
Sejarah Perjalanan Udara Sultan Pontianak, Sungai Durian, Supadio dan Usulan Nama Sultan Syarif Abdurrahman
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
BN – Bukti Sejarah Otentik yang tidak bisa di bohongi Sultan Syarif Muhammad Alkadri bertolak dari Pangkalan Terbang Soelthan Abdoel Hamid Alkadri Sungai Durian untuk Liburan Ke Batavia Jakarta bersama Dokter Khusus dengan Pesawat Khusus saat Itu Pesawat IYU KEBAL . Ikut Maharatu Besar, Maharatu Suri, Pangeran Muda, Pangeran Agung, dan Pangeran Adipati pada tanggal 26 Juli 1938 M.
Pada tanggal 20 Oktober 1947 M Sultan Syarif Hamid II Alkadri bersama Ratu Mas Mahkota bertolak dari Lapangan Kapal Terbang Sultan Syarif Abdoel Hamid Alkadri (pada tahun 1947 M namanya sudah di ganti dengan Lapangan Kapal Terbang Sungai Durian, menuju Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memberikan bantuan perjuangan Palestina melawan Israil
1. Perjalanan Tahun 1938
Foto 1: Sultan Syarif Muhammad Alkadri dan rombongan di depan pesawat K.N.I.L.M., 26 Juli 1938.
Keterangan: Pada tanggal 26 Juli 1938 M, Sultan Syarif Muhammad Alkadri bertolak dari Pangkalan Terbang Sultan Abdoel Hamid Alkadri, Sungai Durian menuju Batavia (Jakarta) dengan menggunakan pesawat khusus “IYU Kebal”. Turut serta dalam rombongan adalah Maharatu Besar, Maharatu Suri, Pangeran Muda, Pangeran Agung, dan Pangeran Adipati, serta dokter khusus yang mendampingi Sultan. Dokumentasi ini menunjukkan keterlibatan langsung keluarga Kesultanan Pontianak dalam penggunaan transportasi udara modern pada masa kolonial.
Foto 2: Rombongan keluarga Kesultanan Pontianak berpose di depan pesawat, 1938
Keterangan: Foto memperlihatkan Sultan beserta keluarga berdiri berjajar di depan pesawat sebagai dokumentasi keberangkatan. Peristiwa ini membuktikan keterhubungan Kesultanan Pontianak dengan dunia internasional melalui jalur udara yang pada masa itu masih menjadi simbol kemajuan dan status sosial tinggi. Keterangan: Foto ini mendokumentasikan keberangkatan rombongan keluarga Kesultanan. Momen tersebut menunjukkan bahwa Kesultanan Pontianak termasuk dalam kalangan elite yang telah memanfaatkan moda transportasi udara modern pada masa kolonial
Perjalanan Haji Sultan Syarif Hamid II Alkadri (1947)
Foto 1 – Rombongan Keluarga di Depan Bangunan Bernomor 156, Keterangan: Foto menampilkan Sultan Hamid II bersama keluarga dan kerabat dekat. Tampak beliau berdiri tegak dengan pakaian formal dan peci hitam khas, dikelilingi anggota keluarga berbagai usia. Foto ini diabadikan sebelum keberangkatan haji dari Pontianak menuju Saudi Arabia pada 20 Oktober 1947.
Foto 2 – Potret di Tangga Gedung,Keterangan: Tampak Sultan Hamid II duduk di tangga bersama seorang kerabat pria lainnya, sementara anak-anak keluarga kerajaan berdiri di belakang. Suasana ini memperlihatkan momen kekeluargaan yang hangat menjelang perjalanan suci ke Tanah Haram.
Foto 3 – Potret Keluarga Inti, Keterangan: Foto ini memperlihatkan Sultan Hamid II (berdiri, berpakaian putih), diapit oleh anggota keluarga perempuan yang mengenakan kain sarung tradisional dan anak-anak yang berpakaian rapi. Potret ini menegaskan peran keluarga Kesultanan Kadriah sebagai bagian penting dalam keberangkatan haji.
Makna Historis
1. Religius – Perjalanan ini adalah pelaksanaan ibadah haji Sultan Hamid I dan Ratu Mas Mahkota, simbol kepatuhan seorang raja Muslim kepada syariat Islam.
2. Diplomasi Internasional – Dalam keberangkatan tahun 1947, Sultan Hamid I juga membawa misi kemanusiaan: memberikan bantuan perjuangan Palestina melawan Israel.
3. Identitas Kesultanan – Foto-foto keluarga ini menjadi bukti kuat bahwa Kesultanan Pontianak tidak hanya berperan dalam politik dan budaya, tetapi juga aktif dalam dimensi keagamaan dan solidaritas global.
Dengan adanya rangkaian foto (1938 dan 1947) serta naskah sejarah, kita punya bukti otentik kesinambungan peran Kesultanan Kadriah dari era Sultan Syarif Muhammad Alkadri hingga Sultan Hamid II, baik di bidang transportasi udara, perjalanan internasional, hingga ibadah haji.
1. Keaslian Sejarah, Foto ini merupakan bukti otentik yang tidak dapat dipalsukan tentang keberangkatan Sultan.
2. Kemajuan Transportasi, Perjalanan ini menunjukkan bahwa Sultan dan Kesultanan Pontianak sudah memanfaatkan jalur udara pada masa awal perkembangan penerbangan di Hindia Belanda.
3. Simbol Modernitas, Kehadiran pesawat khusus dan keberangkatan bersama keluarga kerajaan mencerminkan kedudukan Sultan Pontianak sebagai elite modern di Kalimantan Barat pada masa kolonial.Dengan adanya naskah tertulis dan foto ini, maka perjalanan Sultan Syarif Muhammad Alkadri tahun 1938 dapat dikategorikan sebagai bukti sejarah otentik yang meneguhkan peran Kesultanan Kadriah Pontianak dalam perkembangan transportasi dan hubungan diplomasi ke Batavia.
Sejarah Lapangan Terbang Pontianak (Sungai Durian)
1. Lapangan Terbang Durian (1941–1942 M)
Bertahan selama 1 tahun, Setelah Sultan Syarif Muhammad Alkadri wafat, tidak ada pihak yang peduli terhadap perubahan nama lapangan terbang. Keberangkatan Sultan Syarif Hamid I Alkadri menjadi uji coba penerbangan internasional pertama dari Pontianak ke Saudi Arabia pada tahun 1857 M / 1278 H, melalui Lapangan Kapal Terbang Soelthan Syarief Abdoel Hamid Alkadrie Sungai Durian.
Tahun 1941 M, nama lapangan berubah menjadi Lapangan Kapal Tersebut Sungai Durian.
2. Lapangan Kapal Terbang DAI NIVON (1942–1945 M)
Dikuasai Jepang selama 3 tahun.
3. Lapangan Kapal Terbang Sungai Durian (1945–1966 M)
Bertahan selama 21 tahun.
4. Lanud Supadio (1966 M – Sekarang / 2025 M)
Setelah Indonesia merdeka, terjadi kecelakaan pesawat tahun 1966 M yang menewaskan Letnan Kolonel Supadio, Kolonel Nurtania, dan 45 orang lainnya saat uji coba Pesawat Super Aero. Nama Bandara Supadio digunakan untuk menghormati Letnan Kolonel Supadio.
Sejak itu, bandara menjadi bagian dari TNI Angkatan Udara. Tahun 1949 M, digunakan Pesawat IYU Kebal peninggalan Belanda, dan setelah jatuh ke tangan TNI AU menjadi Pesawat Herkulis, buatan pertama Belanda tahun 1853, juga dikenal sebagai Pesawat Perintis 45, Hingga 2025 M, nama Bandara Supadio bertahan selama 59 tahun.
5.Usulan penggantian nama Bandara Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
Usulan penggantian nama Bandara Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie kembali mencuat pada Agustus 2025. Usulan ini disampaikan oleh Syarif Melvin, Anggota DPD RI asal Kalimantan Barat dan Sultan Pontianak ke-IX, dalam rapat dengan Kementerian Perhubungan. Menurutnya, pergantian nama ini merupakan bentuk penghormatan terhadap Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1738–1808), pendiri Kesultanan Pontianak yang juga mendirikan Kota Pontianak pada 23 Oktober 1771 .
Korelasi dengan Sejarah Lapangan Terbang Sungai Durian
Sejarah penerbangan di Pontianak dimulai pada masa Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, yang pada 26 Juli 1938 bertolak dari Pangkalan Terbang Sultan Abdoel Hamid Alkadrie di Sungai Durian menuju Batavia menggunakan pesawat “IYU Kebal”. Keberangkatan ini menunjukkan keterlibatan keluarga Kesultanan Pontianak dalam penggunaan transportasi udara modern pada masa kolonial. Pada 20 Oktober 1947, Sultan Syarif Hamid II Alkadrie bersama Ratu Mas Mahkota bertolak dari Lapangan Kapal Terbang Sultan Syarif Abdoel Hamid Alkadrie (kemudian dikenal sebagai Lapangan Kapal Terbang Sungai Durian) menuju Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memberikan bantuan perjuangan Palestina melawan Israel.
Alasan Penggantian Nama
Penggantian nama Bandara Bisnis dari Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie dianggap penting untuk:
1. Penghormatan terhadap Sejarah: Memberikan penghormatan kepada Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai pendiri Kesultanan Pontianak dan Kota Pontianak.
2. Identitas Budaya: Memperkuat identitas budaya dan sejarah Kalimantan Barat melalui penamaan yang mencerminkan tokoh lokal.
3. Peningkatan Status Internasional: Mengangkat citra bandara sebagai gerbang utama yang mencerminkan sejarah dan budaya lokal, seiring dengan kembalinya status internasional bandara tersebut .
Langkah Selanjutnya, Usulan ini telah disampaikan kepada Kementerian Perhubungan, dan saat ini masih dalam proses evaluasi. Jika disetujui, perubahan nama ini akan menjadi simbol penghormatan terhadap sejarah dan budaya Kalimantan Barat, serta meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap identitas lokal.
Dengan demikian, penggantian nama Bandara Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie tidak hanya sebagai perubahan administratif, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam memperkuat identitas dan sejarah Kalimantan Barat di tingkat nasional dan internasional, dari sejarah terkorelasi, sebab Sultan Syarif Hamid I Alkadri juga merupakan cicit Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri, sebenarnya masih ada dokumen naskah poto selain fhoto diatas, akan tetap sudah cukup mewakili semua kriteria.
Masukan yang elegan, bahwa kebijakan strategis dan pilihan yang elegan, berkaitan nama pangkalan militer Udaranya, menurut Tengku tetap Supadio, tetapi lapangan terbang bisnis Internasional adalah berganti nama Sultan Abdulrahman AlKadrie, ini kebijakan yang smart, agar elegan, dengan maksud untuk mampu menyeimbangkan dua kepentingan yang berbeda, dengan kata lain , maksud berikut ini.
1. Fungsi dan Identitas Ganda, Pangkalan Militer: Tetap menggunakan nama Supadio, menghormati Letnan Kolonel Supadio dan sejarah militer TNI AU. Ini menjaga kontinuitas identitas militer dan penghormatan terhadap pahlawan nasional. Sedangkan Bandara Bisnis Internasional / Sipil: Menggunakan nama Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, mengangkat sejarah Kesultanan Pontianak, pendiri Kota Pontianak, sekaligus memperkuat citra budaya dan diplomasi ekonomi.
2. Keunggulan Strategis, Sejarah & Budaya: Masyarakat lokal melihat penghormatan kepada Sultan pendiri Kesultanan Pontianak, yang menghidupkan nilai sejarah dan identitas budaya. Kebanggaan Nasional & Internasional: Bandara internasional akan menjadi gerbang yang mengkomunikasikan identitas lokal ke dunia, sekaligus tetap mengakui kontribusi nasional melalui nama Supadio untuk militer. Fleksibilitas Administratif: Tidak ada konflik penggunaan nama; militer dan sipil punya brand masing-masing sesuai fungsi dan audiens.
3. Elegansi dalam Diplomasi & Branding, Dalam konteks diplomasi internasional, penamaan bandara sipil dengan nama Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie memberikan nilai sejarah, budaya, dan prestige, sementara nama Supadio tetap memberi penghormatan resmi terhadap sejarah penerbangan militer Indonesia. Strategi ini meminimalkan kontroversi, karena setiap pihak (TNI AU vs Pemerintah Daerah/Kesultanan) tetap dihormati, Secara ringkas, dual naming ini merupakan contoh kebijakan elegan, historis, dan strategis, menjaga kontinuitas militer sekaligus meningkatkan citra budaya dan bisnis internasional, semoga bermanfaat.