Impor Beras Jilid-2 Tahun 2018

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membuat kebijakan kontroversial bagi masyarakat, ijin impor beras sebanyak 500.000 ton jilid ke-2 tahun ini. Dari informasi yang layak dipercaya impor beras jilid pertama lalu sejumlah 500.000 ton belum sepenuhnya sampai ke Indonesia baru sebahagian yang diterima. Belum lagi statment Menteri Pertanian di awal tahun dalam perhelatan impor Jilid pertama bahwa produksi beras lokal kita mencukupi dan menjelang masa panen jadi tidak perlu impor. Ditambah lagi angka produk beras yang tidak jelas, termasuk Badan Pusat Statistik tidak berani menyatakan sikap data mana yang mendekati paling benar.

Hal ini membuat salah satu Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Wartawan Republik Indonesia angkat bicara. Walau sedikit melenceng dari kegiatannya, karena PWRI pada bulan Februari lalu pernah membuat diskusi publik tentang impor beras pada perhelatan Jilid pertama. Rinaldo Sijabat langsung memberikan tanggapannya kepada beberapa media.

Pada dasarnya keberadaan pemerintah adalah untuk mengatur, sekali lagi mengatur,  interaksi dan sistem sosial masyarakat yang berada diwilayahnya menuju kepada keamanan, ketentraman dan kesejahteraan seluruh masyarakat.  Akan tetapi, kenyataan pemerintah, dalam hal ini mengenai beras, melakukan kontak sosial langsung, tidak lagi mengatur tetapi aktif dalam bisnis beras, sedangkan kekuasaan pemerintah menjadi akan menjadi subjugation bagi masyarakat, ujarnya.

Lebih lanjut, Kontak sosial pemerintah dengan warganya dengan alasan prefentif terhadap pangan menjadi persaingan usaha bagi kelompok masyarakat dalam siklus bisnis perberasan. Pemerintah “bersaing” dengan kelompok masyarakatnya sendiri dibidang perberasan dengan cara membeli beras dari petani lokal atau impor kemudian dijual kembali kepada masyarakat.  Inilah yang menjadi subjugation pemerintah sehingga membuat gesekan langsung kepada pelaku usaha perbesaran termasuk juga kepada petani.

Sebaiknya pemerintah membuat aturan dan kebijakan hal-hal apa yang wajib dan harus dilakukan oleh pelaku bisnis perberasan. Pemerintah memiliki aparatur penegak hukum, siapa melanggar diproses dan ditangkap atas kesalahannya. Pemerintah bisa menetapkan harga maksimal beras, pemerintah bisa menetapkan pajak kepada pelaku bisnis beras, dan masih banyak hal lain yang bisa diperbuat pemerintah untuk mengatur mekanisme sesuai dengan posisi masing-masing. Dan BULOG kembali kepada fitrahnya sebagai Badan Urusan Logistik. Atau jika tidak, sekalian pemerintah melarang adanya bisnis beras di masyarakat, semua diambil pemerintah, jelas Rinaldo.

Anehnya, pemerintah tidak melakukan itu, pemerintah hanya berupaya masuk ke dalam siklus bisnis perberasan. Bahkan pemerintah membahas perbedaan angka jumlah produksi beras antara satu sektoral (badan/kementerian negara) dengan sektoral lainnya. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) juga tidak mampu memberikan suatu kepastian data yang benar diantara perbedaan data itu. BPS pastinya akan kewalahan dengan metode penghitungan seperti apa dengan luas wilayah Indonesia hingga menjadi sebuah data yang tingkat akurasinya tepat. Belum nanti menghitung gula, garam, cabai dan banyak penghitungan statistik lainnya, ujarnya.

Menurutnya, semua kembali kepada fitrahnya masing masing. Kementerian Pertanian bertugas sebagai regulator mengatur bagaimana petani dapat memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dengan jenis apapun, baik kebutuhan oleh Perum Bulog sebagai pembeli maupun perusahaan-perusahaan lain.

Kemudian Bulog menjaga cadangan pangan nasional dengan perhitungannya jika terjadi suatu hal yang tidak terduga. Stok itu tidak terlepas perolehannya dari mana baik petani lokal maupun impor. Stok pangan pada Bulog dapat diilustrasikan pada suatu cerita kerajaan yang menyimpan cadangan pangan jika terjadi cuaca buruk. Lalu, Kementerian Perdagangan mengatur regulasi untuk kelompok masyarakat perberasan, menentukan apa kewajiban dan hak kelompok masyarakat pelaku bisnis beras dalam hal pengaturan, tutupnya. (agus/dino)

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS