
Literasi Hukum Berjiwa Pancasila dan Kesadaran Sejarah Tragedi Mandor 1944: Sebuah Kajian Interdisipliner
Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Abstrak
Tulisan ini mengkaji Peristiwa Mandor 1944 di Kalimantan Barat sebagai tragedi kemanusiaan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila dalam konteks hukum kolonial Jepang. Kajian dilakukan melalui pendekatan interdisipliner antara sejarah, hukum, dan semiotika Pancasila. Penulis menegaskan bahwa tragedi ini tidak sekadar bagian dari narasi kolonialisme, tetapi juga merupakan cermin rapuhnya sistem keadilan tanpa nilai kemanusiaan. Hilangnya satu generasi pemimpin lokal — sultan, ulama, guru, dan bangsawan — menyebabkan kekosongan kepemimpinan yang memengaruhi arah pembentukan kesadaran hukum masyarakat Kalimantan Barat pasca-kemerdekaan. Dengan mengintegrasikan konsep semiotika hukum dan hermeneutika Pancasila, penelitian ini menyoroti pentingnya literasi hukum yang tidak berhenti pada teks undang-undang, melainkan mampu membaca realitas sosial dan sejarah sebagai teks moral bangsa.
Kata kunci: Mandor 1944, hukum kolonial, semiotika Pancasila, kesadaran hukum, literasi sejarah.
Pendahuluan
Sejarah bangsa Indonesia penuh dengan peristiwa yang menandai benturan antara kekuasaan dan kemanusiaan. Salah satu yang paling tragis adalah Peristiwa Mandor 1944, yang menewaskan lebih dari dua puluh ribu rakyat Kalimantan Barat, termasuk para sultan, bangsawan, ulama, guru, dan tokoh masyarakat. Di bawah pendudukan Jepang, hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat represi politik.
Dalam konteks inilah, literasi hukum berjiwa Pancasila sebagaimana diperkenalkan oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur menjadi penting untuk membaca ulang tragedi sejarah. Menurutnya, setiap peristiwa hukum dan sosial harus dimaknai melalui tanda-tanda nilai, bukan sekadar teks formal. Artinya, tragedi Mandor bukan hanya kisah pembunuhan massal, tetapi juga simbol hilangnya keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem hukum kolonial.
Latar Belakang Sejarah dan Kebijakan Jepang
Pendudukan Jepang di Kalimantan Barat dimulai pada tahun 1942 setelah kejatuhan Hindia Belanda. Awalnya, rakyat menyambut Jepang dengan harapan kemerdekaan bagi bangsa Asia, namun tak lama kemudian, kekecewaan muncul. Jepang menerapkan sistem militer yang keras, kerja paksa, serta kebijakan kontrol sosial yang mengekang segala bentuk gerakan rakyat.
Ketika kesadaran lokal dan semangat kebangsaan mulai tumbuh, terutama di kalangan pemuka agama dan bangsawan Kesultanan Pontianak, Jepang menganggap mereka ancaman. Pada awal tahun 1944, dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap para pemimpin daerah. Mereka dituduh terlibat dalam rencana pemberontakan tanpa bukti. Para tahanan disiksa, diinterogasi, dan kemudian dibawa secara rahasia ke hutan Mandor — tempat eksekusi massal yang direncanakan dengan sistematis.
Menurut BPNB Kalimantan Barat (2022), sebanyak 21.037 jiwa menjadi korban, sementara catatan militer Jepang hanya mencatat sekitar 1.486 jiwa. Perbedaan angka tersebut menunjukkan betapa besar upaya penyangkalan terhadap kekejaman yang terjadi. Di antara korban terdapat Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Pontianak ke-VI, bersama para pangeran dan tokoh ulama terkemuka.
Analisis Hukum dan Nilai Kemanusiaan
Jika dianalisis dari perspektif hukum, tragedi Mandor merupakan pelanggaran terhadap asas fundamental rule of law. Tidak ada proses hukum, tidak ada pembuktian, dan tidak ada pengadilan. Hukum dijalankan dalam bentuk yang paling brutal: sebagai alat kekuasaan untuk menegakkan ketakutan.
Dalam pandangan Turiman Fachturahman Nur, hukum yang kehilangan nilai moralnya bukan lagi hukum, melainkan kekerasan yang dilegalkan. Di sinilah pentingnya pendekatan semiotika hukum, yaitu membaca hukum bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai tanda yang merefleksikan nilai-nilai kehidupan.
Jika hukum kolonial Jepang dibaca dengan kacamata Pancasila, maka peristiwa Mandor adalah pelanggaran terhadap setiap sila. Nilai Ketuhanan dilanggar karena manusia dibunuh tanpa penghormatan terhadap ruh ilahinya; nilai Kemanusiaan diabaikan oleh tindakan penyiksaan; nilai Persatuan dirusak dengan memutus jaringan kepemimpinan daerah; nilai Kerakyatan dicabut dengan meniadakan suara rakyat; dan nilai Keadilan Sosial dihancurkan dengan menumpuk penderitaan tanpa ganti rugi.
Trauma Sosial dan Kehilangan Kepemimpinan
Tragedi Mandor meninggalkan luka mendalam. Hilangnya para pemimpin lokal menyebabkan kekosongan moral dan spiritual di tengah masyarakat. Setelah perang berakhir, rakyat Kalimantan Barat mengalami kesulitan membangun kembali tatanan sosial-politik yang stabil.
Ketiadaan sultan dan ulama membuat struktur sosial tradisional lumpuh. Banyak keluarga kehilangan jejak silsilah, dan masyarakat hidup dalam ketakutan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan trauma, tetapi juga disorientasi hukum: rakyat kehilangan kepercayaan terhadap sistem keadilan.
Dalam kerangka hermeneutika hukum Pancasila, Turiman memandang trauma kolektif ini sebagai tanda bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai spiritual dan budaya lokal. Hukum harus hidup bersama rakyat, bukan berdiri di atas mereka. Maka, mempelajari Mandor berarti menghidupkan kembali kesadaran konstitusional yang berakar pada nilai kemanusiaan.
Pemulihan Memori Kolektif dan Literasi Hukum Pancasila
Pasca-kemerdekaan, masyarakat Kalimantan Barat berupaya menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang Mandor. Setiap 28 Juni, diperingati sebagai Hari Berkabung Daerah, dengan tabur bunga dan doa di Makam Juang Mandor. Tugu tersebut menjadi simbol bukan hanya duka, tetapi juga keteguhan moral untuk menjaga keadilan dan kemanusiaan.
Dalam pandangan Turiman, upaya mengenang sejarah harus diiringi dengan pembangunan literasi hukum yang berakar pada nilai Pancasila. Pendidikan hukum tidak boleh hanya berorientasi pada norma positif, tetapi juga harus menyentuh kesadaran batin masyarakat. Melalui pendekatan digital dan media edukatif seperti TikTok Live dan YouTube Turiman Corner, kesadaran sejarah dan hukum dapat dihidupkan kembali di kalangan generasi muda sebagai bentuk restorasi nilai kemanusiaan.
Kesimpulan
Peristiwa Mandor 1944 bukan sekadar catatan kelam sejarah Kalimantan Barat, melainkan peringatan universal bahwa hukum tanpa moral akan kehilangan makna. Tragedi ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan militer kolonial menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan kepemimpinan lokal.
Melalui literasi hukum berjiwa Pancasila, peristiwa Mandor dapat dipahami sebagai teks moral bangsa — sebuah refleksi bahwa keadilan sejati hanya lahir dari hukum yang berlandaskan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Seperti dikatakan oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,
> “Mengingat Mandor berarti menghidupkan kembali kesadaran hukum bangsa — bahwa kemerdekaan tidak lahir dari kemenangan senjata, tetapi dari kesetiaan pada nilai kemanusiaan.”
Daftar Pustaka
1. Muhammad Rikaz Prabowo. (2023). Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 di Kalimantan Barat: Suatu Pembunuhan Massal di Masa Pendudukan Jepang. Jurnal Bihari, Universitas Siliwangi.
2. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalimantan Barat. (2022). Makam Juang Mandor: Saksi Sejarah Kelam Daerah Kalimantan Barat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
3. Tsuneo Izeki. (1970). Nishi Borneo Jumin Gyakusatsu Jiken: Kensho Pontianan Jiken. Tokyo: Gendai Shokan.
4. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. (2022). Hari Berkabung Daerah: Mandor sebagai Ingatan Kolektif Sejarah Kalbar. Pontianak: Sekretariat Daerah Kalbar.
5. Kodam XII/Tanjungpura. (1970). Tanjungpura Berjuang. Pontianak.
6. Turiman Fachturahman Nur. (2022). Semiotika Hukum dan Pancasila. Rajawali Garuda Pancasila.
7. Turiman Corner. (2024). Kuliah Digital dan Literasi Hukum Berbasis Pancasila di Era TikTok Live. Pontianak: Universitas Tanjungpura. ( Red )