Pungli Dari Kacamata Hukum      

Pungli Dari Kacamata Hukum      

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

BN – Kata pungli mendadak menjadi trend kembali sejak kemunculan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Sebagai tindak lanjut Perpres tersebut, Satgas Saber Pungli juga dibentuk di Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah ProvinsI Seluruh Indonesia.

Lalu apa sebenarnya pungli itu?. Kita kupas satu per satu agar bisa lebih mengenali pungli. Pertama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pungli merupakan akronim dari pungutan liar. Memungli/memungli adalah meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim.

Sebutan pungli mulai diperkenalkan pada September 1977 saat dikeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977 tentang Operasi Penertiban, dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen. Inpres ini sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Istilah lain yang dipergunakan oleh masyarakat mengenai pungutan liar atau pungli adalah uang sogokan, uang pelicin, salam tempel dan lain lain.

Perpres Nomor 87 Tahun 2016

Presiden menetapkan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar yang mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.

Satgas Saber Pungli mempunyai wewenang:

1.Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar;

2. Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi;

3.Mengoordinasikan,merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar;

4.Melakukan operasi tangkap tangan;

5.Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

6.Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan

7.Melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan liar.

Pungli dalam KUHAP dan UU Tipikor

Dalam KUHP, istilah pungli tidak disebutkan dengan jelas, tetapi dapat disamakan dengan tindak pidana dalam pasal berikut:

Pasal 368 KUHP: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Pasal 415 KUHP: “Seorang pegawai negeri atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat-surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Pasal 418 KUHP: “Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Pasal 423 KUHP: “Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun”.

Pasal 425 KUHP ayat 1 dan 2: “Diancam karena melakukan pemerasan dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran, seolah-olah berhutang kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian adanya;

2. Seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan orang atau penyerahan barang seolah olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian halnya;”

Dari pasal-pasal KUHP di atas, tindakan pungli bisa dipersamakan dengan tindak pidana penipuan, pemerasan dan tindak pidana korupsi, dimana unsur tindak pidana penipuan dan pungli terdapat kesamaan unsur antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kebohongan untuk atau agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya. Sedangkan untuk tindak pidana pemerasan kesamaan unsurnya antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kekerasan atau dengan ancaman agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.

Pasal 423 dan 425 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan definisi pungutan liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Selain itu, pungli bisa dikategorikan sebagai suap apabila masyarakat ingin mendapat perlakuan khusus dari penyelenggara negara dengan memberikan uang atau barang kepada petugas. Pungli juga bisa dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi. Hal tersebut terjadi jika masyarakat memberikan uang tambahan kepada penyelenggara negara dengan alasan puas atas pelayanan yang diberikan.

Pemberantasan Pungli di Pemerintah Daerah

Menindaklanjuti Perpres Nomor 87 Tahun 2016, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Instruksi Nomor : 180/3935/SJ tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengawasan Pungutan Liar Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota untuk:

1.Meningkatkan pembinaan dan pengawasan khususnya terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah yang memiliki resiko terjadinya pungutan liar (pungli).

2.Melakukan sosialisasi secara masif dan berkesinambungan kepada masyarakat,antara lain dengan memasang spanduk “bebas pungli” pada seluruh unit kerja yang melakukan pelayanan.

3.Memerintahkan Inspektur Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota untuk segera melakukan pengawasan secara berkesinambungan untuk mencegah dan menghapus pungli.

4.Memberikan sanksi terhadap Aparatur Sipil Negara pada perangkat daerah yang terbukti melakukan pungli.

5.Memerintahkan Inspektur Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota untuk melaporkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud diktum ketiga kepada Menteri Dalam Negeri cq. Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri paling lama tanggal 5 setiap bulannya, melalui aplikasi pelaporan “saber pungli” pada www.kemendagri.go.id.

Dengan implementasi Perpres 87 Tahun 2016, Satgas Saber Pungli diharapkan dapat memberantas praktek pungli dan meningkatkan kualitas layanan umum di pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

CATEGORIES
TAGS
Share This