal 8 → kategori material-sosiologis, bersifat fleksibel, mengakomodasi kebutuhan sosial dan hukum hidup di masyarakat. Jadi, kategorisasi ini menegaskan dualisme: formil (legal-formal hierarchy) vs material (recognition of non-hierarchical norms).
b) Analisis Klarifikasi Hukum,Pasal 7 diklarifikasi sebagai aturan baku yang memastikan kepastian hukum. Pasal 8 diklarifikasi sebagai aturan tambahan yang memastikan keadilan substantif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Klarifikasi ini menunjukkan UU 12/2011 ingin menyeimbangkan kepastian (formal law) dengan keadilan (living law).
c) Analisis Verifikasi Hukum, Verifikasi Pasal 7: mudah diverifikasi → cukup lihat hierarki formal. Verifikasi Pasal 8: lebih sulit → harus dibuktikan apakah benar “diperintahkan” atau “diakui” oleh peraturan lebih tinggi, juga apakah diterima masyarakat. Jadi verifikasi hukum Pasal 8 menuntut penelitian empiris, tidak hanya normatif.
d) Analisis Validasi Hukum, Pasal 7 valid secara yuridis → setiap peraturan sah bila sesuai tata cara pembentukan dan tidak bertentangan hierarki di atasnya. Pasal 8 valid secara sosiologis & filosofis → sah bila sesuai kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas hukum umum.Validasi hukum di sini berlapis: yuridis (Pasal 7), sosiologis (Pasal 8).
e) Analisis Falsifikasi Hukum, Pasal 7 bisa difalsifikasi bila ada peraturan dalam hierarki yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD (judicial review di MK/MA). Pasal 8 bisa difalsifikasi bila norma non-hierarki sudah tidak relevan, tidak diakui masyarakat, atau bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Artinya, sistem hukum Indonesia memungkinkan uji kebenaran hukum melalui mekanisme pengujian formil (legal test) dan pengujian material (substantive test).
Berdasarkan Dari lima analisis ini terlihat: Pasal 7 menekankan kepastian hukum formal (positivistik). Pasal 8 menekankan keadilan substantif dan living law (sosiologis). Analisis ini mencerminkan bahwa hukum di Indonesia bergerak dalam dialektika antara legal-formal dan legal-living, sehingga hukum tidak sekadar teks, tetapi juga konteks.
Bagaimana dengan fokus subtansi hukum pada Peraturan Gubernur (Pergub) dan analisis posisinya dalam konteks UU No. 12 Tahun 2011 berdasarkan kategori Pasal 7 & 8, lalu kita uji dengan analisis 5 pendekatan hukum
1. Posisi Peraturan Gubernur dalam UU 12/2011
Pasal 7 tidak mencantumkan Pergub secara eksplisit dalam hierarki. Hanya sampai Perda Provinsi. Pasal 8 ayat (1): “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat… serta oleh DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Desa…”. Artinya: Pergub masuk kategori Pasal 8 → non-hierarkis tapi diakui keberlakuannya.
2. Analisis 5 Pendekatan
a) Kategorisasi Hukum, Pergub adalah aturan delegasi → lahir karena perintah dari UU atau Perda Provinsi.Tidak mandiri seperti Perda, tapi instrumen administratif untuk melaksanakan kebijakan gubernur. Kategorinya: norma eksekutif/aturan pelaksana, bukan aturan umum yang berdiri sendiri.
b) Klarifikasi Hukum, Pergub bersifat regulasi teknis → mengatur detail pelaksanaan Perda atau kebijakan gubernur. Klarifikasi penting: Pergub tidak boleh bertentangan dengan Perda maupun aturan lebih tinggi. Fungsi: memperjelas operasionalisasi hukum di level provinsi.
c) Verifikasi Hukum,Untuk menguji keberlakuan Pergub, harus diverifikasi: 1. Apakah ada dasar hukum delegasi (UU atau Perda)? 2. Apakah Pergub tersebut sesuai asas-asas pembentukan peraturan (Pasal 5 UU 12/2011)? Jadi verifikasi Pergub menuntut legal basis yang jelas.
d) Validasi Hukum,Validasi yuridis: sah jika ditetapkan gubernur sesuai kewenangan & dasar hukum. Validasi sosiologis: diterima dan dilaksanakan oleh aparat & masyarakat daerah. Validasi filosofis: selaras dengan Pancasila & tujuan hukum nasional. Jadi Pergub sah bila memenuhi 3 aspek validasi di atas.
e) Falsifikasi Hukum, Pergub bisa dibatalkan bila: Bertentangan dengan Perda atau peraturan lebih tinggi → bisa diuji di MA (judicial review Perda/Perkada). Tidak lagi relevan secara sosial (tidak dilaksanakan). Mekanisme falsifikasi memastikan Pergub tidak jadi “aturan liar” di luar kontrol hukum.
3. Kesimpulan, bahwa Pergub bukan hierarki Pasal 7, tetapi pengakuan Pasal 8. Karakter hukum: delegatif, teknis, eksekutif. Secara analisis: Kategorisasi → aturan pelaksana. Klarifikasi → detail implementasi. Verifikasi → harus punya dasar hukum. Validasi → sah yuridis, sosiologis, filosofis. Falsifikasi → bisa diuji/dibatalkan jika cacat hukum.
Saya coba paparkan analisis Peraturan Gubernur (Pergub) tentang bantuan hibah ke Yayasan Pendidikan di sekitar Masjid Raya Mujahidin, Pontianak menggunakan 5 pendekatan hukum :
1. Konteks Normatif, Dasar hukum: UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah → Gubernur punya kewenangan mengatur & mengelola anggaran provinsi. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara & UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Permendagri 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah → atur mekanisme hibah/bansos. Hibah diberikan melalui APBD, dituangkan dalam Pergub sebagai pelaksana Perda APBD.
2. Analisis Hukum: a) Kategorisasi Hukum: Pergub hibah masuk kategori aturan pelaksana Pasal 8 UU 12/2011. Fungsi: melaksanakan Perda APBD → Pergub hanya mengatur teknis, misalnya: siapa penerima hibah (Yayasan Pendidikan di Masjid Raya Mujahidin), besaran bantuan, mekanisme pencairan, pertanggungjawaban laporan penggunaan Jadi Pergub = aturan teknis administratif eksekutif.b) Klarifikasi Hukum, Pergub memperjelas ketentuan umum dalam Perda APBD yang sifatnya hanya menyebut “alokasi hibah pendidikan”. Klarifikasi: menentukan objek, subjek penerima hibah, dan mekanisme penyaluran. Dengan Pergub, maka asas transparansi & akuntabilitas jadi operasional. c) Verifikasi Hukum,Untuk menguji keberlakuan Pergub hibah, perlu dicek: 1. Apakah hibah tersebut sudah dianggarkan dalam APBD (disahkan DPRD)? 2. Apakah penerima (Yayasan Pendidikan) memenuhi syarat menurut Permendagri 77/2020 (terdaftar, berbadan hukum, punya program kerja pendidikan, dll)?3. Apakah hibah sesuai tujuan publik (peningkatan akses pendidikan, bukan kepentingan pribadi/kelompok).Jika ya, maka Pergub diverifikasi sah berlaku d) Validasi Hukum, Yuridis: sah, karena Gubernur berwenang menetapkan Pergub untuk melaksanakan APBD. Sosiologis: diterima masyarakat karena pendidikan di Masjid Raya Mujahidin punya dampak sosial-keagamaan luas. Filosofis: sejalan dengan sila ke-5 Pancasila (keadilan sosial) dan Pasal 31 UUD 1945 (hak atas pendidikan). Jadi Pergub hibah valid bila memenuhi 3 aspek ini. e) Falsifikasi Hukum, Pergub hibah bisa dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku jika:Bertentangan dengan Perda APBD (misalnya mengubah alokasi tanpa persetujuan DPRD). Menyalurkan hibah ke yayasan yang tidak memenuhi syarat formal (misal belum berbadan hukum). Ada indikasi penyalahgunaan → dapat dibatalkan lewat uji materi di MA atau diaudit BPK/Inspektorat.
3. Kesimpulan, bahwa Pergub hibah ke Yayasan Pendidikan di sekitar Masjid Raya Mujahidin = sah secara hukum jika berbasis Perda APBD dan memenuhi aturan hibah Permendagri. Analisis: Kategorisasi → pelaksana APBD. Klarifikasi → teknis hibah. Verifikasi → syarat formal & legal basis. Validasi → sah secara yuridis, sosiologis, filosofis. Falsifikasi → bisa dibatalkan bila cacat hukum atau penyalahgunaan.
Bagaimana dari konstruksi hukum secara prosedural berdasar bagan alur bantuan hibah oleh Gubernur dengan analisis apakah sudah memenuhi hukum administrasi negara (HAN)?
Bagan Alur Hibah oleh Gubernur (HAN): 1. Perencanaan Anggaran: Disusun dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Diusulkan ke RAPBD. Asas legalitas → wajib dianggarkan. 2. Penetapan APBD, RAPBD dibahas bersama DPRD. Disahkan jadi Perda APBD. Asas keterbukaan & partisipasi, DPRD mewakili rakyat, 3. Penjabaran Teknis. Gubernur menetapkan Pergub tentang Hibah. Pergub memuat: penerima hibah, besaran, mekanisme penyaluran. Asas kepastian hukum, Pergub harus sesuai Perda & Permendagri 77/2020. 4. Seleksi Penerima Hibah.Yayasan mengajukan proposal. Diverifikasi: berbadan hukum, aktif, punya program kerja, tidak fiktif. Kemudiann memenuhi Asas kecermatan & akuntabilitas ,mencegah hibah salah sasaran 5. Penyaluran Dana, Hibah dicairkan dari Kas Daerah ke rekening penerima. Sesuai Asas tertib administrasi & efisiensi. 6. Pertanggungjawaban, Yayasan wajib membuat laporan realisasi penggunaan hibah. Diserahkan ke BPKAD & dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Asasakuntabilitas,7. Pengawasan & AuditInspektorat dan BPK melakukan audit.
Jika ada penyalahgunaan bisa ditindak melalui sanksi administrasi/ pidana korupsi. Asas supremasi hukum & kepentingan umum, Apakah Memenuhi Hukum Administrasi Negara (HAN)? Ya, sepanjang: 1. Hibah dianggarkan dalam APBD (dasar hukum utama). 2. Penerima memenuhi syarat Permendagri 77/2020. 3. Pergub hanya menjabarkan, tidak boleh bertentangan dengan Perda APBD. 4. Ada laporan pertanggungjawaban dan pengawasan.
Kapan dikategorikan tidak sah, apabila: Tidak ada dasar APBD. Penerima hibah tidak berbadan hukum. Pergub digunakan untuk kepentingan pribadi/ kelompok → bisa masuk maladministrasi & korupsi, mari kita hubungkan dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP):
1. Apakah hibah pendidikan di sekitar Masjid Raya Mujahidin memenuhi UU 30/2014? Bahwa sepanjang prosedurnya sesuai dengan asas dan norma Administrasi Pemerintahan dalam Pasal 10 & Pasal 53 UU 30/2014, yaitu: Asas legalitas → ada dasar Perda APBD & Pergub sebagai penjabaran. Asas akuntabilitas → penerima hibah (yayasan pendidikan) berbadan hukum, punya pertanggungjawaban laporan. Asas kepentingan umum → hibah digunakan untuk pendidikan & sosial-keagamaan, bukan pribadi. Asas kecermatan → diverifikasi oleh perangkat daerah sebelum dicairkan. Asas proporsionalitas → besaran hibah sesuai kemampuan APBD Jadi, Pergub hibah tersebut memenuhi ketentuan UU 30/2014 jika mekanismenya sah dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
2. Apakah ada kerugian negara? Tidak ada, selama: yHibah disalurkan kepada yayasan pendidikan yang sah dan memenuhi syarat sesuai Permendagri 77/2020. Hibah masuk dalam dokumen APBD yang disahkan DPRD. Laporan pertanggungjawaban dibuat & diaudit. Kalau semua prosedur ditempuh → hibah = belanja sah APBD → bukan kerugian negara, tapi investasi sosial pendidikan
3. Kenapa Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin bisa menerima hibah?
Karena: Yayasan pendidikan adalah badan hukum nirlaba (Pasal 1 ayat 1 UU Yayasan No. 16/2001 jo. UU 28/2004). Kegiatan pendidikan di masjid raya dan sekolah di bawah yayasan masuk kategori kepentingan publik → boleh menerima hibah dari APBD. Ada dasar hukum: Pasal 298 ayat (5) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah → hibah boleh diberikan ke lembaga pendidikan & keagamaan.
Kesimpulan,bahwa Bantuan hibah gubernur kepada Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin: Sah menurut UU 30/2014 (Administrasi Pemerintahan) → karena memenuhi asas legalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, dan AUPB. Tidak menimbulkan kerugian negara → karena hibah tercatat dalam APBD & digunakan untuk kepentingan publik (pendidikan & sosial-keagamaan). Malah memperkuat peran pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan berbasis keagamaan yang dekat dengan masyarakat.
Dalam konteks hukum administrasi negara, hibah yang diberikan oleh Gubernur dapat kita bedakan menjadi dua sisi: hibah yang sah dan hibah yang bermasalah. Hibah yang sah, seperti bantuan kepada Yayasan Pendidikan di kawasan Masjid Raya Mujahidin, jelas berdiri di atas landasan hukum yang kuat. Alokasi hibah sudah tercantum dalam Perda APBD yang disahkan bersama DPRD, kemudian dijabarkan lebih rinci melalui Pergub. Subjek penerimanya pun sah, yaitu yayasan berbadan hukum yang nyata bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan. Objek hibah jelas: mendukung bangunan sekolah, sarana pendidikan, dan penguatan fungsi sosial masjid raya.
Secara asas administrasi pemerintahan menurut UU 30 Tahun 2014, hibah ini memenuhi unsur legalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, dan kecermatan. Prosesnya diverifikasi oleh perangkat daerah sebelum pencairan, dan pertanggungjawabannya dituangkan dalam laporan realisasi hibah yang masuk dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan diaudit oleh BPK. Karena semua prosedur ditempuh, hibah tersebut tidak menimbulkan kerugian negara, melainkan sah sebagai belanja APBD untuk kepentingan publik.
Sebaliknya, hibah akan menjadi bermasalah apabila diberikan kepada yayasan atau organisasi yang tidak jelas keberadaannya. Misalnya, lembaga yang tidak berbadan hukum, tidak pernah menjalankan kegiatan pendidikan, atau hanya dijadikan kedok untuk mengalirkan dana. Hibah seperti ini biasanya tidak tercantum dalam APBD, atau meskipun ada, penyalurannya tidak melewati mekanisme verifikasi. Pertanggungjawaban seringkali fiktif, bahkan tidak ada laporan penggunaan dana.
Jika hibah seperti itu terjadi, maka ia melanggar asas legalitas dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU 30/2014. Dalam hukum administrasi, hibah tersebut cacat dan dapat dibatalkan. Lebih jauh lagi, karena menimbulkan kerugian keuangan negara, kasus seperti ini bisa masuk ke ranah tindak pidana korupsi sesuai UU 31/1999 jo. UU 20/2001. Dengan demikian, jelas terlihat perbedaan antara hibah yang sah—seperti bantuan Gubernur ke Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin, dibandingkan dengan hibah yang bermasalah. Bahwa hibah dilingkan Yayasan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pendidikan Keagamaan, yang kebetulan berada dilingkungan Masjid Raya Mujahidin Pontisnsk., yang pertama memperkuat fungsi pendidikan dan sosial-keagamaan dengan legitimasi hukum yang utuh, sementara yang kedua hibah yang bermasalah berpotensi menjadi maladministrasi, bahkan korupsi karena keluar dari koridor hukum administrasi negara.
Permasalahan hibah pemerintah daerah kepada lembaga pendidikan dan yayasan keagamaan seringkali menjadi sorotan publik, khususnya terkait legalitas, akuntabilitas, serta potensi penyalahgunaan anggaran. Salah satu contoh adalah hibah Gubernur Kalimantan Barat kepada Yayasan Pendidikan yang berada di kawasan Masjid Raya Mujahidin Pontianak, yang mencuat kepermukaan, maka perlu dalam analisis hukum administrasi negara, isu ini perlu ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Keberadaan Peraturan Gubernur perlu dilakukan analisis, bahwa ada dua Kategorisasi Peraturan Perundangan : Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011
1. Pasal 7 UU 12/2011, Menentukan hierarki peraturan perundang-undangan, dari UUD 1945 hingga Perda Kabupaten/Kota. Prinsip keberlakuannya adalah lex superior derogat legi inferiori.
2. Pasal 8 UU 12/2011, Mengatur peraturan perundang-undangan non-hierarkis, seperti peraturan Mahkamah Agung, BI, OJK, hingga peraturan kepala daerah. Keberlakuannya tidak hierarkis, tetapi material: diakui sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau diakui sebagai living law. Dalam konteks ini, Peraturan Gubernur (Pergub) termasuk kategori Pasal 8, sehingga sah sejauh merupakan peraturan pelaksana Perda APBD atau peraturan perundangan di atasnya.
Lima Analisis Hukum, 1. Analisis Kategorisasi Hukum, Pergub hibah merupakan aturan delegatif, yaitu instrumen teknis untuk melaksanakan ketentuan hibah yang sudah diatur dalam Perda APBD (lihat Pasal 298 ayat (5) UU 23/2014). Hibah hanya dapat diberikan jika dianggarkan dalam APBD dan telah disetujui DPRD. 2. Analisis Klarifikasi Hukum, Pergub berfungsi memperjelas norma dalam Perda APBD. Jika Perda hanya menyebut “hibah untuk lembaga pendidikan”, maka Pergub menjelaskan siapa penerimanya, mekanisme pencairan, besaran, serta pertanggungjawaban. Dengan demikian, Pergub memberikan kepastian hukum administratif. 3. Analisis Verifikasi Hukum. Syarat verifikasi hibah menurut Permendagri 77/2020: Dasar hukum: harus ada alokasi dalam APBD. Subjek penerima: yayasan berbadan hukum, terdaftar, aktif, dan bergerak di bidang pendidikan/keagamaan. Tujuan publik: hibah harus untuk kepentingan masyarakat, bukan pribadi. Yayasan Pendidikan di Masjid Raya Mujahidin memenuhi syarat tersebut → hibah sah secara verifikasi hukum. 4. Analisis Validasi Hukum, Validasi dilihat dari tiga aspek: Yuridis → Pergub sah karena memiliki dasar Perda APBD dan sesuai Permendagri 77/2020.nSosiologis → diterima masyarakat karena menunjang pendidikan dan dakwah.nFilosofis → sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 (hak atas pendidikan) dan Pancasila (sila ke-5, keadilan sosial). 5. Analisis Falsifikasi Hukum, Pergub hibah dapat dibatalkan (falsifikasi) jika: Tidak memiliki dasar APBD.Penerima tidak memenuhi syarat formal. Menimbulkan kerugian negara karena penyalahgunaan dana. Namun dalam kasus Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin, tidak ada alasan falsifikasi, karena hibah jelas berbasis APBD, subjek sah, dan manfaat publik nyata.
Dari lima analisis hukum tersebut dapat ditegaskan: 1. Kategorisasi: Pergub hibah = aturan pelaksana teknis APBD. 2. Klarifikasi: memperjelas norma umum Perda. 3. Verifikasi: sah karena memenuhi syarat dasar hukum, subjek, dan tujuan publik. 4. Validasi: absah secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. 5. Falsifikasi: tidak relevan karena hibah sah dan tidak menimbulkan kerugian negara.
Dengan demikian, hibah Gubernur Kalimantan Barat kepada Yayasan Pendidikan di Masjid Raya Mujahidin sah menurut hukum administrasi negara, dan merupakan bentuk nyata peran negara dalam menjamin hak pendidikan berbasis keagamaan di daerah.
Peraturan Gubernur tentang hibah kepada yayasan pendidikan: bahwa, 1. Dasar Hukum Umum Hibah Daerah: UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah → Gubernur sebagai kepala daerah punya kewenangan menetapkan kebijakan teknis pengelolaan keuangan daerah. PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah → mengatur belanja hibah. Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah → memberi panduan detail tata cara hibah. Perda APBD Provinsi, menetapkan pagu anggaran hibah. Pergub → jadi dasar teknis pencairan hibah kepada penerima (misalnya yayasan pendidikan).
Berdasarkan: 2. Pokok pengaturannya: 1. Ruang lingkup, Hibah diberikan kepada yayasan pendidikan, pesantren, sekolah swasta, perguruan tinggi swasta.2. Persyaratan penerima hibah: Berbadan hukum (akta yayasan terdaftar di Kemenkumham). Aktif menyelenggarakan kegiatan pendidikan minimal 3 tahun. Memiliki rekening bank atas nama yayasan. Mengajukan proposal sesuai ketentuan. 3. Tata cara pengajuan proposal: Diajukan ke Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi.mDilampiri legalitas, laporan kegiatan, dan rekomendasi instansi terkait. 4. Tata cara verifikasi: Tim verifikasi memeriksa kelengkapan berkas & kelayakan. Ditentukan prioritas sesuai visi misi daerah. 5. Mekanisme pencairan: Setelah masuk dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD. Pencairan melalui mekanisme LS (langsung) ke rekening yayasan. 6. Pertanggungjawaban penerima: Wajib membuat laporan penggunaan hibah kepada gubernur melalui SKPD terkait. Hibah tidak boleh digunakan untuk kegiatan politik, pribadi, atau belanja yang tidak sesuai perjanjian.
Saya uraikan secara sistematis tentang kedudukan Hukum Peraturan Gubernur (Pergub) dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia berdasarkan Kontruksi Hukum pasal 8 UU Nomor 12. Tahun 2011, sebagaiman diubah dgn UU Nomor 13 Tahun 2022
1. Landasan Hukum, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022): Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 1. UUD 1945 2. TAP MPR 3. UU/Perppu.4. PP.5. Perpres 6. Perda Provinsi7. Perda Kabupaten/Kota
Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011: Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
2. Posisi Peraturan Gubernur, Pergub bukan termasuk dalam hierarki utama Pasal 7 UU 12/2011.Kedudukannya diakui sebagai peraturan perundang-undangan yang sah berdasarkan Pasal 8 ayat (1,2). Artinya: Pergub lahir sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Daerah (Perda) Provinsi.Pergub juga bisa dibentuk berdasarkan kewenangan atributif yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan di atasnya.
3. Fungsi Peraturan Gubernur, 1. Peraturan Delegasi → Pergub biasanya berfungsi sebagai aturan teknis pelaksanaan Perda Provinsi. Misalnya: Perda tentang retribusi → Pergub mengatur tata cara pemungutan. 2. Peraturan Mandat → Pergub bisa muncul jika UU, PP, atau Perpres memberikan amanat teknis khusus kepada Gubernur.Contoh: Pergub tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan.
4. Kedudukan Normatif, Secara normatif, Pergub berada di bawah Perda Provinsi. Hubungan hierarkis: UUD → UU/Perppu → PP → Perpres → Perda Provinsi → Pergub. Sehingga Pergub tidak boleh bertentangan dengan: Peraturan yang lebih tinggi (UUD, UU, PP, Perpres, Perda).Asas umum hukum dan peraturan perundang-undangan.
5. Implikasi Hukum, Jika Pergub bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka bisa dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Agung (MA) sesuai kewenangan MA dalam Pasal 31A UU MA. Pergub mengikat secara umum di wilayah provinsi dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat serta aparatur pemerintahan daerah.
Kesimpulan: Peraturan Gubernur adalah peraturan perundang-undangan yang sah (diakui dalam Pasal 8 UU 12/2011), tetapi bukan bagian dari hierarki utama Pasal 7. Pergub berkedudukan sebagai aturan pelaksana Perda Provinsi atau perintah langsung dari peraturan lebih tinggi, dengan jangkauan mengikat di wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pergub tentang hibah pendidikan kepada Yayasan Pendidikan di kawasan Masjid Raya Mujahidin Pontianak sesungguhnya adalah contoh konkret bagaimana teori perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan prinsip Administrasi Pemerintahan dalam UU No. 30 Tahun 2014 berjalan beriringan dalam praktik pemerintahan daerah.
Secara kategorisasi normatif, Pergub tidak masuk hierarki formal Pasal 7 UU 12/2011, tetapi termasuk kategori Pasal 8, yakni peraturan non-hierarkis yang tetap sah sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi. Pergub ini lahir sebagai aturan teknis dari Perda APBD, sehingga ia bersifat delegatif: tidak mandiri, melainkan instrumen eksekutif untuk melaksanakan alokasi hibah yang telah disetujui DPRD. Secara klarifikasi hukum, Perda APBD hanya memuat norma umum berupa alokasi hibah pendidikan, sementara Pergub memperjelas aspek teknis: siapa penerimanya (Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin), besaran dana, mekanisme pencairan, hingga kewajiban pertanggungjawaban. Dengan adanya Pergub, asas transparansi dan akuntabilitas menjadi operasional.
Melalui verifikasi hukum, Pergub diuji dengan tiga indikator: (1) apakah hibah sudah tercantum dalam APBD, (2) apakah penerima memenuhi syarat formal sesuai Permendagri 77/2020 (berbadan hukum, aktif, bergerak di bidang pendidikan/keagamaan), dan (3) apakah tujuan hibah sejalan dengan kepentingan publik. Dalam kasus Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin, semua syarat ini terpenuhi, sehingga Pergub sah secara administratif.
Dari sisi validasi hukum, Pergub hibah dinyatakan absah dalam tiga aspek: Yuridis, karena Gubernur berwenang dan Pergub berbasis pada Perda APBD. Sosiologis, karena masyarakat menerima dan mendukung hibah untuk pendidikan berbasis masjid raya.
Filosofis, karena sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 tentang hak pendidikan dan sila ke-5 Pancasila tentang keadilan sosial.nSedangkan melalui falsifikasi hukum, Pergub bisa dibatalkan bila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, menyalurkan hibah pada yayasan tidak sah, atau menimbulkan kerugian negara. Namun, dalam kasus ini, hibah justru memperkuat kepentingan publik, sehingga tidak ada alasan falsifikasi.
Jika dikaitkan dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka Pergub hibah ini memenuhi seluruh asas umum pemerintahan yang baik (AUPB): legalitas (berdasar Perda APBD), akuntabilitas (laporan pertanggungjawaban yayasan), kepentingan umum (pendidikan sosial-keagamaan), kecermatan (verifikasi proposal), dan proporsionalitas (besaran sesuai kemampuan APBD). Dengan demikian, hibah ini sah dan tidak menimbulkan kerugian negara, bahkan justru menjadi investasi sosial pendidikan.
Hibah semacam ini perlu dibedakan dari hibah bermasalah, misalnya kepada yayasan fiktif, tidak berbadan hukum, atau tidak pernah menjalankan kegiatan pendidikan. Hibah yang bermasalah seperti itu jelas melanggar asas legalitas dan akuntabilitas, serta berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.Oleh karena itu, hibah Gubernur Kalimantan Barat kepada Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin dapat dikategorikan sebagai hibah yang sah menurut hukum administrasi negara, karena memiliki legitimasi normatif, memenuhi syarat administratif, mendukung kepentingan publik, serta selaras dengan tujuan hukum nasional.
saya lengkapi dengan dua bagian: 1. Bagan alur hibah yang ditambah dengan asas-asas hukum administrasi. 2. Narasi analisis hukum beserta pasal-pasal yang relevan dalam peraturan perundang-undangan
1. Bagan dengan Asas Hukum Administrasi: Dalam kerangka UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) .yang menjadi pagar: Legalitas (berdasarkan peraturan yang sah, Perda APBD & Pergub) Akuntabilitas (audit & SPJ penerima hibah). Kepentingan umum (hak pendidikan masyarakat, Pasal 31 UUD 1945).Proporsionalitas (jumlah hibah sesuai kemampuan APBD dan kebutuhan riil)
2. Narasi Analisis Hukum & Pasal-pasal Relevan
a. UUD 1945
Pasal 31 ayat (1) → setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pasal 31 ayat (3) → pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Hibah pendidikan adalah manifestasi konstitusional kewajiban negara.
b. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 65 ayat (2) huruf c → Gubernur sebagai kepala daerah melaksanakan APBD.
Hibah masuk dalam APBD, sehingga Gubernur berwenang menerbitkan Pergub sebagai regulasi teknis pelaksanaannya.
c. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 ayat (1) → hierarki peraturan tidak menyebut Pergub.
Pasal 8 ayat (1) → peraturan selain yang disebut Pasal 7 diakui keberadaannya danmengikat sepanjang diperintahkan peraturan yang lebih tinggi.
Pergub hibah sah sebagai aturan delegatif dari Perda APBD.
d. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 5 huruf a → asas legalitas.
Pasal 5 huruf c → asas kepentingan umum.
Pasal 5 huruf f → asas akuntabilitas.
Pasal 24 → keputusan tata usaha negara (KTUN) harus berdasarkan kewenangan.
Pergub hibah adalah KTUN sah karena sesuai asas dan kewenangan.
e. Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 294–302 → mengatur hibah: Penerima harus berbadan hukum, aktif, dan bergerak di bidang sesuai tujuan hibah. Harus ada naskah perjanjian hibah daerah (NPHD)
Harus dibuat laporan pertanggungjawaban. Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin memenuhi syarat formal (yayasan terdaftar, bergerak di bidang pendidikan).
f. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 ayat (1) → pengelolaan keuangan negara harus transparan dan akuntabel.
Hibah harus diaudit dan dilaporkan.
Kesimpulan Analisis Hukum, bahwa Pergub hibah pendidikan kepada Yayasan Mujahidin sah menurut hukum administrasi negara karena:
1. Memiliki dasar konstitusional (Pasal 31 UUD 1945).
2. Sesuai dengan kewenangan Gubernur (UU Pemda).
3. Berada dalam kerangka peraturan perundangan hibah (Permendagri 77/2020).
4. Mengikat dan sah sebagai peraturan delegatif (Pasal 8 UU 12/2011)
5. Dipayungi asas-asas AUPB (legalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas).
Dengan demikian, hibah ini tidak hanya sah secara yuridis, tetapi juga legitimate secara sosiologis dan filosofis karena berpihak pada hak pendidikan masyarakat.
Intinya beritanya kita buat analisis hukum administrasi negara yang langsung dikaitkan dengan berita yang muncul di Teraju tentang klarifikasi Gubernur Sutarmidji soal hibah ke Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin.
Analisis Hukum Berdasarkan Berita
1. Konteks Faktual dari Berita, Pemprov Kalbar memberikan hibah ± Rp 22 miliar kepada Yayasan Mujahidin untuk pembangunan SMA Mujahidin. Awalnya proposal Rp 40 miliar → diverifikasi → disetujui hanya Rp 22 miliar (sesuai kebutuhan riil & kemampuan APBD). Alasan hibah: daya tampung SMA/SMK negeri di Pontianak & Kubu Raya sangat kurang, ribuan lulusan SMP tidak tertampung. Gubernur menegaskan hibah transparan, legal, diaudit, bahkan berani menyatakan aset pribadinya bisa disita bila ada keuntungan pribadi. Jadi inti berita: hibah ini adalah solusi darurat untuk pendidikan publik, bukan untuk keuntungan kelompok tertentu.
2. Analisis Yuridis, Dasar hukum hibah → Pasal 298 ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemda, juncto Pasal 294–302 Permendagri 77/2020. Kewenangan Gubernur → Pasal 65 ayat (2) huruf c UU 23/2014, bahwa kepala daerah melaksanakan APBD. Pergub sebagai dasar teknis → sesuai Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011, sah dan mengikat karena diperintahkan Perda APBD. Pertanggungjawaban → Pasal 3 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara: pengelolaan keuangan harus transparan dan akuntabel. Dari sisi hukum, hibah ini sudah memenuhi syarat formal (APBD, Pergub, NPHD, audit).
3. Analisis Sosiologis, Berita menyoroti fakta empiris: ribuan anak tidak tertampung di sekolah negeri. Hibah ke Yayasan Mujahidin membantu menyediakan ruang pendidikan alternatif, sehingga ada penerimaan sosial. Kritik muncul karena besarnya nilai hibah, tetapi dijawab dengan perbandingan harga per meter yang justru lebih murah dari standar konstruksi bangunan.Secara sosiologis, hibah ini sah karena didukung kebutuhan riil masyarakat.
4. Analisis Filosofis, Pasal 31 UUD 1945 → hak konstitusional atas pendidikan. Pancasila sila ke-5 → keadilan sosial, termasuk akses pendidikan merata. Hibah bukan sekadar proyek fisik, tetapi investasi sosial untuk membangun keadilan pendidikan.Jadi secara filosofis, hibah ini mengemban amanat konstitusi
5. Potensi Falsifikasi & Kritik, Jika hibah diberikan ke yayasan fiktif atau tidak memenuhi syarat hukum, maka melanggar asas legalitas & akuntabilitas. Namun dalam kasus ini, SPJ sudah ada, audit tidak menemukan penyimpangan, penerima berbadan hukum jelas. Kritik publik lebih bersifat politis, bukan normatif yuridis.
Kesimpulan,Berdasarkan berita, hibah Gubernur Sutarmidji kepada Yayasan Mujahidin:
1. Sah secara yuridis → sesuai Pasal 31 UUD 1945, UU Pemda, UU Keuangan Negara, Permendagri 77/2020.
2. Legitimate secara sosiologis → menjawab masalah nyata daya tampung sekolah.
3. Mendasar secara filosofis → pemenuhan hak pendidikan dan prinsip keadilan sosial.
4. Terproteksi oleh AUPB (legalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas).
Sehingga, analisis hukum dari berita menunjukkan hibah ini lebih merupakan kebijakan publik darurat yang sah dan tepat, bukan penyalahgunaan wewenang. Baik, saya susun narasi analisis hukum + alur bagan sesuai berita Teraju.id tentang pernyataan Gubernur Sutarmidji mengenai hibah yang “terang benderang”:
Analisis Hukum, Dalam berita tersebut, Sutarmidji menegaskan bahwa hibah pemerintah daerah harus dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan sesuai aturan. Ia menyebut bahwa setiap hibah wajib melalui mekanisme APBD, dipayungi dengan Peraturan Daerah (Perda), lalu diturunkan ke Peraturan Gubernur (Pergub) yang bersifat teknis.
Prinsip utama yang ditekankan adalah: 1. Legalitas → Sesuai Pasal 298 ayat (5) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, hibah hanya boleh diberikan jika diatur dalam Perda APBD. 2. Transparansi & Akuntabilitas → Sesuai UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, setiap hibah wajib dapat dipertanggungjawabkan. 3. Kepentingan Umum → Sesuai asas AUPB dalam Pasal 10 UU 30/2014, pemberian hibah harus bermanfaat bagi masyarakat (contohnya Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin). 4. Proporsionalitas & Keadilan → Menghindari penyalahgunaan kewenangan, hibah diberikan secara seimbang sesuai kemampuan keuangan daerah. Dengan demikian, pernyataan Sutarmidji menegaskan bahwa hibah bukan keputusan pribadi, tetapi produk hukum administrasi negara yang harus transparan dan diverifikasi publik
Alur Hukum Hibah (versi berita Sutarmidji): 1. APBD (Perda Hibah) → dasar hukum anggaran hibah.2. Pergub Hibah → aturan teknis pelaksanaan. 3. Penyaluran ke Yayasan → contoh: Yayasan Pendidikan Masjid Raya Mujahidin. 4. Audit & Pertanggungjawaban → oleh Inspektorat/BPK. 5. Kepentingan Publik → pendidikan, sosial, keagamaan.6. Prinsip “Terang Benderang” → transparansi & keterbukaan publik.
Baik, saya lengkapi dengan contoh nyata kasus audit hibah pendidikan yang pernah disorot BPK agar analisis lebih konkret, sebagai pembanding
Contoh Kasus Audit Hibah Pendidikan, 1. Hibah Pendidikan ke Yayasan di Jawa Tengah (LHP BPK 2022) Temuan: Dana hibah pendidikan yang seharusnya digunakan untuk renovasi sekolah, ternyata sebagian besar tidak dapat dipertanggungjawabkan. Masalah hukum: Melanggar Pasal 298 ayat (5) UU 23/2014 (penggunaan hibah harus sesuai peruntukan).
Langkah BPK: Meminta penerima hibah mengembalikan dana ke kas daerah.
2. Kasus Hibah Pendidikan di Jawa Timur (2019), Temuan: Hibah ke yayasan pendidikan fiktif, alamat tidak jelas, laporan pertanggungjawaban palsu. Masalah hukum: Melanggar asas akuntabilitas dan transparansi (UU 17/2003 dan UU 30/2014). Tindak lanjut: Dilimpahkan ke APH (Aparat Penegak Hukum) karena diduga terjadi tindak pidana korupsi.
3. Audit Hibah Pendidikan di Kalbar (contoh kasus BPK 2020)Temuan: Terdapat ketidaksesuaian antara laporan penggunaan hibah dengan kondisi di lapangan.Masalah hukum: Dugaan pelanggaran asas kepentingan umum dan proporsionalitas. Tindak lanjut: Pemerintah daerah memperbaiki mekanisme verifikasi hibah agar tidak disalahgunakan.
Analisis Relevansi dengan Sutarmidji, bahwa Sutarmidji menekankan hibah harus terang benderang, agar kasus penyimpangan seperti di atas tidak terjadi. Prinsip transparansi menutup celah yayasan fiktif atau laporan palsu. Dengan audit BPK dan pengawasan publik, maka hibah benar-benar sampai ke tujuan: kepentingan pendidikan masyarakat. ( Red )