“Analisis Komprehensif Kekerasan Seksual di Indonesia: Perspektif Hukum atas Tulisan Andy Yentriyani dan Tantangan Implementasi UU TPKS”

“Analisis Komprehensif Kekerasan Seksual di Indonesia: Perspektif Hukum atas Tulisan Andy Yentriyani dan Tantangan Implementasi UU TPKS”

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

Menarik dari hal yang dinarasikan dari tulisan ini Andy Yentriyani, pada paparan yang disampaikan bertepatan dengan Dirgahayu RI ke-80, dan konteks selamat Hari Konstitusi. Adalah menarik yang dipaparkan oleh Andy Yentriyani (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Pada Periode Tahun 2020-2025), ketika kita analisis dari perspektif ilmu hukum dengan analisis kategorisasi hukum, analisis klarifikasi hukum, analisis verifikasi hukum, analisis validasi hukum, falsifikasi hukum dari bahan diatas sertakan peraturan perundang-undangannya
Alasan menarik untuk dianalisis, bahwa analisis Komprehensif”: Menekankan kedalaman dan kelengkapan kajian, karena “Kekerasan Seksual di Indonesia”: Menarik perhatian pembaca dengan isu yang relevan. Kemudian dari Perspektif Hukum atas tulisan Andy Yentriyani”: Menunjukkan basis kajian pada analisis hukum yang terstruktur, serta menjadi “tantangan Implementasi UU TPKS”, Tentunya menambahkan dimensi praktis dan menyoroti masalah yang dihadapi dalam penegakan hukum terkait kekerasan seksual. Bagi saya judul ini mencakup isu utama, tokoh yang relevan, pendekatan analisis hukum, dan tantangan implementasi, menjadikannya representasi yang kuat dan akurat dari isi tulisan yang disampaikan.
Narasikan yang dipaparkan Andi Yrntriyani, bahwa dalam situasi ini, korban juga akan cenderung membungkam, menghindari pelaku jika dimungkinkan, atau menceritakan ke orang-orang terdekat yang dapat ia yakini. Ada juga yang melapor, tetapi terutama ini jika korban berdaya, memiliki pengetahuan cukup mengenai ke mana laporan harus dilakukan dan mempunyai dukungan dan akses untuk melakukannya.   Jika normalisasi pelecehan seksual terjadi di dalam organisasi maka ia akan menjadi lingkungan yang tidak sehat. Ada anggota yang terus merasa tak nyaman dan was-was,  menarik diri karena takut berjumpa dengan pelaku, atau menjadi rumor berkepanjangan.   Mengingat situasi ini dapat terjadi di mana saja, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengajak warga Kalbar untuk lebih waspada untuk memastikan peristiwa serupa ini tidak terjadi. Jika pun sudah terjadi, maka perlu kita pastikan tidak berulang kembali.   Kita bisa lakukan dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan mengedukasi diri untuk dapat turut mengenali, mencegah dan menangani diskriminasi dan kekerasan seksual.   Di semua lembaga,  kita perlu merumuskan kode etik dan mekanisme organisasi yang memungkinkan organisasi kita tumbuh menjadi lingkungan yang nyaman, yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual. Di lembaga pendidikan dan tempat kerja, ada aturan menteri yang mewajibkan pengembangan mekanisme pencegahan dan penanganan diskriminasi dan kekerasan, sebagai turunan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
UU ini juga mengatur sejumlah kewajiban untuk dipenuhi oleh pemerintah daerah di  tingkat provinsi dan kota/kabupaten guna memutus impunitas, memulihkan korban dan mencegah tindakan kembali berulang. Warga Kalbar dapat turut mendorong pemenuhan kewajiban ini, bahkan dimulai sejak tingkat desa.   Lingkungan yang nyaman dan aman, bebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual, adalah mimpi kemerdekaan dan janji konstitusi yang dapat kita bersama wujudkan. Dirgahayu RI ke-80, selamat Hari Konstitusi Penulis : Andy Yentriyani (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Pada Periode Tahun 2020-2025). Analisis kategorisasi hukum, analisis klarifikasi hukum, analisis verifikasi hukum, analisis validasi hukum, falsifikasi hukum dari bahan diatas sertakan peraturan perundang-undangannya
Point penting dari paparan diatas secara perspektif ilmu hukum, Tentu, berikut adalah analisis hukum dari tulisan Andy Yentriyani mengenai kekerasan seksual, dengan menggunakan pendekatan kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum, serta dasar peraturan perundang-undangan yang relevan:
Analisis Hukum terhadap Pernyataan Andy Yentriyani tentang Kekerasan Seksual, Tulisan Andy Yentriyani menyoroti masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terkait dengan keengganan korban untuk melapor dan pentingnya lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Analisis hukum berikut akan menjabarkan lebih lanjut mengenai hal ini.
1. Analisis Kategorisasi Hukum, bahwa Isu hukum dalam teks ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, yaitu kekerasan seksual. Bidang hukum yang terkait meliputi: Hukum Pidana: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) .Hukum Administrasi Negara: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam melindungi masyarakat .Hukum HAM dan Konstitusi: UUD 1945 Pasal 28G dan 28I tentang hak atas rasa aman dan perlindungan HAM.Peraturan Turunan: Permendikbudristek No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi .
2. Analisis Klarifikasi Hukum, bahwa UU TPKS mengamanatkan negara untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual, menyediakan penanganan dan pemulihan bagi korban, serta memutus impunitas pelaku. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri dan rasa aman. Permendikbudristek 30/2021 mewajibkan kampus untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Pesan Andy Yentriyani selaras dengan mandat hukum ini, menekankan bahwa negara dan lembaga wajib aktif menciptakan lingkungan yang aman .
3. Analisis Verifikasi Hukum, bahwa terdapat kesenjangan antara norma hukum dan realitas sosial. Faktanya, korban seringkali memilih untuk bungkam, dan organisasi sering gagal mencegah terjadinya pelecehan seksual. Pasal 5 UU TPKS menyatakan bahwa korban berhak atas perlindungan, kerahasiaan identitas, dan pemulihan. Pasal 67 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menyatakan bahwa daerah wajib melindungi masyarakat. Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 memperkuat perlindungan terhadap korban pelecehan seksual .
4. Analisis Validasi Hukum, bahwa UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS adalah sah, karena merupakan produk dari DPR dan Presiden sebagai implementasi UUD 1945 Pasal 28I ayat (4), yang menyatakan bahwa perlindungan HAM adalah tanggung jawab negara. Permendikbudristek No. 30/2021 juga sah sebagai turunan dari UU Sisdiknas dan UU TPKS. Secara formil dan materil, perangkat hukum yang ada sudah sah sebagai peraturan perundang-undangan .
5. Analisis Falsifikasi Hukum, bahwa Implementasi UU TPKS masih lemah di berbagai daerah, dengan belum semua daerah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) layanan bagi korban. Stigma terhadap korban masih ada dalam budaya hukum masyarakat. Permendikbudristek No. 30/2021 juga mendapat resistensi dan dianggap multitafsir dalam beberapa aspek. Meskipun norma hukum sah, efektivitasnya masih rendah karena faktor implementasi dan resistensi budaya .
Secara substansi, bahwa tulisan Andy Yentriyani dapat dianalisis dengan lima pendekatan hukum: 1. Kategorisasi: Masuk ranah hukum pidana khusus & HAM (UU TPKS, UU Pemda, UUD 1945). 2. Klarifikasi: UU TPKS menekankan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. 3. Verifikasi: Fakta bahwa korban sering bungkam bertentangan dengan norma perlindungan dalam UU TPKS. 4. Validasi: Norma hukum sah dan konstitusional. 5. Falsifikasi: Implementasi belum efektif, memerlukan penguatan kelembagaan dan perubahan budaya hukum .
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum yang kuat untuk menangani kekerasan seksual, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.
Berdasarkan narasikan kembali isi tulisan Andy Yentriyani dan sekaligus memberikan analisis hukum (kategori, klarifikasi, verifikasi, validasi, falsifikasi) beserta dasar peraturan perundang-undangan yang relevan, berikut ini, bahwa dalam kenyataan sosial, korban pelecehan seksual sering kali memilih diam, menghindari pelaku, atau hanya menceritakan peristiwa yang dialami kepada orang-orang terdekat yang mereka percayai. Hanya sebagian kecil korban yang berani melapor, biasanya karena memiliki daya, pengetahuan tentang mekanisme pelaporan, serta dukungan dan akses yang memadai.
Apabila pelecehan seksual menjadi hal yang dinormalisasi dalam suatu organisasi, maka organisasi itu berubah menjadi lingkungan yang tidak sehat. Para anggotanya akan merasa tidak nyaman, selalu was-was, menarik diri karena takut bertemu dengan pelaku, atau hidup dalam bayang-bayang rumor yang berkepanjangan. Karena peristiwa ini bisa terjadi di mana saja, penting bagi warga Kalimantan Barat untuk lebih waspada, agar kejadian serupa dapat dicegah. Jika pun sudah terjadi, maka harus ada upaya sungguh-sungguh untuk memastikan hal itu tidak terulang kembali.
Upaya tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui edukasi: mengenali, mencegah, dan menangani diskriminasi maupun kekerasan seksual. Di semua lembaga, baik pendidikan maupun tempat kerja, perlu ada kode etik dan mekanisme organisasi yang memastikan lingkungan tumbuh sehat, bebas diskriminasi, dan bebas kekerasan seksual.
Regulasi sudah mengatur hal itu. Aturan menteri telah mewajibkan pengembangan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sebagai turunan dari UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU ini juga memberikan kewajiban kepada pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk memastikan impunitas tidak terjadi, korban mendapatkan pemulihan, serta mencegah agar kejadian serupa tidak berulang. Dengan demikian, membangun lingkungan yang aman dan nyaman, bebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual, merupakan bagian dari mimpi kemerdekaan dan janji konstitusi yang harus diwujudkan bersama.
Secara perspektif hukum dapat dilakukan analisis Hukumnya lebih detail, bahwa berdasarkan 1. Analisis Kategorisasi Hukum, yaitu dengan mengklasifikasikan isu hukum dalam teks. Kategori: Tindak pidana khusus → Kekerasan Seksual dan bidang hukum terkait: Hukum Pidana (UU No. 12/2022 tentang TPKS). Hukum Administrasi Negara (UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah → kewajiban daerah).Hukum HAM dan Konstitusi (UUD 1945 Pasal 28G dan 28I tentang hak atas rasa aman & perlindungan HAM) serta Peraturan turunan: Permendikbudristek No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
2. Analisis Klarifikasi Hukum, menafsirkan maksud dari norma hukum, UU TPKS mewajibkan negara untuk:1. Melakukan pencegahan.,2. Menyediakan penanganan korban.,3. Menjamin pemulihan korban.,4. Memutus rantai impunitas pelaku. Dalam subtansi UUD negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28G ayat (1): setiap orang berhak atas perlindungan diri dan rasa aman.Permendikbudristek 30/2021: kampus wajib membuat Satgas Pencegahan & Penanganan Kekerasan Seksual. Klarifikasi: pesan Andy Yentriyani selaras dengan mandat hukum, yakni negara dan lembaga wajib aktif menciptakan lingkungan aman.
3. Analisis Verifikasi Hukum
Membandingkan fakta dengan norma hukum, bahwa Fakta: korban sering bungkam, organisasi gagal mencegah pelecehan. Norma: Pasal 5 UU TPKS, korban berhak atas perlindungan, kerahasiaan identitas, dan pemulihan. Pasal 67 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan daerah wajib melindungi masyarakat. Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016: memperkuat perlindungan korban pelecehan seksual. secara analisia verifikasi hukum, bahwa realitas sosial masih jauh dari amanat hukum, sehingga ada gap antara norma dan praktik.
4. Analisis Validasi Hukum, yaitu Mengukur kesahihan norma yang dipakai. UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS tentunya sah, produk DPR & Presiden sebagai implementasi UUD 1945 Pasal 28I ayat (4): perlindungan HAM adalah tanggung jawab negara, secara kontekstual Permendikbudristek No. 30/2021 juga sah sebagai turunan UU Sisdiknas & UU TPKS. Validasinya, bahwa perangkat hukum yang ada sudah sah secara formil & materil sebagai peraturan perundang-undangan.
5. Analisis Falsifikasi Hukum, yaitu mengidentifikasi kelemahan norma hukum. Implementasi UU TPKS masih lemah di daerah belum semua punya SOP layanan korban. Kemudian budaya hukum masyarakat masih ada stigma terhadap korban.
Permendikbudristek No. 30/2021 pada sisi subtansi mendapat resistensi, dianggap multitafsir. secara analisis falsifikasi hukum meski norma hukum sah, efektivitasnya rendah karena faktor implementasi & resistensi budaya.
Berdasarkan paparan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Tulisan Andy Yentriyani dapat dianalisis hukum dengan lima pendekatan: 1. Kategorisasi: masuk ranah hukum pidana khusus & HAM dan UU TPKS, UU Pemda, UUD 1945. 2. Klarifikasi: UU TPKS menekankan pencegahan, penanganan, pemulihan korban. 3. Verifikasi: fakta korban bungkam bertentangan dengan norma perlindungan dalam UU TPKS .4. Validasi: norma hukum sah & konstitusional.5. Falsifikasi: implementasi belum efektif → perlu penguatan kelembagaan & perubahan budaya hukum. ( Red )

CATEGORIES
Share This