Peradaban : Antara Membangun dan Merusaknya

Oleh : Profesor Chrsyhnanda Dwilaksana

Membangun peradaban tentu bukan seperti membangun rumah atau menata benda ( tangible). Namun ada kalanya menata yang tak benda ( untangible). Paradigma bagi semakin manusiawinya manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat atau perjuangan bagi kemanusiaan semestinya menjadi spirit bagi perilaku organisasi aparatur penyelenggara negara.

Entah itu yudikatif legislatif maupun eksekutif. Tatkala nilai nilai humanisme jauh api dari panggang maka yang muncul kekerasan, saling merusak, saling cakar, korupsi, kolusi, nepotisme yg berkembang. Orang orang yang tidak kompeten akan juga bisa menepuk dada saya bisa berkuasa tidak perlu moral mental spiritual apalagi kompetensi. Tatkala ada perusakan simbol simbol peradaban hukum penegak hukum dan penegakkan hukum ini sebenarnya sudah merupakan perusakan peradaban.

Peradaban ini ditunjukkan adanya keteraturan sosial, dimana penyelesaian konfliknya dilakukan secara beradab. Ada criminal justice system, ada restorative justice, ada alternative dispute resolution, ada diskresi semua ini ada tatanannya.

Penyelesaian konflik dengan anarkisme ini kebiadaban. Peradaban bukan berbasis asu gedhe menang kerahe bukan keroyokkan bukan pula ala premanisme. Tatkala dilakukan kaum yang semestinya menjaga keteraturan malah merusak peradaban sebanarnya ini sudah sangat memalukan.

Mengapa demikian? Karena kekuatan kekuasaan kewenangan bahkan senjata hingga pasukan yang dimilikinya bukan untuk aarkisme. Bukan untuk merusak atau membunuh atau mematikan produktifitas. Nilai nilai untugible ini yang diabaikan bahkan dianggap tidak penting.

Seremonial sebenarnya kepura puraan ( pseudo) bukan ketulusan ini refleksi birokrasi yang sarat KKN. Kekuasaan dan penguasaan sumber daya menjadi kebanggaannya. Kepemimpinan kertas hanya berdasar skep. Tidak akan mampu nyontoni ngajari ngancani ngandani sampai mbayari.

Mungkin bisanya memprovokasi atau malah mengeksploitasi. Semua bermula dari pimpinannya. Tidak ada anak buah yang salah. Tatkala kebencian atau hate ini sudah memuncak tinggal menunggu issue saja sebagai trigernya.

Tatkala menjadi amuk massa maka aktor intelektual menghilang atau dihilangkan atau memang hanya kulit dan pesuruhnya saja yang disalahkan. Penegakkan atas peradaban seringkali tebang pilih atau ada klasifikasi kepentingan.

Mandulnya penegakkan peradaban ini membuat kejadian berulang dan efek perbaikan atau penyadaran tidak akan pernah ada. Yang ada hanya sebatas retorika mbulat mbulet saja.

Peradaban bukan sesederhana acara seremonial makan bersama olah raga bersama foto foto bersama. Ya oke lah menunjukkan adanya sesuatu upaya singkat cepat darurat.

Namun yang terpenting adalah pada penanaman nilai nilai patriotisme. Dari kejujuran, keberanian membela keadilan dan kebenaran bersaksi untuk kebenaran moralitas memperbaiki kesalahan kesalahan, keberanian melakukan perubahan hingga berpikir visioner menyiapkan masa depan yng lebih baik.

Seringkali pemimpin+pemimpin kertas tanpa kualitas akan merasa terlindungi mungkin banyak prewangannya atau boneka saja entahlah perilaku moral dan kompetensinya kadang memuakkan bahkan menjikkan.

Orang orang produk hutang budi tatkala berkuasa akan lupa kepada rakyatnya maka ia akan sibuk membalas budi. Menempatkan orang yang keliru apalagi aji mumpung atau nggege mongso cepat atau lambat akan membawa perusakan peradaban.

Kekuasaannya kewenangannya senjatanya pasukkannya sumber sumber dayanya hanya untuk gagah gagahan mungkin dikiranya sedang karnavalan.

CATEGORIES
TAGS
Share This