Hari TNI, Refleksi Nasionalisme dan Jejak Sultan Hamid II

Hari TNI, Refleksi Nasionalisme dan Jejak Sultan Hamid II

Hari TNI, Refleksi Nasionalisme dan Jejak Sultan Hamid II

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

Tanggal 5 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Momentum ini selalu menjadi pengingat perjalanan panjang bangsa dalam mempertahankan kedaulatan dan persatuan. Namun, di tengah euforia mengenang heroisme tentara, ada satu sosok yang kerap terabaikan dalam narasi sejarah: Sultan Hamid II, putra Pontianak yang jejaknya justru menorehkan sejarah penting dalam dunia kemiliteran dan kenegaraan Indonesia.
Dengan kata lain setiap Tanggal 5 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebuah momentum untuk mengingat jasa para pejuang bangsa yang mengorbankan tenaga, pikiran, bahkan nyawa demi tegaknya kedaulatan negara.
Sultan Hamid II adalah anak bangsa pertama yang berhasil menempuh pendidikan militer tinggi di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda. Ia menguasai strategi, kepemimpinan, dan manajemen militer modern pada masanya. Kedudukan dan pangkatnya dalam ketentaraan menunjukkan bahwa beliau bukan sekadar bangsawan, tetapi juga seorang perwira dengan reputasi internasional. Dalam konteks sejarah militer dan simbol kenegaraan, memang sering terlupakan bahwa Sultan Hamid II (Sultan Hamid Alkadrie, Sultan Pontianak VII) adalah anak bangsa pertama yang meraih pangkat tinggi dalam kemiliteran dengan pendidikan resmi di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda. Artinya, beliau bukan hanya bangsawan daerah, tetapi juga kader militer modern yang diakui secara internasional.
Namun, pertanyaan sering muncul: apakah beliau nasionalis?
Jawabannya jelas: ya. Nasionalisme Sultan Hamid II tidak semata ia wujudkan di medan pertempuran, tetapi melalui karya abadi yang kini menjadi identitas seluruh rakyat Indonesia: Lambang Negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila.
Tentu, berikut adalah fakta-fakta tentang Sultan Hamid II yang telah divalidasi:
1. Nama dan Gelar: Sultan Hamid II, juga dikenal sebagai Syarif Abdul Hamid Alkadrie, adalah Sultan Pontianak ke-7 (1945-1978) Kelahiran dan Penobatan: Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Ia diangkat menjadi Sultan Pontianak pada 29 Oktober 1945, menggantikan ayahnya, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, yang dibunuh oleh Jepang dan meninggal di Jakarta pada 30 Maret 1978. Ia dimakamkan di kompleks makam Sultan Pontianak di Batu Layang, Kalimantan Barat
2. Keluarga: Ayahnya adalah Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Pontianak ke-6, dan ibunya bernama Sye Cha Jamilah Syar Wani.
3. Pendidikan Militer: Sultan Hamid II menempuh pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda. Pangkat terakhirnya adalah mayor jenderal
4. Ajudan Ratu Wilhelmina: Ia pernah menjadi ajudan istimewa Ratu Wilhelmina Belanda, sebuah jabatan tertinggi di dunia militer Belanda, sebelum Kalimantan Barat bergabung ke Negara Republik Indonesia, negara Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB yang merupakan federasi kerajaan di Borneo Barat.
5. Perumus Lambang Negara: Sultan Hamid II adalah perumus lambang negara Garuda Pancasila. Ia ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara.
6. Menteri Negara RIS: Pada 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat oleh Soekarno ke kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS), meskipun tanpa portofolio.
7. Konferensi Meja Bundar (KMB): Sultan Hamid II menjadi delegasi dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Peran dalam Konferensi Meja Bundar (KMB): Sultan Hamid II adalah salah satu peserta Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, mewakili Borneo Barat
8. Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat: Saat menjadi kepala daerah istimewa Kalimantan Barat, Sultan Hamid II menyediakan makam massal untuk mengenang para korban penjajahan Jepang di Makam Juang Mandor pada 2 Maret 1947[__LINK_ICON].
9. Pendiri Maskapai Penerbangan: Ia adalah salah satu pendiri maskapai penerbangan Indonesian Air Transport.
10. Penetapan Lambang Negara: Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan elang rajawali – Garuda Pancasila sebagai lambang negara pada 11 Februari 1950
11. Pengakuan sebagai Cagar Budaya: Gambar rancangan asli lambang negara Indonesia ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional melalui surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 204/M/2016 pada 26 Agustus 2016.
Data data diatas adalah arsip sejarah tentang Sultan Hamid II meliputi: Rancangan Lambang Negara Garuda Pancasila: Arsip rancangan lambang negara yang diserahkan Sultan Hamid II kepada Mas Agung, ketua Yayasan Idayu Jakarta, pada 18 Juli 1974. Rancangan asli lambang negara ini kemudian ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 204/M/2016 pada 26 Agustus 2016.
Catatan Perjalanan Perancangan Lambang Negara: Catatan-catatan perjalanan perancangan lambang negara tersimpan rapi di Istana Kadriah, Pontianak, Kalimantan Barat. Tercatat juga dokumen Jabatan di Kabinet RIS: Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Arsip Nasional Belanda: Nationaal Archief menyimpan arsip terkait Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin.
Penting untuk dicatat bahwa beberapa sumber mungkin lebih valid daripada yang lain, terutama yang berasal dari lembaga arsip resmi atau publikasi ilmiah.
Sejarah mencatat, rancangan lambang negara itu lahir dari tangan dan ide Sultan Hamid II, kemudian diproses dan disahkan melalui perdebatan panjang di Konstituante. Mohammad Hatta, dalam bukunya Bung Hatta Menjawab (1978, hlm. 108 & 112), menegaskan bahwa rancangan lambang negara adalah karya Sultan Hamid II. Fakta ini adalah warisan penting yang seharusnya tidak boleh dipinggirkan. Ini adalah faktanya, nasionalisme Sultan Hamid II justru terwujud dalam karya monumental beliau, yakni rancangan Lambang Negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila. Desain itu bukan sekadar gambar, tetapi mengandung nilai filosofi yang sangat dalam tentang persatuan bangsa. Bahkan, Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab (1978, hlm. 108 & 112) menegaskan bahwa lambang negara RI adalah hasil rancangan Sultan Hamid II.
Sayangnya, perjalanan sejarah bangsa sering melupakan jasanya. Nama Sultan Hamid II lebih sering dikaitkan dengan kontroversi politik ketimbang kontribusi fundamentalnya terhadap republik. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya sendiri. Namun ironisnya, kontribusi besar ini kerap terlupakan dalam narasi resmi sejarah. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri. Melupakan jasa Sultan Hamid II sama dengan mengaburkan salah satu fondasi identitas nasional.
Momentum Hari TNI 5 Oktober seharusnya bukan hanya mengingat heroisme militer, tetapi juga menimbang ulang kontribusi intelektual dan simbolik dalam membangun negara. Sultan Hamid II adalah bukti nyata bahwa nasionalisme bisa hadir melalui jalur berbeda: dengan pena, dengan karya, dengan simbol pemersatu.
Kini, di tengah tantangan global dan ancaman perpecahan identitas bangsa, semangat Sultan Hamid II patut direnungkan kembali: nasionalisme bukan soal menguasai, tetapi soal merancang sesuatu yang menyatukan.
Jadi, Hari TNI 5 Oktober seharusnya juga bisa menjadi ruang refleksi untuk: Mengingat Sultan Hamid II sebagai putra bangsa berpendidikan militer yang ikut meletakkan dasar simbol kenegaraan. Menyadarkan generasi muda bahwa nasionalisme bukan hanya melalui senjata, tetapi juga melalui karya pemikiran dan simbol persatuan.
Sultan Hamid II adalah Sultan ketujuh Kesultanan Kadriah Pontianak. Ia dikenal sebagai tokoh bangsa yang berjasa bagi Indonesia, terutama sebagai perumus lambang negara Garuda Pancasila. Kontroversi dan Pengakuan kehidupannya, meskipun berjasa dalam merumuskan lambang negara, Sultan Hamid II juga dikenal karena pandangan politiknya yang mendukung sistem federal pada masa kemerdekaan Indonesia. Ia sempat dituduh terlibat dalam upaya kudeta terhadap pemerintahan Soekarno, meskipun tuduhan ini kontroversial.Sidang Sultan Hamid II membuktikan bahwa tuduhan primer terhadapnya tidak terbukti, sehingga ia dibebaskan. Mahkamah Agung pada tahun 1953 memutuskan bahwa tuduhan keterlibatan Sultan Hamid II dalam peristiwa Westerling tidak terbukti, Terlepas dari kontroversi tersebut, kontribusinya dalam merancang lambang negara tetap diakui dan dihargai.
Sultan Hamid II, yang dikenal sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila, mewariskan semangat nasionalisme yang mendalam melalui karyanya. Beliau mengingatkan bahwa nasionalisme bukan hanya tentang kekuatan militer, tetapi juga tentang menciptakan sesuatu yang dapat mempersatukan bangsa, yaitu Semangat Persatuan dalam Lambang Negara, Sultan Hamid II menekankan bahwa lambang negara Garuda Pancasila bukan sekadar gambar, melainkan sebuah karya monumental yang mengandung nilai filosofi mendalam tentang persatuan bangsa. Desain tersebut diharapkan dapat menjadi identitas seluruh rakyat Indonesia. Nasionalisme Melalui Karya dan Simbol, terpesankan wasiat Sultan Hamid II adalah agar generasi muda menyadari bahwa nasionalisme dapat diwujudkan melalui berbagai cara, termasuk melalui karya pemikiran dan simbol persatuan. Beliau mengajak untuk menimbang ulang kontribusi intelektual dan simbolik dalam membangun negara. Relevansi di Tengah Tantangan Global, bahwa di tengah tantangan global dan ancaman perpecahan identitas bangsa, semangat Sultan Hamid II relevan untuk direnungkan kembali. Nasionalisme bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang merancang sesuatu yang menyatukan, Mengenang Jasa dan Kontribusi, bahwa Sultan Hamid II adalah sosok yang berpendidikan militer dan turut meletakkan dasar simbol kenegaraan. Karyanya dalam merancang lambang negara Garuda Pancasila adalah warisan penting yang tidak boleh dilupakan.
Nilai-nilai religiositas dalam lambang negara Garuda Pancasila, yang dirancang oleh Sultan Hamid II, terutama tercermin dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.Representasi Nilai Religiositas dalam Lambang Negara, Lambang Nur cahaya berbentuk Bintang bersudut lima : Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, dilambangkan dengan bintang berwarna emas berlatar hitam. Bintang ini dianggap sebagai sebuah cahaya, melambangkan cahaya kerohanian yang dipancarkan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Latar belakang hitam pada bintang melambangkan warna alam yang asli, yang memiliki Tuhan sebagai sumber dari segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada. Makna Universal: Bintang berujung lima ini merupakan simbol yang umum di antara berbagai agama yang diakui di Indonesia, seperti Islam, Protestan, Hindu, Katolik, Buddha, dan Konghucu, serta beberapa aliran kepercayaan. Sila ini bertujuan untuk menyatukan populasi Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan dan keyakinan. Pancasila sebagai Dasar Negara: Garuda Pancasila, sebagai lambang negara, secara keseluruhan menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan besar, dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar ideologinya.
Berdasarkan paparan dan catatan sejarah diatas kita mengambil inspirasi dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang beliau pegang, serta meneladani Sultan Hamid II dari Kesultanan Kadriah Pontianak sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila. Berikut adalah beberapa contoh pesan yang relevan dengan kondisi saat ini:
Pesan Relevan dari Sultan Hamid II, Nasionalisme dan Persatuan: Sultan Hamid II, melalui karyanya dalam merancang lambang negara Garuda Pancasila, menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Pesan ini sangat relevan saat ini, di mana Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti polarisasi politik, intoleransi, dan gerakan separatis. Pentingnya Simbol: Lambang negara Garuda Pancasila bukan hanya sekadar gambar, tetapi juga simbol yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa. Pesan ini mengingatkan kita untuk menghargai dan memahami makna dari simbol-simbol negara, serta menjunjung tinggi identitas nasional.
Menghargai Jasa Pahlawan: Sultan Hamid II adalah sosok yang berjasa dalam merancang lambang negara, namun sempat dituduh melakukan makar. Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan jasa para pahlawan, serta bersikap adil dan objektif dalam menilai sejarah. Pendidikan dan Kemajuan: Sultan Hamid II dari Kesultanan Kadriyah Pontianak mendorong pendidikan dan industrialisasi untuk memajukan negaranya. Pesan ini relevan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan dan mendorong kemajuan di berbagai bidang di Indonesia.Kepemimpinan yang Bijaksana: Sultan Hamid II menghadapi berbagai tantangan dan berusaha mengambil keputusan yang terbaik untuk negaranya. Pesan ini relevan bagi para pemimpin untuk selalu bertindak bijaksana dan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara. Beliau wafat dalam keadaan bersujud dihadapan Allah SWT, Cinta pada Agama dan Nilai Spiritual: Kecintaan Sultan Hamid II pada shalawat Nabi Muhammad SAW menunjukkan pentingnya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan. Pesan ini relevan untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan material dan spiritual di era modern. Dengan meneladani nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh Sultan Hamid II, kita dapat memperkuat rasa nasionalisme, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta berkontribusi pada kemajuan Indonesia. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This