Sejarah Masuknya TNI ke Kalimantan Barat, Peran Sultan Hamid II, Pengusulan Pergantian Nama Bandara Dari Supadio menjadi Sultan Syarif Abdurrahman

Sejarah Masuknya TNI ke Kalimantan Barat, Peran Sultan Hamid II, Pengusulan Pergantian Nama Bandara Dari Supadio menjadi Sultan Syarif Abdurrahman

BN – Ringkasan Sejarah Kehadiran TNI di Kalimantan Barat
1. Perjuangan Awal dan ALRI Divisi IV
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, semangat perjuangan di Kalimantan Barat mulai terorganisasi melalui ALRI Divisi IV yang dibentuk pada 4 April 1946. Divisi ini bertanggung jawab atas sektor militer di Kalimantan, termasuk Pontianak sebagai Sektor B. Pada 10 November 1946, kekuatan tersebut berkembang menjadi Divisi IV ALRI/Pertahanan Kalimantan, yang tidak hanya mengelola jalur laut, tetapi juga mulai membentuk pertahanan darat dengan pasukan-pasukan rahasia. Inilah pijakan pertama kehadiran militer Republik di Kalimantan Barat.
2. Wajah Awal Organisasi TNI di Kalbar
Sebelum TNI terbentuk secara resmi, masyarakat Kalbar melahirkan berbagai organisasi perjuangan rakyat pada September 1945, antara lain: PPRI (Pemuda Penyongsong Republik Indonesia), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), TNI Mandau Telabang, dan lainnya. Organisasi-organisasi ini menjadi fondasi awal terbentuknya kekuatan militer rakyat di Kalbar. Pada Januari 1950, dibentuk Komando Teritorium Kalimantan. Di Pontianak, lahirlah Sub-Territorium I yang dipimpin Mayor Firmansjah. Dari unit ini kemudian berkembang menjadi Brigade G, cikal bakal Komando Tentara & Teritorium VI/Tanjungpura.
3. Integrasi Bekas KNIL ke TNI
Momentum penting terjadi pada 20 Juli 1950, ketika integrasi resmi bekas KNIL ke dalam TNI diumumkan dalam upacara di halaman Gubernur Kalimantan di Banjarmasin. Di Kalbar, beberapa kompi eks-KNIL ditempatkan di daerah strategis, antara lain: Sintang (dipimpin Letnan Lasamahu), Ketapang (Letnan Satu Sudiman), Sambas dan Singkawang.Mereka terutama dimasukkan ke dalam Batalion B, Brigade A Kalimantan Barat. Namun, integrasi ini juga menimbulkan keresahan di kalangan pejuang Republik lokal, karena tidak semua mendapat kesempatan masuk TNI.
4. Reorganisasi Militer dan Pembentukan Kodam
Struktur TNI di Kalbar terus berkembang: 1 September 1952: Berdasarkan SK Panglima Tentara & Teritorium VI/Tanjungpura Nomor G/49/TTK/52, Brigade G berubah menjadi Resimen Infanteri 20, dipimpin Letkol Maryadi (kemudian digantikan Soeharto). 17 Juli 1958: Resimen Infanteri 20 ditingkatkan menjadi Komando Daerah Militer (Kodam) Kalimantan Barat, dipimpin Letkol Inf. Soeharto. 1960: Kodam ini berganti nama menjadi Kodam XII/Tanjungpura, membawahi dua Korem: Korem 121/Alambhana Wanawai (Sintang) Korem 122/Setia Negara (Singkawang). 2010: Kodam VI/Tanjungpura dipecah, sehingga lahirlah Kodam XII/Tanjungpura (untuk Kalimantan Barat dan Tengah) serta Kodam VI/Mulawarman (untuk Kalimantan Timur dan Selatan).
5. Pembentukan Korps Polisi Militer
Kedatangan delegasi militer pertama dari Jawa pada 27 Desember 1949 juga menjadi awal pembentukan Korps Polisi Militer (Pom TNI) di Kalbar.Dari Detasemen Berdiri Sendiri A Kapuas 60, struktur Pom berkembang hingga menjadi Detasemen Pom Militer VI/4 di Pontianak, yang memperkuat fungsi penegakan disiplin dan hukum di lingkungan TNI. Sejarah kehadiran TNI di Kalimantan Barat berawal dari semangat perjuangan rakyat, berkembang melalui ALRI Divisi IV, dan kemudian diperkokoh dengan integrasi eks-KNIL serta pembentukan struktur resmi teritorial.
Transformasi dari Brigade → Resimen Infanteri 20 → Kodam XII/Tanjungpura menandai konsolidasi pertahanan Republik di Kalimantan Barat, terutama sebagai wilayah strategis perbatasan. Dokumentasi foto dan arsip yang menggambarkan integrasi eks-KNIL serta pembentukan Kodam menjadi bagian penting dalam memahami dinamika sejarah militer Indonesia di Kalimantan Barat (Terlampir).
Paparan diatas tidak terlepaskan benang merahnya dengan pembahasan tentang Sultan Hamid II yang tidak bisa dilepaskan dari dua ranah besar: perannya sebagai kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), 14 Juli 1950 serta posisinya dalam sejarah politik Indonesia pasca pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949. Sebagai seorang tokoh bangsa, ia memikul tanggung jawab ganda: menjaga eksistensi Kesultanan Pontianak sekaligus mengawal transisi Kalimantan Barat dari wilayah federal ke bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, catatan sejarah yang tertinggal justru penuh dengan kontradiksi, kontroversi antara fakta hukum dan narasi politik yang berkembang.
Secara historis, Sultan Hamid II selaku Kepala DIKB menyiapkan barak militer di Pontianak untuk menyambut kedatangan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Banjarmasin. Langkah ini memperlihatkan komitmen nyata DIKB dalam menyambut persatuan bangsa pasca Revolusi Kemerdekaan. Fakta ini membantah stereotip yang kerap melekat bahwa ia berseberangan dengan Republik. Sebaliknya, ia justru berperan dalam memperkuat integrasi wilayah Kalimantan Barat dengan Indonesia. Namun, sejarah mencatat bab lain yang penuh kontroversi. Peristiwa Westerling di Bandung tahun 1950, yang dikenal sebagai “APRA Affair”, menyeret nama Sultan Hamid II. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pada saat peristiwa tersebut berlangsung di Bandung, Sultan Hamid II berada di Kota Pontianak dalam rangka menyambut Dr. Mohammad Hatta, Januari 1950 sebagai Wakil Presiden RIS, yaitu Perdana Menteri RIS 1949- 17 Agustus 1950 kala itu. Kontradiksi inilah yang menjadi titik persoalan serius dalam perjalanan hukum dan politik Sultan Hamid II ( fhoto terlampir).
Perlu dipahami secara obyektif, bahwa dalam sidang Mahkamah Agung tahun 1953, tuduhan primer terhadap Sultan Hamid II dinyatakan tidak terbukti untuk seluruhnya. Akan tetapi, ia tetap dijatuhi hukuman dengan pertimbangan keberadaan “Kompi Dayak” yang dihubungkan dengan dirinya, serta “gagasan federalisme” yang dipandang berlawanan dengan arus unitarisme bentuk negara pada waktu itu. Dengan demikian, hukuman yang diterimanya lebih bersifat politis ketimbang sepenuhnya berdasar fakta hukum yang obyektif.
6.Kontradiksi ini semakin jelas bila menelaah dua dimensi:
1. Dimensi Hukum: Putusan Mahkamah Agung 1953 membuktikan tuduhan utama tidak terbukti, tetapi tetap menghukum Sultan Hamid II dengan dasar sekunder. Ini mencerminkan problematika rule of law versus rule by politics
2. Dimensi Politik: Pandangan tentang federalisme kala itu dipersepsikan sebagai ancaman terhadap integrasi Republik. Padahal, federalisme yang ditawarkan Sultan Hamid II lahir dari kondisi objektif pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, ketika bentuk negara memang masih federal (RIS), daerah otonom, atau Otonomi sebagai daerah Istimewa Kalimantan Barat sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri, lihat dokumen protokol PBB, (bukti dokumen PBB terlampir). Oleh karena itu, obyektivitas sejarah menuntut kita untuk menempatkan Sultan Hamid II bukan sekadar dalam bingkai tuduhan “pemberontakan” yang ilusi kontelasi politik kenegaraan saat itu, tetapi juga dalam konteks tokoh penghubung antara federalisme dan unitarisme, yang perannya di Kalimantan Barat, dalam diplomatik pengakuan kedaulatan dari Belanda pada satu sisi dan pada sisi lain terbukti aktif mendukung kehadiran negara melalui penyediaan barak militer bagi TNI dipontianak dan sungai durian yang saat lapangan terbang terbang air port yang bernama kemudian Supadio, serta sambutannya kepada pemimpin nasional, dalam perdana menteri RIS ketika berkunjung ke Daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB, Januari 1950.
Dengan perspektif ini, Sultan Hamid II harus dipandang sebagai tokoh historis yang jatuh korban dari tarik-menarik politik nasional dan internasional pada masa transisi Republik Indonesia dari RIS ke NKRI. Sejarah tidak bisa menutup fakta, bahwa ia adalah perancang Lambang Negara Garuda Pancasila, kepala DIKB, serta seorang Sultan yang selalu berupaya menjaga martabat Kalimantan Barat dalam bingkai Indonesia, dan perjuangan diplomatik di KMB, 1949 yang tugu RIS 1 Januari 1950 ada di kota Melawi yang kemudian digelari kota Juang. Tentunya Sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan perancang lambang negara Garuda Pancasila, ia tidak hanya berperan dalam ranah simbolik, tetapi juga dalam dimensi politik, sosial, dan pertahanan negara.
Salah satu peran nyata Sultan Hamid II tercatat pada tahun 1950, ketika ia menyambut kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Pontianak pasca pengakuan kedaulatan. Dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah istimewa, Sultan Hamid II menghibahkan tanah kekuasaan wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak untuk keperluan tangsi/barak militer TNI. Tindakan ini merupakan bentuk dukungan strategis kepada pemerintah pusat dalam memperkuat pertahanan negara di daerah perbatasan dan posisi militer saat Kalimantan Barat masih daerah istimewa, 1950 sekaligus menunjukkan komitmen beliau terhadap integrasi nasional, namun demikian, perjalanan politik Sultan Hamid II tidak lepas dari kontroversi. Ia didakwa terkait keterlibatan dalam peristiwa “Westerling” tahun 1950 di Bandung, yang dikenal dengan gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Tuduhan ini membawa Sultan Hamid II ke meja hijau. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukkan adanya kontradiksi dan kontroversi mendasar. Pada saat peristiwa Westerling berlangsung di Bandung, Sultan Hamid II justru sedang berada di Pontianak untuk menyambut Wakil Presiden, perdana menteri RIS Mohammad Hatta yang datang dalam rangka konsolidasi kenegaraan di Kalimantan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa tuduhan primer terhadap dirinya lemah dan secara faktual bertentangan dengan keberadaan Sultan Hamid II pada saat kejadian.
Hasil sidang Mahkamah Agung (MA) tahun 1953 pun mempertegas fakta ini. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa tuduhan primer terhadap Sultan Hamid II tidak terbukti sama sekali. Namun, Sultan Hamid II tetap dijatuhi hukuman dengan alasan keberadaan “kompi Dayak” yang dianggap berhubungan dengan rencana pertahanan federal, serta karena gagasan federalisme yang ia perjuangkan. Ide federalisme ini memang sejak awal menjadi bagian dari pemikiran politik Sultan Hamid II dalam bingkai RIS, meskipun kemudian arah negara Indonesia diputuskan bertransformasi menjadi NKRI.
Dengan demikian, objektivitas sejarah mengajarkan bahwa peran Sultan Hamid II harus ditempatkan secara proporsional: di satu sisi, ia adalah tokoh visioner yang berjasa besar melalui rancangan Garuda Pancasila dan langkah konkret memperkuat TNI dengan tanah hibah Kesultanan; di sisi lain, ia juga menjadi korban politik pada masa transisi penuh gejolak, di mana federalisme dipandang bertentangan dengan cita-cita unitarisme yang sedang diperjuangkan.
Narasi fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Sultan Hamid II bukan sekadar tokoh kontroversial, melainkan figur yang harus dipahami dalam kerangka kompleks sejarah Indonesia: seorang kepala daerah istimewa yang memikirkan integrasi bangsa, seorang perancang simbol negara yang masih kita gunakan hingga kini, sekaligus seorang bangsawan yang dalam proses politiknya menghadapi stigma akibat ketegangan ideologi antara federalisme dan unitarisme, dengan kata lain Sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) tidak bisa dilepaskan dari peran Sultan Hamid II Alqadrie. Ia adalah perancang lambang negara Garuda Pancasila, kepala pemerintahan DIKB (1947–1950), serta tokoh yang berada pada persimpangan antara dinamika politik federalisme dan integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan fakta sejarah yang penuh nuansa politik sudah waktunya diakhiri untuk kemaslahatan bersama walaupun sejarah perjalanan beliau diwarnai kontradiksi: di satu sisi kontribusinya terhadap negara sangat nyata, tetapi di sisi lain ia menghadapi tuduhan berat dalam kasus Peristiwa Westerling (1950) yang akhir tududan primer tidak terbukti keterlibatan dengan Westerling. Fakta-fakta hukum dan politik inilah yang kerap diperdebatkan, terutama, karena putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 1953 yang menyatakan tuduhan primer tidak terbukti, namun tetap menjatuhkan hukuman karena faktor lain, termasuk isu federalisme dan keterkaitan dengan keberadaan Kompi Dayak.
7. Kedatangan TNI dan Transformasi Politik di Kalimantan Barat
Pasca pengakuan kedaulatan 1949, TNI masuk ke Kalimantan Barat untuk melakukan konsolidasi wilayah. DIKB kala itu merupakan salah satu daerah yang memiliki otonomi istimewa. Sultan Hamid II, sebagai kepala daerah, menyambut kedatangan TNI dengan penuh penghormatan, termasuk dalam momen menyambut Wakil Presiden/perdana menteri RIS Mohammad Hatta di Pontianak pada Januari tahun 1950. Fakta ini penting, sebab pada saat yang sama—ketika terjadi Peristiwa Westerling di Bandung—Sultan Hamid II justru berada di Pontianak. Hal ini menimbulkan kontradiksi serius antara tuduhan keterlibatan langsung dengan realitas keberadaan beliau di luar locus delicti.
8. Kompi Dayak dan Tuduhan Hukum
Dalam proses peradilan, salah satu tuduhan yang menjerat Sultan Hamid II adalah keberadaan Kompi Dayak yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan dirinya. Tuduhan ini dijadikan dasar sekunder setelah tuduhan primer mengenai keterlibatan langsung dalam kudeta Westerling gagal dibuktikan. Padahal, keberadaan Kompi Dayak tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik saat itu: upaya militerisasi suku lokal sebagai bagian dari strategi pertahanan masyarakat pedalaman Dayak Kalimantan Barat untuk menjaga adat istiadat dan tanah Tembawang, sebagai hak masyarakat hukum adat Dayak sampai saat ini, yang kemudian bertransformasi ketika integrasi dengan TNI berlangsung. Sultan Hamid II membantah keras tuduhan bahwa dirinya menggerakkan kompi tersebut untuk tujuan makar.
9. Pledoi Sultan Hamid II Tahun 1953
Dalam pledoinya di persidangan Mahkamah Agung (1953), Sultan Hamid II memberikan penjelasan yang sangat tegas mengenai posisinya. Salah satu kutipan yang cukup terkenal adalah:
“Tuduhan bahwa saya hendak menggerakkan pasukan Dayak untuk membantu pemberontakan daerah Kalimantan Barat adalah tuduhan yang tidak benar. Kompi Dayak itu bukanlah bentukan saya, melainkan bagian dari susunan militer yang berada di bawah komando resmi, bukan di bawah perintah saya.”
Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah mengeluarkan perintah untuk tindakan subversif, apalagi makar. Bahkan ia menyebut keberadaan dirinya di Pontianak pada saat Peristiwa Westerling sebagai bukti kunci:
“Bagaimana mungkin saya dikatakan berada di Bandung memimpin gerakan, padahal pada waktu yang sama saya sedang menyambut kedatangan Wakil Presiden Mohammad Hatta di Pontianak.” (catatan max Yusuf AlKadrie sekretaris pribadi Sultan Hamid II, 1966-1978)
10. Putusan Mahkamah Agung 1953
Mahkamah Agung pada tahun 1953 akhirnya menyatakan bahwa tuduhan primer tidak terbukti seluruhnya. Artinya, Sultan Hamid II tidak dapat dibuktikan secara hukum sebagai aktor intelektual kudeta Westerling di Bandung. Namun, karena faktor federalisme yang dianggap berseberangan dengan arah integrasi NKRI, serta keberadaan Kompi Dayak yang masih diperdebatkan statusnya, Sultan Hamid II tetap dijatuhi hukuman. Putusan ini menimbulkan kontroversi hingga kini, karena di satu sisi pengadilan sendiri mengakui tidak ada bukti primer, tetapi di sisi lain tetap menjatuhkan vonis bersalah berdasarkan tuduhan sekunder.
11. Penutup: Warisan Sejarah yang Ambivalen
Dengan demikian, peran Sultan Hamid II sebagai kepala DIKB, perancang lambang negara, dan tokoh bangsawan Kalimantan Barat berada dalam posisi sejarah yang ambivalen: Kontribusinya jelas dalam membangun simbol negara dan mengelola pemerintahan daerah istimewa. Tuduhan hukumnya penuh kontradiksi, karena locus delicti (Bandung) tidak sesuai dengan keberadaan dirinya (Pontianak).
Pledoinya menunjukkan konsistensi, bahwa ia tidak pernah berniat makar. Sejarah ini menuntut kajian obyektif, bukan hanya dari perspektif politik nasional pada 1950-an, tetapi juga dari perspektif hukum tata negara, untuk menempatkan Sultan Hamid II secara adil dalam catatan sejarah bangsa, demikian pula Sejarah Masuknya TNI ke Kalimantan Barat & Kontroversi Kasus Sultan Hamid II. adil katalino bacuramin ka saruga basengat ka JUBATA.
Fakta Sejarah obyektifnya, bahwa masuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Kalimantan Barat tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan militer pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Setelah kedaulatan dipulihkan, pembentukan struktur militer di daerah dilakukan secara bertahap, termasuk ke wilayah Kalimantan Barat.
Pada tahun 1950-an, TNI mengirim pasukan ke Kalimantan Barat, yang pada mulanya dipusatkan di Pontianak untuk menata sistem keamanan pasca transisi dari masa pendudukan Jepang dan Belanda. Kehadiran TNI ini juga berhubungan dengan kebijakan pemerintah pusat untuk menegakkan integrasi nasional serta menekan potensi ancaman politik, baik dari kelompok federalis maupun dari kekuatan lokal, namun, kehadiran TNI di Kalimantan Barat tidak dapat dilepaskan dari polemik sejarah yang menyangkut nama Sultan Hamid II, Sultan Pontianak sekaligus perancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Sultan Hamid II menghadapi tuduhan keterlibatan dalam Peristiwa Westerling (Bandung, Januari 1950) dan pembentukan Kompi Dayak yang dianggap digunakan dalam kepentingan politiknya.
12.Kontroveri si dalam Kasus Sultan Hamid II
Dalam putusan Mahkamah Agung tahun 1953, terbukti adanya kontradiksi hukum dan sejarah. Tuduhan primer terhadap Sultan Hamid II mengenai keterlibatan langsung dalam Peristiwa Westerling tidak terbukti sama sekali. Namun, Sultan Hamid II tetap dijatuhi hukuman karena dianggap bertanggung jawab atas pembentukan Kompi Dayak serta ide-idenya mengenai federalisme yang kala itu dipandang berseberangan dengan konsep negara kesatuan. Padahal, fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika Peristiwa Westerling terjadi di Bandung pada Januari 1950, Sultan Hamid II sedang berada di Pontianak menyambut kedatangan Wakil Presiden/perdana menteri Muhammad Hatta. Fakta ini sendiri sudah menunjukkan adanya perbedaan lokasi dan waktu yang kontradiktif dengan tuduhan keterlibatan langsung.
13.Pledoi Sultan Hamid II di Mahkamah Agung 1953
Dalam pledoinya di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tahun 1953, Sultan Hamid II menyampaikan pembelaan yang mencerminkan posisinya:
“Saya dituduh terlibat dalam peristiwa yang terjadi di Bandung, padahal pada saat itu saya berada di Pontianak menyambut kedatangan Wakil Presiden Republik Indonesia, Dr. Mohammad Hatta. Tidak ada satu buktipun yang menghubungkan saya secara langsung dengan peristiwa tersebut.”
Mengenai Kompi Dayak, Sultan Hamid II menjelaskan bahwa pasukan tersebut bukanlah alat untuk makar, melainkan bagian dari upaya pengamanan dan rekonsiliasi lokal:
“Kompi Dayak yang dibentuk bukanlah untuk melawan Republik, melainkan untuk menjaga keamanan di daerah yang belum sepenuhnya stabil pasca perang. Tuduhan bahwa kompi tersebut untuk tujuan pemberontakan tidaklah benar.”
Pledoi ini menunjukkan bahwa dari perspektif Sultan Hamid II, keberadaan Kompi Dayak adalah murni untuk menjaga keamanan lokal, bukan untuk tujuan politik separatis atau makar. Sejarah mencatat bahwa kehadiran TNI di Kalimantan Barat pada awal 1950-an merupakan bagian dari konsolidasi negara pasca pengakuan kedaulatan. Namun, peran Sultan Hamid II dan pembentukan Kompi Dayak seringkali ditempatkan dalam posisi yang kontradiktif.
Di satu sisi, Mahkamah Agung menolak tuduhan primer keterlibatan Sultan Hamid II dalam Peristiwa Westerling. Di sisi lain, ia tetap dihukum karena faktor politik—yakni pembentukan Kompi Dayak dan ide federalisme. Kutipan pledoi Sultan Hamid II tahun 1953 memperlihatkan bahwa ia menolak tuduhan makar, menegaskan alibinya, dan memberikan penjelasan obyektif tentang keberadaan Kompi Dayak. Fakta ini menjadi bagian penting dalam memahami sejarah hukum dan politik Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.
Butuh bijak dalam membaca kembali sejarah peradilan terhadap Sultan Hamid II, perancang lambang negara Republik Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari konteks politik, hukum, dan militer pada awal 1950-an. Sidang Mahkamah Agung tahun 1953 mencatat sebuah kontradiksi besar: tuduhan primer makar dan pemberontakan terbukti tidak berdasar, namun Sultan Hamid II tetap dijatuhi hukuman karena dianggap memiliki keterkaitan dengan keberadaan kompi Dayak serta ide federalisme, meskipun keberadaan dirinya saat peristiwa utama berlangsung menunjukkan fakta berbeda. Secara hukum tuduhan primer gugur, Sultan Hamid II tetap dihukum, karena keberadaan kompi Dayak yang dianggap berada dalam lingkarannya, serta karena gagasan federalisme yang pada masa itu dipandang bertentangan dengan arus unitarisme negara.
14.. Kontradiksi Lokasi & Fakta Waktu
Tuduhan itu semakin kontradiktif ketika ditinjau dari fakta sejarah: pada saat Peristiwa Westerling di Bandung tahun 1950, Sultan Hamid II sedang berada di Pontianak menyambut Wakil Presiden Muhammad Hatta. Fakta ini menegaskan ketidakhadiran Sultan Hamid II di lokasi kejadian yang dituduhkan. Artinya secara fakta hukum , bahwa keberadaan Tentara Nasional Indonesia dan Kompi Dayak, diartikan dalam koridor sejarah yang obyektif, bahwa Kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proses integrasi pasca pengakuan kedaulatan juga dipertautkan atau dihadap hadapkan dengan keberadaan kompi Dayak. Namun, menurut dokumen pembelaan Sultan Hamid II, ia menolak tuduhan bahwa kompi tersebut dipergunakan untuk makar.
Dalam pledoi resminya di sidang tahun 1953, Di MA Sultan Hamid II menyatakan:
“Saya dituduh memimpin suatu kompi Dayak untuk tujuan makar, padahal yang sesungguhnya adalah bahwa mereka merupakan bagian dari susunan keamanan daerah, bukan tentara bayaran yang saya pergunakan untuk menjatuhkan Republik. Tuduhan ini tidak lain hanyalah upaya untuk mengaitkan nama saya dengan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan.” Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Sultan Hamid II berusaha menegaskan posisi hukumnya: kompi Dayak bukanlah pasukan pemberontak di bawah kendali pribadi, melainkan bagian dari dinamika keamanan daerah di Kalimantan Barat yang kala itu sedang dalam proses transisi menuju integrasi penuh ke dalam TNI.
Penutup
Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung 1953 atas Sultan Hamid II menghadirkan dilema historis dan yuridis: tuduhan utama dinyatakan tidak terbukti, namun vonis tetap dijatuhkan. Kontradiksi ini memperlihatkan betapa kuatnya tarik-menarik politik, ideologi federalisme vs unitarisme, saat itu serta stigma yang melekat kepada Sultan Hamid II. Fakta bahwa ia berada di Pontianak bersama Wakil Presiden Hatta saat peristiwa Westerling di Bandung terjadi seharusnya menjadi pertimbangan utama, tetapi tidak mampu menghapus vonis yang tetap dijatuhkan, namun sumbangsih, secara fakta sejarah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) tidak bisa dilepaskan dari peran Sultan Hamid II Alqadrie. Ia adalah perancang lambang negara Garuda Pancasila, kepala pemerintahan DIKB (1947–1950), serta tokoh yang berada pada persimpangan antara dinamika politik federalisme dan integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam perjuangan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, yang dgn KMB, ( konferensi Meja Bundar) yang diawali perjumpaan Sultan Hamid II di muntok (fhoto terlampir)
Secara runtut dan obyektif berdasarkan pledoi Sultan Hamid II tahun 1953 terkait kedatangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kalimantan Barat: Pledoi Sultan Hamid II dan Kedatangan TNI di Kalimantan Barat, bahwa Dalam sidang Mahkamah Agung tahun 1953, Sultan Hamid II menegaskan bahwa Kompi Dayak yang berada di Kalimantan Barat tidak dibuat untuk tujuan makar, melainkan sebagai bagian dari upaya pengamanan daerah pasca kemerdekaan. Ia menegaskan bahwa pasukan ini dipersiapkan untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah penyerahan kedaulatan, sebagai bentuk dukungan terhadap integrasi nasional.
Sultan Hamid II juga menyoroti kekecewaannya terhadap proses pengiriman TNI ke Kalimantan Barat yang menurutnya dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada kepala daerah setempat. Ia menyatakan bahwa cara pengiriman dan penempatan ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah pusat kurang menghargai otonomi daerah, meskipun secara prinsip ia tidak menolak kehadiran TNI di wilayahnya.
Lebih lanjut, dalam pledoinya Sultan Hamid II menegaskan bahwa tidak ada keberatan terhadap pengiriman dan penempatan TNI, namun yang menjadi perhatian utama adalah cara pelaksanaan yang seharusnya menghormati semangat kerjasama antara pusat dan daerah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Sultan Hamid II memiliki pandangan yang konstruktif: mendukung integrasi TNI ke Kalimantan Barat, namun tetap menekankan perlunya penghormatan terhadap otoritas daerah istimewa.
Pledoi ini mencerminkan posisi Sultan Hamid II sebagai kepala DIKB yang bijaksana: ia menekankan pentingnya integrasi nasional melalui TNI, menghargai keberagaman dan otonomi daerah, dan sekaligus menegaskan bahwa tuduhan keterlibatan dalam makar atau pemberontakan tidak memiliki dasar faktual. Fakta bahwa Sultan Hamid II berada di Pontianak saat peristiwa Westerling terjadi di Bandung menjadi penguat argumen pledoinya.
Secara keseluruhan, pledoi ini menegaskan bahwa Sultan Hamid II berperan sebagai figur penghubung antara pemerintah pusat dan daerah, yang mendukung kehadiran TNI untuk menjaga stabilitas dan keamanan, namun tetap memperjuangkan prinsip penghormatan terhadap otonomi daerah.
Korelasikan dengan permohonan Sultan Syarif Melvin AlKadrie SH DPD RI Senator Kalimantan Barat nggota DPD RI Syarif Melvin, S.H Usulkan Pergantian Nama Bandara Supadio Menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Ketika Sultan Syarif Melvin AlKadrie di gedung DPD RI Jakarta mencatat, 26 Agustus 2025 – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar Rapat Kerja bersama Kementerian Perhubungan untuk membahas Program Kerja Tahun 2025 serta Rencana Kerja Tahun 2026. Rapat berlangsung pada Selasa (26/8) dengan dihadiri Wakil Menteri Perhubungan Komjen Pol (Purn) Suntana, jajaran pejabat Kementerian Perhubungan, serta anggota DPD RI dari berbagai daerah.
Salah satu sorotan utama datang dari Anggota DPD RI asal Kalimantan Barat, Syarif Melvin, yang juga merupakan Sultan Pontianak ke-IX. Dalam rapat tersebut, ia secara resmi mengusulkan pergantian nama Bandar Udara Supadio di Pontianak–Kubu Raya menjadi Bandar Udara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Usulan ini disampaikan bersamaan dengan penyerahan proposal resmi kepada Wakil Menteri Perhubungan di akhir rapat.
Menurut Syarif Melvin, pergantian nama ini sangat penting dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada pendiri Kesultanan Pontianak, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1738–1808). Beliau merupakan tokoh bersejarah yang berjasa besar dalam mendirikan Kota Pontianak pada 23 Oktober 1771. Sultan dikenal sebagai pemimpin religius, adil, dan visioner, yang berhasil menjadikan Pontianak sebagai pusat perdagangan sekaligus penyebaran agama Islam di Kalimantan Barat. Hingga kini, warisan sejarahnya tetap hidup melalui bangunan bersejarah seperti Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dan Istana Kadriah.
“Penggantian nama bandara ini bukan sekadar soal identitas, tetapi juga soal penghormatan terhadap sejarah dan tokoh pendiri kota. Nama Supadio memang memiliki nilai, tetapi tidak terkait langsung dengan sejarah Kalimantan Barat. Oleh karena itu, sudah waktunya bandara kebanggaan masyarakat Kalbar menyandang nama Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie,” jelas Syarif Melvin.
Menurut Syarif Melvin, terdapat enam alasan utama yang melatarbelakangi usulan pergantian nama tersebut, yaitu: menghormati tokoh sejarah dan pendiri Kota Pontianak, memperkuat identitas lokal dan budaya, meningkatkan daya tarik wisata sejarah, menyelaraskan dengan tren nasional penghormatan tokoh sejarah, membangkitkan kebanggaan masyarakat lokal, serta mengoreksi penamaan saat ini yang tidak terkait dengan sejarah Kalimantan Barat. Supadio sendiri adalah nama seorang Letnan Kolonel yang gugur dalam kecelakaan pesawat di Bandung pada 1966 dan tidak memiliki keterkaitan langsung dengan Pontianak.
Bandara Supadio sendiri awalnya bernama Bandar Udara Sungai Durian, kemudian pada 1970-an diganti menjadi Supadio untuk mengenang Letnan Kolonel Supadio, seorang perwira TNI AU yang bertugas di Pangkowilud II Banjarmasin dan meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bandung pada tahun 1966. Meski demikian, nama tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan sejarah atau identitas masyarakat Kalimantan Barat.
Selain isu pergantian nama bandara, Syarif Melvin juga menyoroti persoalan operasional penerbangan di Kalimantan Barat. Ia menyampaikan adanya keluhan dari masyarakat terkait penurunan frekuensi penerbangan rute Pontianak–Ketapang yang sebelumnya dilayani empat kali sehari, namun kini hanya satu kali. Hal ini dinilai merugikan masyarakat dan harus segera mendapat perhatian serius dari Kementerian Perhubungan.
Tak hanya itu, status Bandara Supadio yang telah kembali menjadi bandara internasional juga ditekankan perlu dioptimalkan. Mengingat posisi strategis Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, bandara ini sangat berpotensi melayani rute internasional ke Kuching, Kuala Lumpur, dan Singapura. Beberapa maskapai seperti Lion Air, Citilink, dan Air Asia disebut sudah menunjukkan minat membuka rute internasional tersebut, sehingga Kementerian Perhubungan diminta memberikan dukungan penuh agar konektivitas antar-negara dapat segera terwujud.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Perhubungan Komjen Pol (Purn) Suntana menyatakan bahwa Kementerian Perhubungan menerima masukan yang disampaikan oleh anggota DPD RI asal Kalimantan Barat tersebut. “Proposal usulan yang dibawa Pak Syarif Melvin kami terima. Untuk perubahan nama Bandara Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie akan kami tindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku bersama DPR RI,” ujar Suntana.
Rapat kerja kemudian ditutup dengan penyerahan dokumen usulan resmi dari Syarif Melvin kepada Wakil Menteri Perhubungan. Usulan ini diharapkan menjadi langkah konkret dalam memperkuat identitas sejarah, budaya, dan kebanggaan masyarakat Kalimantan Barat, sekaligus mendukung pengembangan sektor transportasi udara nasional.
Usulan pergantian nama Bandara Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie oleh Sultan Syarif Melvin AlKadrie, SH, Senator DPD RI asal Kalimantan Barat, dimaksudkan, bahwa fakta Sejarah hukum Kalimantan Barat mencatat bagaimana tokoh-tokoh Kesultanan Pontianak memainkan peranan penting dalam transisi dari kolonialisme menuju republik. Pada awal 1950-an, Sultan Hamid II sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berperan aktif menyambut kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Banjarmasin dan menyiapkan fasilitas militer, termasuk barak-barak, untuk menunjang proses integrasi. Dalam pledoi tahun 1953 di Mahkamah Agung, Sultan Hamid II menegaskan bahwa dirinya mendukung kehadiran TNI di Kalimantan Barat, namun mengkritik cara pemerintah pusat yang tidak menghargai otonomi daerah dengan mengirim pasukan tanpa pemberitahuan resmi, atau sebagai daerah istimewa Kalimantan Barat DIKB, (https://rajawaligarudapancasila.blogspot.com /2017/03/konstruksi-hukum-eks-tanah-waris.html)
Pernyataan beliau dalam sidang adalah cermin bahwa meski mendukung konsolidasi negara melalui TNI, ia tetap menuntut adanya penghormatan terhadap identitas dan otoritas lokal. Pandangan ini sangat relevan hingga hari ini, karena memperlihatkan pentingnya sinergi antara pusat dan daerah dalam menjaga kedaulatan sekaligus martabat lokal.
Kini, hampir tujuh dekade setelah pledoi tersebut, warisan pemikiran itu berlanjut dalam bentuk aktualisasi politik dan budaya. Syarif Melvin AlKadrie, Sultan Pontianak IX sekaligus Senator DPD RI, mengajukan usulan agar Bandara Supadio diganti namanya menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Usulan ini bukan sekadar mengganti nama, melainkan menghidupkan kembali semangat penghormatan terhadap tokoh pendiri Pontianak dan Kesultanan Pontianak, yaitu Sultan Syarif Abdurrahman (1738–1808).
Kedua momentum ini—pledoi Sultan Hamid II tahun 1953 dan usulan Syarif Melvin tahun 2025—memiliki benang merah: Adapun benang merahnya , bahwa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, posisi Kalimantan Barat cukup unik. Wilayah ini secara hukum memperoleh status Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), yang dipimpin langsung oleh Sultan Hamid II Sjarif Muhammad Alkadrie. Status ini ditegaskan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949–1950. Namun, ketika RIS dilebur kembali menjadi NKRI, dinamika politik dan militer berubah drastis. Di sinilah muncul gesekan antara otoritas sipil (DIKB di bawah Sultan Hamid II) dengan kehadiran pasukan TNI yang mulai masuk ke Kalimantan Barat.
Dalam pledoi Sultan Hamid II (Sidang Mahkamah Agung, 1953), ia menegaskan bahwa kehadiran TNI di Kalimantan Barat bukanlah sekadar untuk menjaga keamanan, tetapi secara nyata berdampak pada pengurangan kewenangan DIKB sebagai daerah istimewa. Ia menolak anggapan bahwa dirinya menolak Republik, justru ia mengkritik cara yang ditempuh TNI yang dianggap melampaui batas fungsi pertahanan negara.
Salah satu kutipan penting dari pledoi tersebut berbunyi:
“…kedatangan tentara nasional di Kalimantan Barat itu telah menimbulkan kesan bahwa kedaulatan daerah istimewa ini diabaikan, padahal saya sebagai Kepala Daerah Istimewa bertanggung jawab penuh terhadap keamanan rakyat dan pemerintahan sipil. Saya tidak pernah menolak tentara nasional, tetapi saya menolak apabila peran mereka menggantikan kewenangan sipil yang sah.”
— Sultan Hamid II, Pledoi di Sidang Mahkamah Agung, 1953.
Selain itu, Sultan Hamid II juga menyinggung peran Kompi Dayak yang kala itu menjadi bagian dari pertahanan lokal. Dalam pledoinya ia menekankan bahwa hubungan antara Kesultanan dan komunitas Dayak adalah bagian dari tradisi politik lokal yang harmonis, dan semestinya tidak dilemahkan oleh kehadiran militer pusat.
“…Kompi Dayak yang sejak awal berdiri untuk menjaga tanah dan masyarakatnya sendiri, hendaknya tidak dipandang sebagai pasukan yang berlawanan dengan Tentara Nasional. Mereka adalah bagian dari pertahanan lokal yang sah, dibentuk atas dasar persetujuan daerah. Mengabaikan peran mereka sama saja dengan mengabaikan struktur sosial politik Kalimantan Barat.”
— Sultan Hamid II, Pledoi di Sidang Mahkamah Agung, 1953.
Makna Pledoi, Pledoi ini menunjukkan bahwa: 1. Sultan Hamid II menerima kehadiran TNI sebagai bagian dari negara, tetapi menolak intervensi yang menggeser otoritas daerah istimewa. 2. Ia menegaskan pentingnya Kompi Dayak sebagai kekuatan lokal, representasi dari kearifan dan otoritas adat Kalimantan Barat. 3. Sengketa bukanlah soal kedaulatan Indonesia, melainkan ketidakseimbangan relasi sipil-militer dalam konteks negara yang baru lahir. Dengan demikian, pernyataan Sultan Hamid II dalam pledoinya tahun 1953 menjadi bukti historis bahwa ia berupaya mempertahankan integritas DIKB dalam bingkai Republik Indonesia, sembari menegaskan posisi TNI agar tidak mendominasi otoritas sipil dan struktur politik lokal, dengan makna lain, bahwa pentingnya 1. Pengakuan atas peran Kesultanan Pontianak dalam sejarah politik, militer, dan budaya Kalimantan Barat. 2. Penekanan pada pentingnya identitas lokal yang sejalan dengan kepentingan nasional. 3. Kritik konstruktif terhadap pusat agar tidak mengabaikan sejarah dan martabat daerah. 4. Transformasi simbolik: jika pada 1950-an Sultan Hamid II memperjuangkan penghormatan melalui pleidoi di MA, maka pada 2025 Sultan Syarif Melvin memperjuangkannya melalui ranah legislasi dan kebijakan publik.
Dengan demikian, usulan penggantian nama bandara menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie dapat dipandang sebagai kelanjutan dari semangat para Sultan Pontianak terdahulu: menjaga identitas Kalimantan Barat sekaligus memperkuat posisi daerah ini dalam bingkai Republik Indonesia. ( Red )

CATEGORIES
Share This