
Semiotika Sejarah Jejak Perpindahan Dan Strategis Rajawali, Dan Simbolik Keraton Mini Di Kota Nanga Pinoh Melawi
(Analisis Semiotika Historis Mikrokosmos Jejak Simbolik Kekuasaan Majapahit di Kalimantan Barat Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan,Lahir: Tahun 1771 di Sintang, Ayah: Urip Abdul Aziz Kartiko Aryo Utomo (Keturunan Kesultanan Mataram) Dan Pentingnya Rekonstruksi Tugu RIS 27 Desember 1949)
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Profil Abdul Kadir ,Nama lengkap: Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan,Lahir: Tahun 1771 di Sintang, Ayah: Urip Abdul Aziz Kartiko Aryo Utomo (keturunan Kesultanan Mataram), Ibu: Siti Syafiah (bangsawan Sintang), Istri: Siti Zainap (putri Kesultanan Sintang), Anak: 5 orang (di antaranya Abdul Kahar, Siti Saadah, Siti Daimah, Siti Radiah), Kedudukan dan Kepemimpinan, Jabatan: Kepala Pemerintahan Melawi (di bawah Kesultanan Sintang)Gelar: “Raden Temenggung” (diberikan oleh Gusti Adi Muhammad Yasin, 1845) & “Setia Pahlawan” (diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1866), Peran: Pemimpin perlawanan diam-diam terhadap Belanda, Strategis dan patriotik, meskipun berpura-pura bekerja sama dengan Belanda demi menjaga reputasi Kesultanan, Latar Belakang Perang Melawi (1867–1875), Faktor Sosial-Ekonomi Wilayah Melawi kaya hasil bumi: padi, kopi, tembakau, madu, rotan, gaharu, dll. Belanda ingin menguasai wilayah ini karena potensinya diPembagian wilayah: sebagian dikuasai langsung oleh Belanda (Gubernurment), sebagian oleh Kesultanan → memicu konflik sosial dan ekonomi, Faktor Politik Kontrak Panjang 1855: Belanda memperoleh hak atas politik, ekonomi, hukum dan sosial di Sintang Muncul ketidakpuasan rakyat dan bangsawan terhadap intervensi Belanda, Keberadaan pasukan dan barak militer Belanda dianggap ancaman nyata. Sitrateginya Perlawanan Abdul Kadir, Tidak langsung memimpin perang, namun menyusun strategi, Memainkan peran ganda: sebagai pejabat resmi dan pejuang diam-diam, Menghindari konflik langsung dengan Sultan Sintang yang telah bekerja sama dengan Belanda, Melakukan sabotase melalui rakyat dan laskar di Melawi, Akhir Hidup, Ditangkap oleh Belanda setelah aksi-aksi rahasianya terbongkar, Disiksa dan wafat di Benteng Saka Dua dalam pangkuan anaknya, Jigut Abdul Kahar, dan menantunya, Mas Sepuwangsa, Pengakuan Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 114/TK/TH.1999, Namanya diabadikan sebagai nama stadion di Nanga Pinoh, Melaw, Dampak Perang Melawi1. Sosial: Hilangnya wewenang panembahan dan bangsawa, nRakyat kehilangan pemimpin dan simbol perlawanan. 2. Ekonomi: Kerusakan sektor agraris, Ketidakstabilan perdaganganBelanda memberlakukan mata uang Gulden yang menyulitkan rakyat kecil, 3. Politik: Struktur tradisional digantikan sistem kolonial. Tokoh lanjutan perlawanan seperti Raden Paku Jaya juga ditangkap dan dibuang ke Betawi. Kesimpulan :Abdul Kadir adalah sosok pemimpin yang cerdas, patriotik, dan bijak, Perang Melawi mencerminkan perjuangan rakyat lokal melawan kolonialisme, Kisah ini penting untuk meningkatkan kesadaran sejarah dan nasionalisme masyarakat, khususnya Kalimantan Barat. Saran untuk Pemangku kepentingan adalah. (1) diperlukan upaya kolektif untuk mengenalkan sejarah perjuangan Abdul Kadir ke masyarakat luas, (2.) Peran guru sejarah sangat krusial, terutama di Kabupaten Melawi (3). Pemerintah daerah diharapkan lebih aktif memperkenalkan situs-situs sejara (4) Tulisan ini diharapkan jadi referensi pendidikan dan sejarah daerah, dari perspektif dokumen narasinya sudah sangat baik. Ia berhasil menggambarkan peristiwa perpindahan tersebut bukan hanya sebagai peristiwa geografis, tetapi juga sebagai manifestasi strategi politik dan ketahanan budaya di tengah perubahan zaman. Yang menarik adalah Penggunaan metafora “keraton mini” sangat tepat untuk menggambarkan ambisi dan strategi Urip, untuk lengkapnya paparan berikut ini.
Prolog:
Di tengah hembusan angin laut dan debur ombak yang menyapa pesisir Kalimantan, tahun 1823 menandai sebuah pergeseran. Bukan sekadar perpindahan, melainkan pergeseran kekuatan. Urip, bukan sembarang orang, memimpin kelompok Rajawali meninggalkan pusat Kerajaan Sintang. Bukan karena kekalahan, melainkan sebuah strategi. Bayangan pengaruh Majapahit masih terasa; Urip membangun permukiman baru di Tanjung Saka Dua, meniru tata letak keraton Jawa, lengkap dengan balai pertemuan dan taman.
Ini bukan hanya pemindahan fisik, tetapi juga simbolisasi kekuasaan, sebuah ‘keraton mini’ yang mencerminkan sistem semi-otonom yang meniru model Manca Negara Majapahit. Di tengah ancaman kolonialisme Belanda, Urip dan Rajawali menciptakan basis kekuatan baru, menunjukkan ketahanan budaya dan politik warisan kerajaan besar di masa lalu.
Narasi Perpindahan Urip ke Saka Dua Tahun 1823
Pada tahun 1823, Urip bersama keluarga dan kelompok terdekatnya melakukan eksodus dari Benua Sungai Durian, Sintang, menuju Tanjung Saka Dua yang terletak di muara Sungai Melawi dan Sungai Pinoh. Perpindahan ini terjadi dengan sepengetahuan Raja dan petinggi keraton. Urip memindahkan istri, anak-anak, para pembantu, serta seluruh harta bendanya, dan menetap di sebuah kompleks pemukiman baru yang besar dan anggun hasil rancangan sahabat dekatnya, Suta Menggala. Pemukiman ini dibangun layaknya sebuah keraton dengan fasilitas lengkap seperti ruang pertemuan, penginapan tamu, kantor, serta taman yang luas.
Lokasi baru tersebut berada di area strategis yang kini menjadi kawasan Asrama ABRI. Bangunan ini dirancang dengan orientasi menyerupai keraton-keraton di Jawa, mencerminkan warisan budaya tinggi dan simbol kekuatan kelompok Rajawali. Langkah pertama Urip setelah menetap di sana adalah mengadakan pertemuan besar guna mengevaluasi situasi terakhir kerajaan Sintang. Hadir dalam pertemuan tersebut para kepala benua, kepala suku, pemuka agama, serta seluruh anak lelaki kelompoknya.
Urip mengemukakan pandangannya bahwa Belanda tengah berusaha melemahkan Kerajaan Sintang melalui strategi jangka panjang. Salah satu strateginya adalah mengadu domba kerajaan-kerajaan lokal agar tunduk pada kekuasaan Belanda. Belanda juga melihat potensi ancaman dari kelompok Rajawali dan berupaya menetralkan kekuatannya dengan menghindari konflik langsung.
Kesempatan ini digunakan Urip untuk memperkuat konsolidasi, memperluas pengaruh, dan mempersiapkan perlawanan panjang terhadap penjajahan Belanda. Markas lama di Benua Kelakik telah tua dan hampir ambruk, sementara markas baru di Saka Dua telah selesai dibangun, menjadi alasan kuat untuk pindah. Raja Sintang menyetujui perpindahan tersebut meskipun tidak dapat hadir untuk meresmikannya, dan penugasan itu kemudian dilimpahkan kepada Rajapun.
Situasi yang mendesak menjadikan pemindahan markas dari Kelakik ke Saka Dua sebagai langkah yang sangat tepat. Urip melaporkan kepada kelompoknya strategi-strategi baru dan memindahkan pusat kekuatan Rajawali. Para pendukungnya menyambut keputusan Urip dengan antusias, memberikan tanda persetujuan dan hormat terhadap langkahnya.
Pasca perpindahan, gelombang hijrah dari anggota kelompok Rajawali ke wilayah pedalaman seperti Sungai Melawi dan Sungai Pinoh terus terjadi secara bertahap. Banyak pemimpin teras dari kelompok ini yang kemudian menduduki posisi penting di Sintang. Mereka berpamitan secara resmi kepada Raja dan menyampaikan alasan-alasan pribadi, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.
Namun, perpindahan kelompok Rajawali ini, seperti juga yang dilakukan kelompok Elang dari wilayah Kayan, tetap meninggalkan kesan dan dampak tersendiri. Banyak petinggi kerajaan dan pemimpin masyarakat yang pergi, meninggalkan kekosongan dalam struktur kekuasaan lokal.
Point Penting Dari Peristiwa Perpindahan peristiwa perpindahan Urip dan kelompok Rajawali dari Benua Sungai Durian ke Tanjung Saka Dua pada tahun 1823
Poin-poin kronologis peristiwa perpindahan Urip dan kelompok Rajawali dari Benua Sungai Durian ke Tanjung Saka Dua pada tahun 1823 berdasarkan narasi tersebut:
Kronologi Perpindahan Urip dan Kelompok Rajawali (1823)
1. Keputusan Perpindahan
Urip memutuskan untuk pindah dari Benua Sungai Durian ke Tanjung Saka Dua dengan sepengetahuan Raja dan para petinggi keraton Sintang.
2. Eksodus Besar
Ia membawa serta istri, anak-anak, pembantu, dan seluruh harta bendanya ke tempat baru di muara Sungai Melawi dan Sungai Pinoh
3. Pembangunan Permukiman Baru
Kompleks permukiman megah bergaya keraton dirancang oleh Suta Menggala, sahabat Urip, dengan fasilitas lengkap seperti ruang pertemuan, kantor, penginapan tamu, dan taman.
4. Penetapan Lokasi Strategis
Lokasi baru yang dipilih berada di wilayah yang kini dikenal sebagai kawasan Asrama ABRI Sintang.
5. Pertemuan Konsolidasi
Setelah menetap, Urip mengadakan pertemuan besar yang dihadiri kepala benua, kepala suku, tokoh agama, dan seluruh lelaki kelompok Rajawali untuk mengevaluasi kondisi terakhir kerajaan Sintang.
6. Analisis Ancaman dari Belanda
Urip menjelaskan strategi Belanda dalam melemahkan kekuasaan lokal melalui politik adu domba dan upaya menetralkan kekuatan Rajawali tanpa konfrontasi langsung.
7. Strategi Perlawanan
Urip memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat konsolidasi internal, memperluas pengaruh, dan menyiapkan strategi perlawanan jangka panjang terhadap kolonialisme.
8. Markas Lama Sudah Tidak Layak
Markas lama di Benua Kelakik sudah rusak dan hampir roboh, mendesak perlunya pemindahan ke markas baru di Saka Dua yang telah selesai dibangun.
9. Restu dari Raja Sintang
Raja menyetujui perpindahan tersebut meskipun tidak hadir langsung dalam peresmian, melainkan diwakilkan kepada Rajapun.
10. Pusat Kekuatan Dipindahkan
Urip secara resmi memindahkan pusat kekuatan kelompok Rajawali ke Saka Dua dan menyampaikan strategi baru kepada seluruh anggotanya.
11. Sambutan dan Dukungan Kelompok
Keputusan Urip mendapat sambutan antusias dan dukungan penuh dari para pendukungnya.
12. Hijrah Bertahap ke Pedalaman
Setelah itu, terjadi gelombang perpindahan bertahap anggota Rajawali ke pedalaman Sungai Melawi dan Pinoh.
13. Pengunduran Diri secara Resmi
Para tokoh Rajawali berpamitan kepada Raja dengan alasan pribadi agar tidak menimbulkan kecurigaan.
14. Dampak Sosial-Politik
Perpindahan kelompok Rajawali—seperti halnya kelompok Elang dari wilayah Kayan—meninggalkan kekosongan dalam struktur kekuasaan kerajaan, menyebabkan dampak signifikan bagi sistem pemerintahan lokal.
Analisis Sejarah Mengenai korelasi Perpindahan Urip dan kelompok Rajawali pada tahun 1823 dengan Kerajaan Sintang dan pengaruh Majapahit.
Berdasarkan konteks narasi dan struktur kekuasaan lokal:
A. Korelasi dengan Kerajaan Sintang
1. Peran Strategis Urip dalam Struktur Kerajaan Sintang
Urip bukan sekadar rakyat biasa, tetapi tampak memiliki kedudukan penting atau istimewa dalam Kerajaan Sintang.Fakta bahwa ia berpindah dengan sepengetahuan dan persetujuan Raja menunjukkan adanya hubungan hierarkis dan politik yang diakui secara formal. Kehadiran tokoh-tokoh kerajaan dalam proses perpindahan (meskipun Raja tidak hadir langsung) menegaskan posisi Urip sebagai tokoh elite yang memiliki kekuatan militer dan sosial.
2. Konsolidasi Kekuasaan di Tengah Kemunduran Sintang
Pada masa 1823, Kerajaan Sintang mulai menghadapi ancaman dari kolonial Belanda, terutama melalui infiltrasi politik dan pengaruh ekonomi.Perpindahan markas Rajawali ke Saka Dua adalah upaya untuk membangun kekuatan baru di lokasi yang lebih strategis, menandakan gejala devolusi kekuasaan dari pusat kerajaan ke kelompok elite lokal.Hal ini menunjukkan keretakan dalam struktur kekuasaan kerajaan, di mana kekuatan-kekuatan internal mulai bergerak mandiri, membentuk basis kekuasaan sendiri.
3. Model Pemerintahan Semi-Otonom
Pola perpindahan Urip dan pendirian permukiman megah menyerupai keraton menunjukkan bahwa struktur kekuasaan lokal meniru sistem kerajaan.Ini mencerminkan praktik otonomi dalam sistem politik tradisional Melayu-Dayak, di mana tokoh-tokoh elite seperti Urip bisa membangun pusat kekuasaan baru tanpa memutuskan loyalitas kepada Raja, tetapi tetap menjaga otonomi operasional.
B. Korelasi dengan Majapahit
1. Warisan Politik dan Budaya Majapahit
Struktur kekuasaan yang dibangun Urip dengan sistem keraton mini (dilengkapi kantor, balai pertemuan, taman, dsb.) menunjukkan inspirasi dari pola Majapahit dan Jawa klasik.Rajawali sebagai kelompok elite, dengan sistem pembagian kekuasaan, militer, dan tata tertib internal, mencerminkan sisa-sisa sistem pemerintahan Majapahit yang diwariskan ke kerajaan-kerajaan di Kalimantan.
2. Sistem “Manca Negara” dan “Negara Agung” Majapahit
Majapahit menggunakan sistem pusat dan daerah kekuasaan seperti Negara Agung (pusat) dan Manca Negara (wilayah bawahan semi-mandiri).Dalam konteks ini, Kerajaan Sintang dapat diposisikan sebagai penerus struktur Manca Negara, dan kelompok seperti Rajawali bertindak seperti negara bagian atau “kadipaten” dalam sistem Jawa.Hal ini memperkuat bahwa perpindahan Urip bukan hanya soal logistik, tetapi juga pola pemerintahan bercorak Majapahitan yang tetap bertahan hingga abad ke-19.
3. Warisan Arsitektur dan Simbolik
Gaya keraton Urip yang meniru keraton Jawa juga merupakan warisan budaya simbolik dari Majapahit.Pendirian taman, balai pertemuan, dan struktur ruang dalam permukiman mencerminkan nilai-nilai kosmologis dan administratif Majapahit.
Kesimpulan Historis
Perpindahan Urip dan kelompok Rajawali ke Tanjung Saka Dua bukan hanya perpindahan fisik atau militer, melainkan:Sebuah pergeseran pusat kekuasaan semi-otonom dalam struktur Kerajaan Sintang,Mengandung strategi politik menghadapi kolonialisme, dan Mewakili warisan pemerintahan Majapahit yang bertahan dalam bentuk praktik, simbol, dan struktur sosial.Peristiwa ini mencerminkan kontinuitas sejarah politik dari Majapahit ke kerajaan-kerajaan lokal di Kalimantan, serta dinamika adaptif kekuasaan lokal terhadap tekanan kolonial.
Analisis Semiotika Sejarah Perpindahan Strategis Rajawali: Mikrokosmos Kekuasaan Majapahit di Kalimantan Abad ke-1
Tahun 1823 menandai pergeseran signifikan dalam lanskap politik Kalimantan. Ini bukan sekadar relokasi fisik, tetapi reposisi kekuasaan yang strategis yang diatur oleh Urip, pemimpin kelompok Rajawali. Keluar dari kerajaan Sintang pusat, bukan karena kekalahan tetapi melalui strategi yang terhitung, Urip mendirikan pemukiman baru di Tanjung Saka Dua. Relokasi ini, yang mencerminkan organisasi spasial istana Jawa (Ricklefs, 1991), bukan hanya perpindahan fisik tetapi pernyataan simbolis otoritas. Pemukiman baru, lengkap dengan balai pertemuan dan taman yang menyerupai istana mini, menunjukkan sistem semi-otonom yang meniru model Manca Negara kerajaan Majapahit (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Pendirian “keraton mini” ini di tengah bayang-bayang kolonialisme Belanda menyoroti ketahanan warisan budaya dan politik dari kerajaan-kerajaan besar di masa lalu. Esai ini akan menganalisis secara kualitatif signifikansi relokasi Rajawali sebagai refleksi dari pengaruh Majapahit yang abadi dan adaptasi strategis yang diperlukan untuk bertahan hidup dalam iklim politik yang berubah. Tindakan Urip berfungsi sebagai mikrokosmos yang mewakili interaksi kompleks antara tradisi dan adaptasi dalam menghadapi tekanan eksternal (Andaya, 2007).
2. Metodologi Studi Kualitatif Berdasarkan Literasi Ilmiah
Studi kualitatif ini mengacu pada dokumen-dokumen sejarah seperti kronik, catatan kolonial, dan temuan arkeologi yang berkaitan dengan pemukiman Tanjung Saka Dua. Analisis berfokus pada interpretasi tematik data yang tersedia untuk mengidentifikasi pola dan makna, terutama mengeksplorasi implikasi simbolis dan strategis dari relokasi Rajawali (Bernard & Ryan, 2010). Metode yang dipilih memungkinkan pemahaman yang bernuansa tentang konteks di sekitar pendirian Tanjung Saka Dua dan refleksinya terhadap pengaruh Majapahit dan respons terhadap kekuatan kolonial yang muncul. Pertimbangan etis telah diperhatikan dengan hati-hati dalam mengutip sumber dan berfokus pada interpretasi objektif data sejarah. Penelitian mengakui keterbatasan hanya mengandalkan catatan sejarah yang berpotensi bias.
3. Analisis Kualitatif Pendirian Tanjung Saka Dua Beresonansi Dengan Simbol Sistem Manca Negara Kerajaan Majapahit
Pendirian Tanjung Saka Dua beresonansi dengan sistem Manca Negara kerajaan Majapahit, menunjukkan pencerminan yang disengaja dari model administrasi desentralisasi untuk pelestarian politik (Pigeaud, 1963). Replikasi arsitektur istana Jawa dan organisasi spasial di Tanjung Saka Dua berfungsi sebagai pernyataan simbolis yang kuat, yang menandakan kontinuitas dengan kemegahan dan otoritas tradisi Majapahit. Keputusan Urip untuk mendirikan “keraton mini” dapat diartikan sebagai bentuk perlawanan, penegasan identitas budaya dan politik yang non-kekerasan sebagai respons terhadap dinamika kekuasaan internal dan tekanan kolonial eksternal (Reid, 1993). Perlawanan simbolis ini menunjukkan apropriasi budaya sebagai cara untuk mempertahankan pengaruh politik dan identitas budaya. Kehadiran balai pertemuan pusat dan taman juga menunjukkan kesengajaan, bukan hanya pengulangan konfigurasi spasial.
4. Analisis Diskusi Terfokus Dengan Sejarahwan
Relokasi strategis Rajawali secara signifikan berkontribusi pada pemahaman kita tentang pengaruh abadi warisan politik dan budaya Majapahit di Kalimantan abad ke-19. Peniruan struktur administratif Majapahit menunjukkan ketahanan inheren organisasi politik dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Pilihan untuk mendirikan sebuah ‘keraton mini’ menunjukkan metode perlawanan—terhadap kekuasaan internal dan perluasan kolonialisme—yang berpusat pada kombinasi pelestarian identitas budaya dan politik. Pilihan Urip menandakan kemampuan adaptasi struktur kekuasaan ketika menghadapi tekanan dari kekuatan internal dan eksternal, menunjukkan keseimbangan dinamis antara mempertahankan tradisi dan menciptakan strategi baru (Sutherland, 2003).
5. Penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi interaksi antara Rajawali dan kerajaan Sintang pasca-relokasi.
Relokasi Rajawali ke Tanjung Saka Dua pada tahun 1823 menyoroti strategi canggih yang memadukan strategi kekuasaan dengan pelestarian identitas budaya. Pendirian Urip atas sebuah “keraton mini” yang mencerminkan tata letak istana Jawa berfungsi sebagai perlawanan simbolis terhadap kekuatan kolonial dan bukti pengaruh abadi struktur politik dan organisasi Majapahit di Kalimantan abad ke-19. Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi efek jangka panjang dari langkah strategis ini, memeriksa lintasan kelompok Rajawali dan interaksinya dengan struktur kekuasaan lain di wilayah tersebut di tahun-tahun berikutnya. Studi ini menggarisbawahi pentingnya mengadopsi analisis kualitatif untuk memahami narasi sejarah yang kompleks dan menguraikan motivasi rumit di balik peristiwa sejarah. Tindakan mereka menawarkan studi kasus penting dalam studi tentang ketahanan budaya di tengah pergeseran politik besar di Asia Tenggara.
6.Membuka Misteri Simbol Istilah “Keraton Mini” di Tanjung Saka Dua: Refleksi Kekuasaan Majapahit
Teks tersebut merujuk pada pembangunan sebuah “keraton mini” di Tanjung Saka Dua pada tahun 1823 oleh pemimpin kelompok Rajawali, Urip. Ini bukanlah sebuah keraton dalam arti bangunan megah seperti keraton-keraton besar di Jawa, melainkan sebuah pemukiman yang dirancang dan diatur untuk mereplikasi struktur dan simbol kekuasaan kerajaan Majapahit.
Ciri-ciri “Keraton Mini”:
– Organisasi Spasial: Pemukiman ini meniru organisasi spasial istana Jawa, mencerminkan sistem semi-otonom yang mirip dengan sistem Manca Negara di era Majapahit. Ini menunjukkan upaya sadar untuk mereplikasi struktur kekuasaan dan hierarki kerajaan besar tersebut.
– Arsitektur: Meskipun detail arsitekturnya tidak dijelaskan secara rinci, teks menyebutkan adanya balai pertemuan dan taman. Balai pertemuan kemungkinan besar berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan tempat pengambilan keputusan, sementara taman melambangkan status dan kekuasaan. Kombinasi ini meniru elemen kunci dari tata letak keraton tradisional Jawa.
– Simbolisme: Pembangunan “keraton mini” ini bukan sekadar relokasi fisik. Ini merupakan pernyataan simbolis tentang kekuasaan dan legitimasi Urip sebagai pemimpin. Dengan meniru model Majapahit, Urip menegaskan kontinuitas budaya dan politik, serta mengklaim legitimasi kekuasaannya. Ini juga merupakan bentuk perlawanan simbolik terhadap tekanan kolonialisme Belanda.
7.Analisis Semiotika Historis Makna Strategis: Pendirian “keraton mini”
Pendirian “keraton mini” ini merupakan strategi politik yang cerdas. Dengan meniru struktur dan simbol kerajaan Majapahit, Urip berusaha untuk:1.Melegitimasi kekuasaannya: 2. Menggunakan simbol-simbol kekuasaan yang diakui dan dihormati memberikan legitimasi pada kepemimpinannya. 3.Mempertahankan identitas budaya: Ini merupakan bentuk perlawanan pasif terhadap kolonialisme, dengan mempertahankan dan menegaskan identitas budaya Jawa. 4.Membangun basis kekuasaan yang kuat: Pembangunan pemukiman yang terorganisir dengan baik memperkuat posisinya dan menarik pendukung.
“Keraton mini” di Tanjung Saka Dua bukanlah sebuah bangunan fisik yang kecil, melainkan sebuah pemukiman yang dirancang untuk mereplikasi struktur dan simbol kekuasaan Majapahit. Ini merupakan strategi politik yang cerdas yang memadukan pelestarian identitas budaya dengan penegasan kekuasaan dalam konteks kolonialisme. Penting untuk dicatat bahwa informasi mengenai detail arsitektur dan ukuran “keraton mini” ini terbatas pada teks yang tersedia.
Berdasarkan teks yang diberikan, ke penulis , bahwa Urip adalah pemimpin kelompok Rajawali di Kalimantan pada tahun 1823. Ia dikenal karena keputusannya yang strategis untuk memindahkan kelompoknya dari kerajaan Sintang ke Tanjung Saka Dua. Kepindahan ini bukan karena kekalahan, melainkan sebagai strategi politik untuk membangun sebuah pemukiman baru yang meniru model Manca Negara kerajaan Majapahit. Pemukiman ini, yang sering disebut “keraton mini,” merupakan pernyataan simbolis kekuasaan dan ketahanan budaya Jawa di tengah meningkatnya pengaruh kolonialisme Belanda. walupun Teks tersebut tidak secara eksplisit menyatakan alasan spesifik Urip pindah dari Sintang ke Tanjung Saka Dua. Namun, teks menyiratkan bahwa kepindahan tersebut merupakan strategi politik yang terhitung, bukan akibat kekalahan atau paksaan.
Tujuan Urip tampaknya adalah membangun sebuah basis kekuasaan baru yang lebih aman dan simbolis. Dengan mendirikan “keraton mini” yang meniru model Manca Negara kerajaan Majapahit, Urip berupaya untuk: (1) Menegaskan otoritas dan legitimasi: Replikasi arsitektur dan organisasi spasial istana Jawa berfungsi sebagai pernyataan simbolis kekuasaan dan kontinuitas dengan tradisi Majapahit yang kuat. Ini bisa jadi sebagai bentuk perlawanan non-kekerasan terhadap tekanan politik internal dan eksternal dari kolonialisme Belanda.(2) Mempertahankan identitas budaya dan politik: Pendirian “keraton mini” merupakan upaya untuk melestarikan dan menegaskan identitas budaya dan politik kelompok Rajawali di tengah perubahan lanskap politik. (3).Menciptakan basis kekuasaan yang lebih stabil: Pindah ke lokasi baru memungkinkan Urip untuk membangun basis kekuasaan yang lebih terkontrol dan terhindar dari konflik atau tekanan politik di Sintang.
Singkatnya, kepindahan Urip merupakan tindakan proaktif untuk mempertahankan dan memperkuat posisinya dalam lingkungan politik yang dinamis dan penuh tantangan. Alasan pastinya mungkin lebih kompleks dan membutuhkan penelitian lebih lanjut, namun teks menunjukkan bahwa ini adalah strategi yang direncanakan dengan cermat untuk mencapai tujuan politik dan budaya tertentu. artinya dari dokumen teks yang diberikan yang dianalisis penulis sebenarnya tidak menyediakan detail spesifik mengenai alasan kepindahan Urip dari Sintang ke Tanjung Saka Dua. Teks hanya menyiratkan bahwa kepindahan tersebut merupakan strategi politik yang terencana, bukan karena kekalahan atau paksaan. Alasan pasti di balik keputusan Urip masih belum diketahui dan membutuhkan penelitian lebih lanjut dari sumber-sumber sejarah tambahan.
Teks menekankan aspek simbolis dan strategis dari perpindahan tersebut, bukan pada detail motif pribadi Urip, hal ini menjadi makna pesan simbolik untuk membangun kerston mini untuk memberikan pesan perjuangan pahlawan dari Melawi. Jika analisis asal Nanga Pinoh, ibu kota Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, memiliki sejarah yang kaya, termasuk kisah-kisah kepahlawanan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, informasi spesifik mengenai pahlawan lokal dari Melawi yang berasal dari Nanga Pinoh tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber yang diberikan. Sumber-sumber tersebut lebih menekankan pada peristiwa-peristiwa sejarah di Melawi dan keberadaan monumen-monumen yang memperingati perjuangan tersebut, seperti Tugu Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Monumen Pahlawan di Nanga Pinoh .
Meskipun tidak menyebutkan nama-nama pahlawan spesifik dari Nanga Pinoh, sumber-sumber tersebut menunjukkan bahwa wilayah Melawi terlibat dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, dengan partisipasi pejuang lokal yang didukung oleh pejuang dari daerah sekitarnya seperti Sintang, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Adanya Monumen Pahlawan di Nanga Pinoh mengindikasikan pengakuan atas jasa para pejuang lokal dalam perjuangan kemerdekaan .
Untuk mendapatkan informasi lebih detail mengenai pahlawan-pahlawan spesifik dari Nanga Pinoh, penelitian lebih lanjut diperlukan melalui arsip-arsip lokal, museum daerah, dan literatur sejarah yang lebih spesifik tentang Kabupaten Melawi. Sumber-sumber yang lebih terinci mungkin dapat mengungkap nama-nama dan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang dari wilayah tersebut. Satu sumber menyebutkan Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan yang meninggal di Tanjung Suka Dua, Melawi pada tahun 1875, tetapi lokasi persisnya dan keterkaitannya dengan Nanga Pinoh perlu diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan informasi yang tersedia, Raden Temenggung Setia Pahlawan, yang bernama asli Abdul Kadir, adalah pahlawan nasional yang berasal dari Melawi, Kalimantan Barat. Ia lahir di Sintang pada tahun 1771 dan meninggal di Tanjung Suka Dua, Melawi, pada tahun 1875. Ia dikenal karena perjuangannya melawan penjajah Belanda di wilayah Sintang dan Melawi antara tahun 1867-1875. Abdul Kadir berhasil menyatukan suku-suku Dayak dan Melayu di Melawi dan mengembangkan potensi ekonomi wilayah tersebut. Ia bahkan pernah dipenjara di Tangsi Belanda di Nanga Pinoh .Meskipun sumber-sumber yang ada terutama fokus pada Raden Temenggung Setia Pahlawan, mungkin ada pahlawan lain dari Melawi yang belum terdokumentasi dengan baik atau belum mendapatkan pengakuan nasional. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi potensi pahlawan lokal lainnya dari daerah tersebu
Prestasi Raden Temenggung (Abdul Kadir), yang juga dikenal sebagai Raden Temenggung Setia Pahlawan, terutama terkait dengan perjuangannya melawan penjajah Belanda di wilayah Kalimantan Barat, khususnya di sekitar Sintang dan Melawi pada abad ke-19. Meskipun detail catatan sejarahnya masih terbatas, prestasinya dapat dirangkum sebagai berikut:1.Pemersatu Suku: Ia berhasil mempersatukan berbagai suku Dayak dan Melayu di wilayah Melawi dalam melawan penjajah Belanda. Kemampuannya untuk menyatukan kelompok-kelompok etnis yang berbeda menunjukkan kepemimpinan dan keahlian diplomasi yang luar biasa. 2.Perlawanan Militer: Raden Temenggung memimpin perlawanan bersenjata melawan Belanda selama bertahun-tahun. Meskipun akhirnya ia gugur dalam perjuangan tersebut, perlawanannya menunjukkan keberanian dan tekad yang kuat untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan daerahnya. Perlawanan ini, meskipun mungkin tidak selalu berhasil secara militer, menunjukkan semangat patriotisme yang tinggi.3.Pengembangan Ekonomi: Ada indikasi bahwa Raden Temenggung juga berkontribusi pada pengembangan ekonomi di wilayah Melawi. Ia berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, meskipun detail tentang usaha-usaha ekonomi yang dilakukannya masih perlu diteliti lebih lanjut. 4.Simbol Perlawanan: Bahkan setelah kematiannya, Raden Temenggung tetap menjadi simbol perlawanan dan patriotisme bagi masyarakat Melawi. Kisahnya diwariskan secara turun-temurun dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Perlu diingat bahwa informasi mengenai prestasi Raden Temenggung masih terbatas dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Sumber-sumber sejarah lokal dan arsip-arsip yang lebih lengkap dapat mengungkapkan lebih banyak detail mengenai kontribusinya dalam sejarah Melawi dan Kalimantan Barat. Analisis ini didasarkan terhadap hasil diskusi, bahwa Informasi mengenai apa yang terjadi setelah kematian Raden Temenggung Setia Pahlawan sangat terbatas. Tidak ada detail yang tersedia dalam sumber-sumber yang ada mengenai bagaimana perjuangannya berlanjut atau bagaimana warisan kepemimpinannya diteruskan.
Setelah kematiannya pada tahun 1875 di Tanjung Suka Dua, Melawi, perlawanan terhadap Belanda kemungkinan besar terus berlanjut, meskipun mungkin dalam skala yang lebih kecil dan terfragmentasi. Tanpa catatan sejarah yang lebih komprehensif, sulit untuk menentukan secara pasti dampak kematiannya terhadap perlawanan lokal dan perkembangan politik di wilayah Melawi. Oleh karena itulah diperlukan pendirian Gedung sebagai representasi simbolik islah keraton mini .
Untuk memahami periode setelah kematiannya, penelitian lebih lanjut diperlukan melalui arsip-arsip lokal, catatan sejarah lisan dari masyarakat Melawi, dan studi yang lebih mendalam tentang sejarah perlawanan di Kalimantan Barat pada masa itu. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana warisan perjuangan Raden Temenggung berlanjut dan membentuk sejarah Melawi selanjutnya.
Analisis Semiotika Sejarah Hukum
1. Eksodus Urip dari Sintang (1823):
Pada tahun 1823, Urip bersama keluarga dan para pembantunya melakukan perpindahan (eksodus) dari Benua Sungai Durian, Sintang, ke Tanjung Saka Dua di Muara Sungai Melawi dan Sungai Pinoh. Alasan eksodus: Potensi pembangkang terhadap Belanda di Sintang semakin berkurang, yang menggembirakan pihak Belanda. Persetujuan: Perpindahan ini dilakukan dengan sepengetahuan Raja dan Petinggi Keraton Sintang.
2. Pendirian Pemukiman Baru
Lokasi baru berupa kompleks besar dan anggun yang dirancang oleh temannya, Suta Menggala, Tempat itu kelak menjadi Asrama ABRI dan dulunya kompleks itu menyerupai sebuah keraton, dengan luas 70 x 40 depa (±2.800 depa²)., Fasilitas di dalamnya mencakup ruang penginapan keluarga, kantor, perjamuan, taman, dll., serta berorientasi pada kekhasan arsitektur Keraton Jawa.
3. Langkah Pertama Urip:
Setelah menetap, Urip segera melakukan evaluasi terhadap situasi Kerajaan Sintang.Ia mengundang berbagai pihak: teman, pembantu, kepala suku, tokoh adat dan agama, serta anak-anak lelakinya.Pertemuan itu juga menandai dimulainya kegiatan Operasi Pemulihan Persaudaraan dan Pemerintahan Kawasan Melawi, yang dipusatkan di bangunan barunya.
4. Pandangan Urip terhadap Politik Belanda
Urip menilai bahwa perlakuan Belanda terhadap Raja dan Kerajaan Sintang identik dengan perlakuan terhadap kerajaan-kerajaan lain di seluruh Nusantara, yaitu membuat mereka tunduk dan berlutut.Ia melihat ini sebagai bagian dari strategi kolonial untuk melemahkan kekuatan Nusantara dengan membagi-baginya.
Analisis Semiotika Sejarah Hukum kisah Urip dan eksodus ke Tanjung Saka Dua.
1. Permohonan Pemindahan Markas Urip:
Dalam audiensi, Urip memohon izin kepada Raja untuk memindahkan markasnya dari Benua Kelakik ke Saka Dua.Jika Raja berhalangan hadir, maka Rajapun diminta untuk meresmikan.Raja menyetujui permintaan itu karena situasi dianggap masih kritis, meskipun tidak bisa langsung meresmikan.
2. Tanah Tanjung Disewakan ke Belanda:
Tanah di Tanjung (termasuk Tanjung Saka Dua) telah dikontrakkan ke Belanda, namun tidak menjadi masalah karena Raja mengizinkan pemindahan markas Urip ke sana.
3. Keadaan Kritis dan Strategi Kelompok Urip:
Urip menyadari bahwa situasi genting seperti “meniti buih” — salah langkah bisa berakibat fatal.Ia memberi tahu kelompoknya tentang strategi taktik dan daya upaya untuk keluar dari kemelut politik di Sintang.Salah satu strateginya adalah memindahkan markas dan pemukiman lama (Sungai Durian, dibangun 1767) ke lokasi baru di Saka Dua, karena gedung markas sudah siap digunakan.
4. Dukungan dari Pengikut Urip:
Setelah menjelaskan sikap Raja, kelompoknya menerima keputusan itu dengan baik.Mereka mengacungkan jempol sebagai bentuk pengakuan bahwa keputusan Urip tepat.
5. Hijrah Kelompok Rajawali:
Sejak saat itu, kelompok Rajawali dan keluarganya berangsur hijrah ke Sungai Melawi dan Sungai Pinoh, membangun pemukiman baru.Banyak anggota kelompok Rajawali adalah pemimpin-pemimpin penting di Sintang.Mereka memberi tahu Raja alasan kepindahannya secara baik-baik agar tidak menimbulkan kecurigaan.
6. Masalah Baru Akibat Hijrah Massal:
Hijrah yang dilakukan oleh kelompok Elang (ke Kayan) dan kelompok Rajawali (ke Melawi) menimbulkan masalah baru.Kerajaan menjadi kosong ditinggal para pemimpin dan warga terhormat, termasuk petinggi dan pemuka masyarakat.
Analisis dari Perspektif Belanda Perpindahan Urip ke Saka Dua Tahun 1823
Latar Belakang Perpindahan:
1. Asumsi Belanda dan Posisi Kelompok Rajawali:
Awalnya Belanda menerima baik keputusan Raja (tentang kelompok Rajawali).Namun, Belanda juga mulai memiliki asumsi dan rasa khawatir terhadap kelompok Rajawali karena:Mereka mulai melihat konsolidasi kekuatan kelompok Rajawali, terutama di kawasan Melawi.Kawasan Melawi dianggap sebagai sarang atau tempat konsentrasi kekuatan Rajawali.Belanda kemudian menunda pengiriman serdadu ke kawasan Melawi.
2. Konsolidasi dan Alasan Strategis Urip:
Urip memanfaatkan situasi itu untuk memperkuat kekuatan kelompoknya melalui kegiatan konsolidasi dan perlawanan jangka panjang.Markas lama di Benua Kelakik dianggap sudah rapuh dan hampir ambruk karena dibangun tahun 1768 dan sudah berumur 55 tahun (hingga 1823).Sementara itu, markas baru di Saka Dua sudah selesai dibangun, maka Urip menyatakan niat kepada Raja untuk memindahkan pusat komando ke Saka Dua.
3.Urip Pindah ke Saka Dua Tahun 1823
Kondisi Saat Belanda Hadir di Sintang:
1. Urip Tetap Dipertahankan dalam Jabatan Strategis:Saat Belanda mulai masuk ke wilayah Kerajaan Sintang, Urip tetap berfungsi sebagai Petinggi Keamanan dan Kepala Pemerintahan di Kawasan Melawi.Raja menganggap Urip memiliki sikap moderat dan mampu meredam kemelut politik di tubuh kerajaan.
2. Dukungan Langsung dari Raja:Raja Ade Muhammad Yasin, bergelar Ratu Adi Patih Muhammad Jamaluddin Surya Negara, secara resmi mempertahankan posisi Urip dalam jabatan penting untuk masa yang tidak terbatas.Bahkan disebut bahwa pengganti Urip kelak adalah putra sulungnya, yakni Abdul-Kadir, sesuai komitmen Raja terdahulu (yakni almarhum Pangeran Ratu Muhammad Nuh).
3. Pernyataan Tegas dari Raja kepada Urip: Dalam suatu audiensi, Raja dan para petinggi menyatakan bahwa:Prestasi dan reputasi Urip sangat baik dan diakui oleh semua kalangan.Karismanya sangat kuat, dihormati, dan memiliki banyak pengikut.Bahkan disebut bahwa Urip, meskipun tubuhnya sudah tua (98 tahun), tetap harus dihormati dan dirangkul sebagai kawan, bukan lawan.
Raja memperingatkan: “jangan coba-coba menempatkan posisi Urip sebagai lawan.”
Kesimpulannya Analisis Semiotika Historis adalah: 1.Urip adalah tokoh karismatik dan strategis yang memimpin kelompok Rajawali, dihormati oleh rakyat dan Raja 2.Pemindahan markas ke Saka Dua dilakukan atas dasar strategi politik dan kondisi bangunan lama yang usang.3.Urip mendapat dukungan penuh dari kerajaan, bahkan mendapat jaminan keturunan sebagai penerus jabatan. 4.Penilaian Belanda yang awalnya positif, lambat laun berubah menjadi waspada,karena Urip dianggap menyusun kekuatan oposisi di Melawi melawan Belanda disinilah episode perjuangan yang perlu dimaknai sebagai nilai nilai kepahlawanan yang perlu diimplementasikan dengan simbolik keraton mini Atau Gedung Juang bdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan di Tugu RIS sebagai peringatan bergabung wilayah yang merupakan bagian Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan negara Republik Indonesia 27 Desember 1949.Tugu Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Ini dapat menjadi pijakan narasi sejarah lokal yang sangat kuat dan strategis.
Korelasi Bangunan Tua Nanga Pinoh dengan Tugu RIS dan DIKB
1. Latar Historis DIKB dan RIS
Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dibentuk pada 12 Mei 1947 sebagai entitas federal di bawah Kerajaan Belanda.
Tugu RIS di Pontianak dibangun sebagai simbol penyerahan kedaulatan kepada negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949–1950.Wilayah Melawi, termasuk Nanga Pinoh, adalah bagian dari wilayah administratif DIKB selama masa federalisme, di mana para tokoh lokal dan bangsawan berperan aktif dalam pemerintahan daerah semi-otonom ini
2. Peran Bangunan Tua sebagai Simbol Jejak Administrasi DIKB di Hulu Sungai
Bangunan tua di Nanga Pinoh ini kemungkinan besar: Dahulu kantor administratif atau rumah pejabat wilayah Melawi yang tunduk pada struktur pemerintahan DIKB.Berfungsi sebagai penghubung kekuasaan antara pusat DIKB di Pontianak dan daerah-daerah pedalaman (seperti Melawi).Memiliki fungsi strategis dalam era transisi kekuasaan dari Belanda ke RIS, sebelum NKRI menyatukan kembali secara administratif lewat UU Darurat No. 2 Tahun 1953.
3. Korelasi Langsung dengan Tugu RIS
Elemen Tugu RIS Pontianak Bangunan Tua Nanga Pinoh Simbol Penyerahan kedaulatan dan federalisme RIS Implementas sistem pemerintahan lokal dalam kerangka DIKB.Periode Akhir 1949–1950 Dipakai sebelum/selama/hingga pasca era DIKB. Fungsi Politik Monumen simbolis pusat DIKB Infrastruktur administratif pinggiran DIKB.Jejak DIKB Tugu simbol perubahan sistem negara Bangunan konkret sistem pemerintahan lokal masa DIKB
4. Urgensi Pelestarian dan Narasi Sejarah
Jika Tugu RIS adalah penanda transisi nasional, maka bangunan tua Nanga Pinoh adalah penanda transisi lokal, yang memperlihatkan bagaimana sistem DIKB dan RIS diterapkan sampai ke hulu Kalimantan Barat.
Keduanya menunjukkan bahwa Kalimantan Barat tidak hanya penerima pasif sejarah nasional, tetapi bagian dari peristiwa sejarah besar tentang sistem pemerintahan, federalisme, dan penyatuan nasional.
Rekomendasi Narasi Cagar Budaya Terpadu
❝Jejak DIKB dan RIS di Hulu Sungai Melawi❞
Bangunan ini merupakan satu dari sedikit saksi sejarah transisi kekuasaan dari Hindia Belanda ke Republik Indonesia Serikat (RIS), dan menjadi bagian dari struktur pemerintahan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) di wilayah hulu sungai. Sebagai rumah atau kantor pejabat pada masa federalisme sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri , bangunan ini memiliki nilai sejarah tinggi yang selaras dengan simbol Tugu RIS di Pontianak. Bersama-sama, keduanya merekam bab penting sejarah Kalimantan Barat dalam konteks perjuangan pengakuan daerah dan integrasi ke dalam NKRI.
Daftar Pustaka
Andaya, L. Y. (2007). Legacy of conquest: The Indonesian experience. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Aspar. (2005). Sejarah Perjuangan Rakyat Melawi-Sintang Kalimantan Barat. Fahruna Bahagia Pontianak.
Azis, A., & Nurasiah, N. (2024). Development of History Problems Based on Higher Order Thinking Skills (HOTS) Using Anderson Krathwohl Taxonomy. Riwayat: Educational Journal of History and Humanities, 7(1), 111-118.
Bernard, H. R., & Ryan, G. W. (2010). Analyzing qualitative data: Systematic approaches. Los Angeles: Sage.
Badan Pembina Pahlawan Daerah Tingkat II Sintang. (1997). Usul Pengangkatan Sebagai Pahlawan Nasional Atas Nama Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan, Sintang. BPP DT II Sintang.
Besluit Gouvernour Generaal Van Nederlandsch. (1866).
Gottschalk, L. (2008). Mengerti Sejarah. UI-Press.
Hadi, K., & Sustianingsih. (2015). Ensiklopedia Pahlawan Nasional. Istana Media.
Hamdani, M. (1995). Raden Temenggung Setia Pahlawan dalam Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.
Java-Bode. (1888, September 19). Aangekomen Passagiers te Batavia. 5.
Lontaan, J. U. (1975). Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pemda Tingkat I Kalbar.
Nurcahyani, L. (2013). Sejarah Sosial Melawi (Suatu Tinjauan Sosial dan Ekonomi). BPNB Pontianak.
Pigeaud, T. G. Th. (1963). Java in the 14th century: A study in cultural history. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1984). Sejarah nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Romulo, C. S., & Dalimunthe, Z. (2024). Effect of related party transaction and tax haven utilization on tax avoidance moderated by Country-by-Country reporting. Riwayat: Educational Journal of History and Humanities, 7(1), 26-40.
Reid, A. (1993). Southeast Asia in the early modern era: Trade, power, and belief. Ithaca: Cornell University Press.
Ricklefs, M. C. (1991). A history of modern Indonesia since c. 1300. London: MacMillan Press.
Sjamsuddin, H. (2013). Perlawanan dan Perubahan di Kalimantan Barat, Kerajaan Sintang 1822-1942. Ombak.
Sugiharto, & Toto, R. (2016). Ensiklopedi Pahlawan 1: Semangat Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia. SM Publising.
Sukmana, W. J. (2021). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta. Seri Publikasi Pembelajaran, http://jurnal.uinbanten.ac.id
Sumarman, G. (2025). Wawancara.
Suparno, S., & Budimansyah, D. (2016). Peran Nilai-Nilai Religius Kerajaan Sintang Dalam Membina Karakter Generasi Muda. JURNAL PEKAN: Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. https://doi.org/10.31932/jpk.v1i1.166
Syamtasiyah, I., Zainuddin, & Jabbar, L. (2017). Sejarah Kesultanan Sintang di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Sutherland, H. (2003). The making of a Malay empire: The South China Sea and the Sultanate of Malacca. Leiden: Brill.
Tengku Turiman FN,: “Keraton Mini” di Tanjung Saka Dua: Refleksi Kekuasaan Majapahit
Wijayanto, A. (2013). Peranan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan Sebagai Pimpinan Laskar Perlawanan Kawasan Melawi Pada Masa Kolonialisme dan Imperialisme Belanda Tahun 1845-1875 Di Melawi.
Wulandari, D. (2024). The Effectiveness of Youtube Channel as Learning Media at Conversation Class. Riwayat: Educational Journal of History and Humanities, 7(1), 67-69. ( Red )