Enam Tahapan Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian

Jakarta, berantasnews.com. Irwasum Polri Komjen Pol Dwi Priyatno mengatakan, penggunaan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalamTindakan Kepolisian (Perkap No 1/2009). Pasal 5 ayat (1) Perkap No 1/2009 ini menyebutkan enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yang terdiri dari :

TAHAP 1 : kekuatan yang memiliki dampak pencegahan

Mudahnya begini. Saat polisi berdiri menggunakan seragam, dia sudah menggunakan kekuatan tahap 1. Percaya tidak Bayangkan misalnya ada polisi di perempatan jalan, pasti mencegah niat orang untuk melanggarmenjabret, bukan?

TAHAP 2: perintah lisan

Oke. Lanjut. Kalau misalnya keberadaan polisi saja tidak membuat pelaku takut, maka polisi akan berteriak, “BERHENTI!!!” Saat polisi mengeluarkan suara, maka itulah kekuatan Polri tahap ke-2.

TAHAP 3 : kendali tangan kosong lunak

Misalnya orang tersebut tidak mau berhenti, dan terus mendekati petugas, petugas akan mencoba menahan dengan tangan. Saat tangan petugas bersentuhan dengan tubuh tersangka, itu adalah tahap ke-3.

TAHAP 4 : kendali tangan kosong keras

Tersangka ini tetap melawan, membuat petugas menggunakan gerakan bela diri untuk menghentikan tersangka. Ini adalah tahap ke-4.

TAHAP 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri

Jika sudah dibanting, diputer-puter, dan sebagainya tetap saja melawan, maka petugas dapat menggunakan senjata tumpul atau senjata kimia. Misalnya tongkat T, double stick, tongkat rotan, tameng dalmas, atau gas air mata. Ini adalah tahap ke-5.

TAHAP 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat

Nah, tahap terakhir barulah seorang petugas menggunakan senjata api.

Pengertian “TAHAP” di sini bukan berarti sesuatu yang harus berurutan. Sebab Pasal 5 ayat (2) Perkap No 1/2009 berbunyi:

“Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka…”

Kata kuncinya adalah MEMILIH. Jadi misalnya seperti saya alami sendiri. Saat saya turun bersama pasukan mendatangi TKP perang kampung, dimana masyarakat lengkap membawa parang, panah, sampai dumdum (senjata api tradisional dengan menggunakan prinsip meriam, diawali dengan bubuk mesiu, dan diisi dengan pecahan beling, sekrup, dsb. Korban dumdum ini sering mengenai petugas dan masyarakat yang menyebabkan luka, kebutaan, hingga kematian), maka perintah saya jelas kepada anggota, “Bidik dan langsung tembak TSK yang membawa peralatan yang membahayakan petugas maupun masyarakat sekitar!!!”

Saya langsung MEMILIH tahap 6, sebab jika kita gunakan tahap yang lain, anggota saya dan masyarakat sekitar akan terancam nyawanya dengan senjata-senjata warga dari desa seberang.

Jadi begitu, Misalnya ada geng motor yang membawa parang atau senjata api, maka polisi melogikakan, parang ditambah kecepatan motor dapat membunuh warga/petugas, maka penggunaan senjata api/ tahap 6 bisa langsung digunakan. Sekedar ilustrasi, bayangkan simulasinya seperti Robocop sedang mempertimbangkan tersangka yang dilihat apakah berbahaya atau tidak.

Namun, sejak berkembangnya isu tentang HAM di Indonesia, hingga orang yang tidak mengerti pun latah bicara tentang HAM, maka tindakan-tindakan kepolisian ini sangat empuk untuk dijadikan sasaran para politisi.

Polisi sudah bertindak benar, disalahkan secara politis untuk menarik hati massa, bahkan Kapolri disuruh minta maaf dengan alasan melanggar HAM. Masyarakat yang tidak tahu menahu juga ikut-ikutan menyalahkan polisi. Hal ini yang membuat tidak sedikit petugas ragu-ragu dalam menggunakan tahap-tahap kekuatan yang dimilikinya saat berada di lapangan. ( Sri )

CATEGORIES
TAGS
Share This