Cegah Korupsi Terapkan Hukuman Mati

Oleh : Jerry Massie, Dr., M.A., Ph.D.

( Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies )

BN – Politik kita penuh dengan intrik dan konspirasi. Ada istilah: “kawan jadi lawan, sobat jadi tobat” masalah korban dan mengorbankan kerap terjadi. Apalagi kasus heboh 41 anggota DPRD Kota Malang ramai-ramai ditetapkan tersangka. Inilah potret buram korupsi berjamaah. Misalkan politisi Demokrat, Nazaruddin yang terus bernyanyi terkait korupsi pembangunan wisma atlet. Dua politisi partai “Mercy Biru” ini pun ikut terseret yakni, ketua partai kala itu Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh. Sampai kini Nazaruddin terus berkicau.

Memang, politik adalah ratu dari ilmu politik. Hukum pun tak mampu menaklukannya. Semua aspek dikuasai politik. Dia bagaikan raja dan lainnya pion. Menariknya lagi hampir semua aspek dipolitisasi. Memang kekuatan legislatif dan eksekutif masih cukup kuat. Kenapa sejumlah kasus masih ngambang, persoalanya penerapan hukum kita masih lemah. Sikap disobedient (tidak taat) pada regulasi atau aturan masih kuat. Kita masih keep breaking atau masih melanggar aturan yang diberlakukan.

Agak sulit menyeret aktor utama dalam kasus korupsi di Indonesia. Bukan itu saja kita hukuman terlalu ringan bagi koruptor. Memang untuk negeri kita free from corruption butuh 40-50. Alasannya sederhana, para pejabat kita bukan mengejar prestasi tapi hanya mengejar popularitas bahkan kekayaan. Dengan kata lain memperkaya diri sendiri. Begitu pula, pejabat di negeri ini masih kurang fair saat tersandung korupsi. Sikap mereka hanya mengelak, berkelit dan membantah. Padahal sudah ada 2-3 alat bukti sesuai KUHP Pasal 184 sudah kuat. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.

Langkah preventif harus ada agar korupsi putus di negeri ini, harus ada punishment atau hukuman yang berat. Kalau perlu adopsi metode dari Taiwan, Korut, Vietnam, China, Hongkong yakni menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Pokoknya bagi pejabat yang melakukan abuse of power atau melakukan tindak pidana korupsi perlu di hukum mati. Tapi di atas Rp2 miliar. Kalau Rp500 juta- Rp1 Miliar hukumannya seumur hidup. Rp100 juta-Rp500 juta hukuman 20 tahun penjara.

Pemerintah harus mencabut UU terkait remisi. Memang remisi adalah hak, menjadi kewenangan pembuat kebijakan untuk mengkategorikan narapidana yang berhak mendapat remisi. Memang hukum di Indonesia, mengenai remisi bagi para koruptor sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan (PP 99/2012). Bagi saya bagi koruptor tidak perlu diberikan remisi. Hukum harus adil jangan ada istilah: tumpul di atas tajam di bawah.

Jadi banyak case, yang mana semua pertimbangan hukum takluk sama pertimbangan politis. Memang ciri-ciri negara miskin dan berkembang hukum itu takluk sama politik. Data 2016 lalu saja, ada 370 pejabat negara yang dipenjara karena kasus korupsi. Pejabat dengan golongan eselon I-III merupakan posisi paling rentan. Per 1 Desember 2016, jabatan ini menempatkan 130 narapidana. Berada di urutan kedua anggota DPR/DPRD. Jabatan wakil rakyat ini mencatatkan 122 kasus rasuah hingga ke jeruji besi.

Bahkan, menurut laporan, Januari-Juli 2018, 19 kepala daerah ditetapkan tersangka oleh KPK. Untuk kasus Setya Novanto dan Idrus Marham paling ada lagi yang nama-nama petinggi partai golkar maupun kolega mereka yang bakal terseret. Sudah waktunya hukuman berat diterapkan bagi koruptor. Pertanyaan kini, sampai kapan korupsi di negeri ini berakhir? Memang salah satu faktor utama penyebabnya adalah sifat serakah dan rakus serta tidak pernah puas, hingga seseorang melakukan korupsi.

Sementara, Thomas Jefferson, Presiden ke-3 Amerika Serikat (1743-1826), berpendapat: Negara kita begitu mantap menunjukkan bagaimana jalan yang tepat untuk lolos dari kehancuran, yaitu pertama dengan konsolidasi kekuasaan, dan kemudian korupsi, itulah konsekuensi pentingnya. (Our country is now taking so steady a course as to show by what road it will pass to destruction, to wit: by consolidation of power first, and then corruption, its necessary consequence).

Berkaca dari Hongkong, penyakit korup ini melanda hampir di semua lapisan baik atas maupun bawah. Istilah “mo chin mo sui’ (tidak ada uang tidak ada air)” sangat familier bagi warga Hongkong. Istilah ini sering dilekatkan pada petugas pemadam kebakaran yang baru bertindak kalau hitung-hitungan uangnya selesai. Namun sejak 1962 sampai 1972, negeri ini kehilangan sekitar 10 miliar dolar Hong Kong akibat korupsi.

Tapi, setelah lembaga anti rasuah Independent Commision Agent Coruption (ICAC) didirikan pada 15 Februari 1974, maka Hongkong bisa masuk 12 besar negara terbersih di dunia. Jika ingin jadi negara maju, maka pemimpin kita harus memilik sikap “gentleman” saat melakukan korupsi. Pikirkan sebelum melakukan tindakan memalukan yaitu korupsi! Oleh karena itu, budaya malu perlu ada di Indonesia dan cinta uang berlebihan perlu dihilangkan. Lantaran jika tidak, maka sebuah kemustahilan korupsi dapat berhenti di negeri ini. Tapi hanya sebuah kemaslahatan yang muncul. ( red )

CATEGORIES
TAGS
Share This