Semiotika Hukum Tentang Polisi Yang Mengaku Tuhan: Refleksi Kasus Vissarion di Siberia  &  Kritik  Konten EDIS TV

Semiotika Hukum Tentang Polisi Yang Mengaku Tuhan: Refleksi Kasus Vissarion di Siberia  &  Kritik  Konten EDIS TV

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

1. Latar Sejarah
Vissarion lahir tahun 1961, jadi polisi lalu lintas di Minusinsk. Kemudian Tahun 1989 keluar dari kepolisian, mengaku mendapat wahyu setelah “pengalaman spiritual”. Tahun 1991, pasca keruntuhan Uni Soviet, dia mendirikan sekte Church of the Last Testament. Adalah di  Kota Matahari (The City of Sun).Didirikan di hutan Siberia, sekitar 400 km dari Krasnoyarsk.Komunitasnya mencapai ribuan pengikut, semua hidup komunal, tanpa hak milik pribadi.
Sistem Ritual dan Kontrol, Kalender sendiri, ulang tahun Vissarion jadi hari besar.Perkawinan dan relasi personal diatur ketat olehnya. Ajarannya campuran Kristen Ortodoks, Buddhisme, vegetarianisme, dan pseudo-ekologi. Selanjutnya yang jadi titik balik, pada tahun 2020, FSB menyerbu markasnya. Tuduhan: membentuk organisasi keagamaan ilegal, eksploitasi finansial, pelecehan psikologis, bahkan tuduhan seksual.
Selanjut 30 Juni 2025, pengadilan Rusia menjatuhkan vonis 12 tahun penjara untuk Vissarion dan dua ajudannya. Dikenai pula ganti rugi besar atas kerugian jemaat. Dari Rentetan Sejarah diatas ternyata teulang lagi cerita Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan adalah kisah ribuan tahun lalu. Namun, rupanya di zaman modern pun masih ada manusia yang berani menobatkan dirinya sebagai ilahi. Salah satunya adalah Sergei Torop, mantan polisi lalu lintas Rusia yang lebih dikenal dengan nama Vissarion.
Di belantara Siberia yang membeku, ia membangun komunitas bernama The City of Sun. Ironisnya, di tanah yang jarang disinari matahari, ia menciptakan sebuah “Kota Matahari” sebagai simbol kebangkitan rohani. Di situlah ia memproklamirkan diri sebagai Yesus versi baru, lebih segar dari Injil, dan—mengutip para sarkastis—lebih sering melakukan “update” ketimbang Android.
Kekosongan Spiritual Pasca-Uni Soviet
Konteks sejarahnya jelas: setelah keruntuhan Uni Soviet tahun 1991, rakyat yang selama puluhan tahun dijejali ateisme negara mendadak diperbolehkan beragama. Kebingungan spiritual melanda. Dalam ruang kosong itulah, figur-figur “mesias palsu” menemukan momentumnya. Vissarion membaca peluang itu, menawarkan janji keselamatan dan surga dengan syarat menyerahkan harta benda dan kepatuhan total. Model ini sejatinya mencerminkan apa yang dalam hukum dapat disebut sebagai eksploitasi kerentanan. Masyarakat yang kehilangan pegangan cenderung mencari otoritas baru, dan karisma personal sering lebih cepat diterima daripada norma hukum atau doktrin keagamaan mapan.
Komunitas Tertutup dan Otoritarianisme Religius
Di City of Sun, semua properti bersifat komunal. Tidak ada hak milik pribadi, tidak ada upah kerja. Segala aktivitas fisik—dari menebang kayu hingga bertani—dipandang sebagai doa. Bahkan perkawinan pun dikontrol oleh Vissarion. Hakikatnya, ini bukanlah praktik religius murni, melainkan penghapusan otonomi individu. Dari perspektif hukum tata negara, model seperti ini sebenarnya adalah negara mini dalam negara, di mana satu orang memegang otoritas eksekutif, legislatif, sekaligus yudikatif. Bahayanya, ketika otoritas itu bercampur dengan klaim keilahian, maka koreksi rasional menjadi mustahil.
Penangkapan dan Vonis Hukum
Setelah tiga dekade, negara akhirnya bertindak. Tahun 2020, FSB (versi Rusia dari FBI) menyerbu markasnya. Tuduhannya mencakup eksploitasi finansial, pelecehan psikologis, hingga pembentukan organisasi keagamaan ilegal. Puncaknya, 30 Juni 2025, pengadilan Rusia menjatuhkan vonis 12 tahun penjara bagi Vissarion di koloni keamanan maksimum. Dua ajudannya juga dijatuhi hukuman serupa, dengan kewajiban membayar ganti rugi miliaran rupiah. Dari polisi lalu lintas, naik jadi “Tuhan Siberia”, dan akhirnya kembali jatuh ke jeruji besi—sebuah siklus tragis sekaligus ironis.
Refleksi untuk Indonesia
Kasus Vissarion memberi pelajaran universal. Pertama, kerinduan spiritual yang tidak disalurkan melalui pendidikan agama yang sehat dapat melahirkan kultus destruktif. Kedua, negara harus hadir bukan untuk membatasi keyakinan, tetapi melindungi warga dari praktik manipulatif yang merampas kebebasan individu. Ketiga, publik harus kritis: tidak semua yang berwajah karismatik dan membawa jargon keselamatan benar-benar membawa kebenaran.
Dalam perspektif hukum Indonesia, fenomena ini menegaskan bahwa kebebasan beragama bukan berarti kebebasan untuk menipu. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya, tetapi pada saat yang sama hukum pidana tetap berlaku bagi siapa pun yang memanfaatkan agama untuk eksploitasi atau penipuan.
Berdasarkan Kisah Vissarion diatas adalah cermin. Ia menunjukkan bagaimana kekosongan spiritual, otoritarianisme, dan eksploitasi bisa bersatu dalam wajah seorang “mesias palsu.” Dari Siberia, kita belajar bahwa iman membutuhkan nalar, dan kebebasan beragama harus diimbangi dengan perlindungan hukum.
Apa yang kita tarik untuk Indonesia, bahwa secara analisis semiotika hukum sebagai kritik reflektif bagi konteks Indonesia berdasarkan kisah Vissarion, dengan paparan berikut ini yang saya paparkan dengan gaya akademik tetapi subtansi yang tetap komunikatif, yaitu :
1. Semiotika Hukum dan Fenomena “Manusia Ilahi”
Semiotika hukum berupaya membaca tanda-tanda, simbol, dan makna di balik peristiwa hukum. Dalam kasus Vissarion, ada tanda kuat yang perlu dibaca: dari seragam polisi lalu lintas (tanda otoritas duniawi), ia berganti menjadi jubah mesias palsu (tanda otoritas spiritual). Pergantian simbol ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat dipindahkan dari institusi resmi negara kepada “teater religius” yang dibangun oleh karisma individu. Artinya jika pada era Fir’aun klaim ketuhanan dipakai untuk legitimasi politik, maka di Siberia modern klaim serupa digunakan untuk legitimasi ekonomi dan sosial. Ajaran Vissarion menjadi tanda manipulasi spiritual yang menutupi praktik penguasaan harta dan tubuh jemaat.
2. Kritik untuk Indonesia: Membaca Tanda-Tanda
Fenomena ini harus menjadi cermin bagi Indonesia. Ada beberapa tanda yang perlu dibaca secara kritis:
1. Kekosongan Spiritual & Pendidikan Agama
Di Indonesia, pendidikan agama sering berhenti pada dogma formal dan ritual, kurang mengajarkan berpikir kritis. Hal ini membuka ruang bagi figur-figur karismatik yang mengaku “pembawa wahyu baru”, baik dalam bentuk sekte maupun aliran sesat. Tanda ini sudah muncul dalam kasus-kasus aliran sempalan yang berkali-kali ditangani aparat.
2. Komodifikasi Agama
Di negeri ini, agama juga sering menjadi komoditas: mulai dari ceramah berbayar, jualan “jaminan surga”, hingga bisnis haji dan umrah bermasalah. Seperti Vissarion menjadikan surga sebagai tiket berbayar, di Indonesia kita menemukan tanda-tanda serupa—iman dijadikan mata uang sosial.
3. Otoritarianisme Religius dalam Komunitas
Ada kelompok-kelompok kecil yang memaksa anggotanya menyerahkan kepatuhan total pada pimpinan spiritual. Tanda ini mirip dengan “negara mini” ala City of Sun. Jika dibiarkan, bisa melahirkan benturan dengan negara dan merusak sendi kebebasan warga.
4. Negara yang Reaktif, Bukan Preventif
Dalam kasus Vissarion, negara Rusia menunggu puluhan tahun sebelum bertindak. Di Indonesia pun sering terlihat pola serupa: aparat bergerak ketika konflik sudah pecah, bukan ketika tanda-tanda manipulasi agama mulai muncul.
Analisis Semiotika Berdasarkan Kerangka Hukum di Indonesia
Secara normatif, UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menjamin kebebasan beragama. Namun kebebasan itu bukan ruang kosong. KUHP Indonesia mengatur delik penipuan (Pasal 378), penggelapan (Pasal 372), serta tindak pidana yang merugikan anak dan keluarga (UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan). Artinya, jika ada Vissarion versi Indonesia, hukum sebenarnya sudah memiliki instrumen untuk menjerat. Masalahnya adalah pada implementasi. Negara sering ragu karena “takut dianggap mengganggu kebebasan beragama”. Padahal, semiotika hukum justru mengingatkan: bedakan tanda agama sebagai keyakinan tulus dengan tanda agama sebagai kedok eksploitasi.
5. Refleksi Kritis, Kasus Vissarion adalah peringatan: Tanda “mesias palsu” bisa lahir di mana saja, termasuk di Indonesia. Hal ini menjadi refleksi,bahwa Kebebasan beragama perlu dijaga, tetapi eksploitasi atas nama agama harus diberi sanksi hukum yang tegas. Negara harus aktif melakukan deteksi dini atas kelompok yang menjadikan agama sebagai alat manipulasi. Dengan kata lain pendidikan agama harus diperkaya dengan pendidikan kritis agar masyarakat mampu membedakan iman yang sejati dari ilusi yang dijual.
Berdasarkan paparan diatas, bahwa analisis semiotika hukum mengajarkan kita membaca tanda-tanda di balik peristiwa. Dari Siberia hingga Nusantara, tanda yang sama muncul: manusia yang haus kuasa sering menyelubungi ambisinya dengan jubah ketuhanan. Indonesia, dengan keragaman agama dan kepercayaan, harus belajar dari kasus Vissarion—agar kebebasan beragama tidak menjadi panggung bagi lahirnya “Fir’aun modern” di tanah air.
Salah satunya adalah yang perlu diwaspadai adalah Fenomena Hukum atas kehadiran EDIS TV dan  Analisis Hukum kontennya atas Pelanggaran dan Pertanggungjawaban Pidana, berikut ini: Dalam dinamika kehidupan bernegara, hukum berfungsi sebagai penuntun sekaligus pengawal keadilan. Ketika terjadi perbuatan yang menyimpang dari norma, hukum pidana hadir bukan hanya untuk menghukum pelaku utama, melainkan juga setiap pihak yang turut serta mendukung terjadinya pelanggaran. Fenomena ini dapat ditelaah melalui lima instrumen analisis hukum, yakni kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum.
1. Analisis Kategorisasi Hukum
Kategorisasi hukum menempatkan suatu perbuatan dalam klasifikasi tindak pidana tertentu. Contoh: Penyebaran berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, atau tindakan korupsi dikategorikan sebagai delik formil yang diatur dalam KUHP maupun undang-undang khusus (misalnya UU ITE dan UU Tipikor).
Pasal yang relevan: Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 tentang peraturan pidana hoaks; Pasal 310–311 KUHP (pencemaran nama baik); Pasal 55 KUHP (turut serta dalam tindak pidana).
2. Analisis Klarifikasi Hukum
Klarifikasi hukum memastikan apakah perbuatan yang dilakukan benar memenuhi unsur tindak pidana. Misalnya, apakah penyebaran informasi dilakukan dengan sengaja, apakah menimbulkan keresahan publik, serta siapa yang memperoleh manfaat dari perbuatan itu. Klarifikasi ini penting agar tuduhan tidak bersifat spekulatif, melainkan berbasis pada pembuktian hukum.
3. Analisis Verifikasi Hukum
Verifikasi adalah proses pembuktian dengan alat bukti sah. Alat bukti dalam KUHAP meliputi keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.Dalam kasus hoaks atau ujaran kebencian, bukti digital (jejak media sosial, rekaman, tangkapan layar) menjadi sentral. Tanpa verifikasi, sebuah peristiwa tidak bisa dinaikkan ke tahap penyidikan.
4. Analisis Validasi Hukum
Validasi menegaskan kesesuaian antara aturan hukum dan fakta yang diverifikasi. Misalnya, apakah pelaku benar melanggar ketentuan pidana yang dituduhkan, dan apakah alat bukti memenuhi standar pembuktian sah. Pada tahap ini, hakim atau aparat penegak hukum memastikan putusan memiliki dasar legalitas (nullum delictum nulla poena sine lege – tiada pidana tanpa undang-undang).
5. Analisis Falsifikasi Hukum
Falsifikasi hukum digunakan untuk menguji kebenaran melalui bantahan.
Pembelaan (alibi, tidak adanya unsur kesengajaan, atau tidak adanya akibat hukum) diuji kebenarannya di pengadilan. Jika bantahan tidak terbukti, maka dakwaan tetap berlaku dan sanksi pidana dijatuhkan. Korelasinya dengan Pertanggungjawaban Pidana bagi yang Turut Mendukung. Hukum pidana Indonesia menegaskan bahwa tidak hanya pelaku utama yang bertanggung jawab, tetapi juga mereka yang turut serta mendukung tindak pidana.
Pasal 55 KUHP: Barang siapa melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan pidana, dipidana sebagai pelaku. Pasal 56 KUHP: Mereka yang membantu melakukan tindak pidana dapat dihukum sebagai pembantu. Dengan demikian, orang-orang yang memberi fasilitas, menyebarkan, atau melindungi pelaku utama tetap bisa dijerat pidana. Prinsip ini menutup ruang impunitas bagi pihak yang bersembunyi di balik dalih “bukan pelaku langsung”.
Baik, saya rangkum semua bahan di atas dalam bentuk narasi padat dengan tetap menjaga analisis hukum yang sudah kita uraikan:  Narasi Padat & Analisis Hukum atas Fenomena EDIS TV.
Fenomena EDIS TV mencuat sebagai kontroversi publik. Kanal ini menayangkan diskusi keagamaan yang dinilai sebagian pihak tidak sekadar wacana, melainkan mengandung unsur ujaran kebencian dan penodaan agama. Akibatnya, muncul laporan ke aparat penegak hukum karena konten tersebut dianggap menimbulkan keresahan dan berpotensi merusak kerukunan antarumat beragama.
Dari perspektif hukum Telematika, bahwa analisis dapat dibagi ke lima aspek:
1. Kategorisasi Hukum → kasus ini termasuk ranah hukum pidana, khususnya tindak pidana informasi elektronik (UU ITE), penodaan agama (KUHP), serta hukum penyiaran (UU Penyiaran)
2. Klarifikasi Hukum → ujaran kebencian dilarang menurut Pasal 28 ayat (2) UU ITE, sedangkan penodaan agama diatur dalam Pasal 156a KUHP. UU Penyiaran juga mewajibkan isi siaran menjaga moralitas dan kerukunan.
3. Verifikasi Hukum → konten EDIS TV telah dipublikasikan di ruang digital, menimbulkan keresahan, dan dinilai menyasar keyakinan agama tertentu. Fakta ini berpotensi memenuhi unsur pasal yang dilanggar.
4. Validasi Hukum → seluruh norma hukum yang digunakan (UU ITE, KUHP, UU Penyiaran) masih berlaku sah secara nasional, sehingga menjadi dasar penegakan hukum.
5. Falsifikasi Hukum → ada kemungkinan pembelaan berupa dalih kebebasan berekspresi (Pasal 28E UUD 1945). Namun, kebebasan ini tetap dibatasi oleh hukum agar tidak melanggar hak orang lain atau mengganggu ketertiban umum.
Mengacu analisis dalam semiotika hukum, konten EDIS TV dipandang sebagai tanda (sign) yang dimaknai publik sebagai serangan simbolik terhadap agama tertentu. Hal ini melahirkan interpretasi sosial yang memicu konflik, sehingga hukum hadir sebagai “penanda batas” antara kebebasan berekspresi dan larangan ujaran kebencian.
Lebih jauh, dalam hukum pidana, tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada pembicara utama. Pasal 55–56 KUHP memperluas cakupan pidana kepada pihak yang turut serta dan atau nitizen yang melakukan, membantu, atau memfasilitasi. Itu berarti moderator, admin media sosial, penyebar ulang, hingga sponsor dapat dimintai pertanggungjawaban hukum jika terbukti mendukung penyebaran konten kebencian.
Dengan demikian, fenomena EDIS TV menegaskan bahwa komunikasi digital bukan ruang bebas tanpa batas. Ia adalah arena hukum, di mana setiap tanda, ucapan, dan tayangan dapat berubah menjadi tindak pidana bila menodai nilai dasar bangsa: kerukunan, persatuan, dan penghormatan terhadap agama.
Pasal-pasal utama yang berpotensi dilanggar: Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE (ujar kebencian berbasis SARA), Pasal 156a KUHP (penodaan agama) ,Pasal 160 KUHP (penghasutan), Pasal 310–311 KUHP (pencemaran nama baik, jika menyerang individu), Pasal 36 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (isi siaran wajib menjaga kerukunan), Pasal 55–56 KUHP (penyertaan: turut serta & membantu)
Mari saya lengkapi dengan analisis semiotika hukum agar editorial dan news tadi lebih tajam serta bernuansa akademis, bahwa Analisis Semiotika Hukum terhadap Fenomena EDIS TV, secara  semiotika hukum memandang hukum bukan sekadar teks normatif, tetapi juga tanda (sign) yang mengandung makna sosial, politik, dan budaya. Dalam kasus EDIS TV, ada tiga lapisan tanda yang dapat dianalisis:
1. Tanda (Sign) – Pesan yang Ditampilkan
Konten EDIS TV menghadirkan narasi diskusi keagamaan yang dikemas sebagai tayangan santai. Namun, secara semiotik, tanda yang muncul bukan sekadar “diskusi”, melainkan representasi simbolik dari sikap terhadap agama tertentu. Tanda ini menimbulkan persepsi publik bahwa siaran tersebut menyudutkan, merendahkan, bahkan menodai agama.
2. Objek (Object) – Norma Hukum yang Relevan
Dalam ranah hukum, objek yang terkait dengan tanda tersebut adalah aturan normatif yang mengatur ujaran kebencian, penodaan agama, dan penyiaran: Pasal 28 ayat (2) UU ITE – informasi yang menimbulkan kebencian berbasis SARA, Pasal 156a KUHP – penodaan agama. Pasal 36 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 – kewajiban menjaga kerukunan. Norma-norma ini menjadi rujukan makna bagi publik untuk menilai apakah tanda “diskusi EDIS TV” melanggar hukum.
3. Interpretant (Makna) – Tafsir Sosial atas Tanda
Interpretasi publik terbagi: Kelompok pro-kritik menilai EDIS TV sekadar menjalankan kebebasan berekspresi. Kelompok kontra menafsirkan konten itu sebagai serangan simbolik terhadap agama yang dapat memecah belah bangsa. Dalam semiotika hukum, perbedaan interpretasi inilah yang melahirkan konflik sosial sekaligus memunculkan panggilan terhadap hukum positif untuk memberi kepastian
4. Makna Simbolik: Ancaman Disintegrasi
EDIS TV sebagai simbol tidak hanya dipandang sebagai “konten digital”, melainkan sebagai tanda ancaman terhadap kohesi sosial. Ujaran dalam siaran menjadi semacam semiotic weapon—senjata tanda—yang berpotensi menggerus rasa saling percaya antarumat beragama. Hukum kemudian berfungsi sebagai penanda batas: kebebasan berbicara sah, tetapi ketika tanda (ucapan) melukai keyakinan kolektif, ia berubah menjadi tindak pidana.
Berdasarkan itu pentingnya Eeditorial + Semiotika Hukum ini, karena  konten EDIS TV telah menegaskan bagaimana tanda komunikasi digital bisa bertransformasi menjadi sumber disintegrasi. Diskusi yang semula diklaim santai ternyata menyimpan makna simbolik yang menyinggung ranah keyakinan umat beragama. Dalam semiotika hukum, inilah paradoks kebebasan: setiap tanda bebas diucapkan, tetapi maknanya tetap dibatasi oleh norma hukum dan etika sosial. Jika aparat tidak hadir, tanda ini bisa berkembang menjadi konflik terbuka. Karena itu, penegakan hukum bukan sekadar soal pasal, melainkan menjaga makna keutuhan bangsa.
Paparan dari berbagai News dan analisis  Semiotika Hukum, bahwa  kasus EDIS TV kini menjadi sorotan tidak hanya dari aspek hukum positif, tetapi juga dari sudut pandang semiotika hukum. Pakar menilai konten siaran yang disebar EDIS TV bukan sekadar tayangan, melainkan tanda simbolik yang dimaknai publik sebagai serangan terhadap agama tertentu. Hal ini membuat aparat merujuk pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156a KUHP untuk menegakkan batas antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian. Dengan demikian, kasus EDIS TV memperlihatkan bagaimana tanda digital dapat berubah menjadi konflik sosial yang menuntut intervensi hukum.
Untuk jelasnya, menyatakan bahwa Nara sumber sering menyamakan Nabi Muhammad dengan Rob atau Tuhannya umat Islam, untuk baik, saya narasikan secara runtut dengan memakai lima analisis ilmu pengetahuan hukum (kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum) terhadap fenomena EDIS TV beserta pasal hukum yang mungkin terlanggar.
Analisis Hukum atas Fenomena EDIS TV
1. Analisis Kategorisasi Hukum, Kategorisasi hukum adalah tahap mengelompokkan suatu fenomena ke dalam kategori norma hukum yang relevan. Fenomena: EDIS TV menayangkan konten diskusi keagamaan yang memicu kontroversi dan dugaan ujaran kebencian. Kategori hukum: Hukum Pidana → terkait ujaran kebencian, penistaan agama, atau penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan. Hukum Informasi & Transaksi Elektronik (ITE) → karena penyiaran dilakukan lewat YouTube, Facebook, dan media digital. Hukum Administrasi → terkait izin penyiaran atau kepatuhan pada regulasi penyiaran (UU Penyiaran, KPI).
2. Analisis Klarifikasi Hukum
Klarifikasi hukum adalah meneliti definisi atau batasan norma yang berlaku. Ujaran kebencian (hate speech) menurut hukum Indonesia: setiap pernyataan yang menyerang identitas berdasarkan agama, etnis, ras, atau kelompok tertentu. Penodaan agama menurut Pasal 156a KUHP: perbuatan dengan sengaja di muka umum bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Penyiaran konten digital tunduk pada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU ITE No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016.
3. Analisis Verifikasi Hukum.
Verifikasi hukum adalah pembuktian apakah fakta memenuhi unsur pasal hukum yang relevan. Fakta: konten EDIS TV memuat diskusi yang dianggap menyudutkan agama tertentu, menimbulkan keresahan publik, dan dilaporkan ke aparat penegak hukum.
Unsur hukum: Pasal 28 ayat (2) UU ITE → larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Pasal 156a KUHP → larangan penodaan agama. Pasal 310 & 311 KUHP → larangan pencemaran nama baik. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran → konten siaran wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM → kebebasan berpendapat tetap dibatasi oleh kewajiban menghormati hak orang lain dan menjaga ketertiban umum.
4. Analisis Validasi Hukum
Validasi hukum memastikan bahwa norma dan aturan yang digunakan memang berlaku dan sah. UU ITE (No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016) → sah berlaku nasional. KUHP → berlaku sebagai hukum pidana umum di Indonesia. UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 → masih berlaku dan mengatur lembaga penyiaran termasuk media daring Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2013 tentang Penanganan Ujaran Kebencian → memperkuat legitimasi aparat untuk menindak laporan terkait hate speech. Semua dasar hukum ini sah dan mengikat.
5. Analisis Falsifikasi Hukum
Falsifikasi hukum adalah pengujian kemungkinan adanya bantahan atau pembelaan hukum. Argumen pembelaan: EDIS TV dapat berdalih kontennya merupakan kebebasan berekspresi (Pasal 28E UUD 1945 dan UU HAM). Kontennya bisa diklaim sebagai diskusi ilmiah atau opini pribadi, bukan ujaran kebencian. Analisis dengan menyitir terjemahan Al Qur’an, dan subtansi oleh penegak hukum perlu diuji apakah benar konten tersebut mengandung unsur “permusuhan” dan “menodai agama” atau hanya sekadar kritik.  Konsekuensi hukum : bila konten tidak terbukti mengandung unsur kebencian atau penodaan, maka tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun jika terbukti memenuhi unsur pasal KUHP/UU ITE, maka kontennya bisa dipidana. Pasal Hukum yang Potensial Dilanggar, yaitu subtansi 1. Pasal 28 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (2): larangan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. 2. Pasal 156a KUHP, larangan penodaan terhadap agama. 3. Pasal 310–311 KUHP,  pencemaran nama baik (jika ada individu yang diserang) 4. Pasal 36 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, kewajiban isi siaran menjaga moralitas, kesatuan, dan kerukunan umat beragama.
Kesimpulan: Secara kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, dan falsifikasi hukum, konten EDIS TV berpotensi melanggar UU ITE dan KUHP jika terbukti mengandung ujaran kebencian dan penodaan agama. Namun, masih ada ruang pembelaan berdasarkan hak konstitusional kebebasan berpendapat.
Editorial ini menegaskan bahwa hukum pidana Indonesia memiliki perangkat analisis yang lengkap untuk menilai perbuatan melawan hukum. Melalui kategorisasi, klarifikasi, verifikasi, validasi, hingga falsifikasi, setiap perbuatan dapat diukur secara adil. Lebih jauh, korelasi dengan pasal pidana menegaskan bahwa dukungan terhadap pelanggaran hukum sama berbahayanya dengan pelanggaran itu sendiri. Negara hukum tidak boleh membiarkan siapapun, baik pelaku utama maupun pendukungnya, lolos dari jerat hukum. ( Turiman )

CATEGORIES
Share This