
“Sultan Hamid II dan Fondasi Federalisme Lokal Indonesia: Dari DIKB ke RIS, Dinamika Gilir Balik Konstitusi, dan Perspektif Hukum Tata Negara Dalam Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika”
0leh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur SH, MHum
( Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak)
ABSTRAK
Ide pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 tidak semata-mata merupakan strategi politik Belanda, melainkan memiliki dasar pemikiran lokal yang dipelopori oleh Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak. Visi beliau tentang federalisme yang menghargai keberagaman daerah menjadi landasan awal dengan pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Pada 28 Oktober 1946, Sultan Hamid II secara inisiatif menyatukan 12 kesultanan-kerajaan serta tiga daerah neo-swapraja melalui Deklarasi Dewan Kalimantan Barat, yang kemudian diresmikan secara resmi pada 14 Mei 1947 dan diakui hukumnya melalui Surat Keputusan Residen Kalimantan Barat Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948. Meskipun Belanda memiliki pengaruh dalam struktur pemerintahan DIKB dan terlibat dalam gerakan Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), gagasan unifikasi wilayah tersebut berasal dari visi beliau untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai pilar penting dalam negara federal Indonesia.
Sebagai pemimpin kaum federalis dan ketua BFO, Sultan Hamid II berperan krusial dalam perundingan hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan RIS. Secara de jure, RIS merupakan negara serikat (federasi) dengan kedaulatan internasional tunggal, lembaga pusat (Presiden dan Parlemen Federal), serta diatur oleh Konstitusi RIS 1949 yang melarang negara bagian memiliki hubungan diplomatik sendiri atau hak pemisahan. Namun secara de facto, RIS menunjukkan nuansa “serikat negara semu” akibat ikatan longgar dan otonomi asimetris yang berasal dari ide beliau, meskipun ia menolak usulan Belanda agar DIKB menjadi entitas terpisah.
Bukti peran Sultan Hamid II didukung oleh sumber primer seperti Deklarasi Dewan Kalimantan Barat 1946, Surat Keputusan Residen 1948, serta arsip Nasional Republik Indonesia tentang kontribusinya dalam pembentukan RIS
Ide untuk pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak semata-mata berasal dari strategi Belanda, melainkan juga memiliki dasar pemikiran dari Sultan Hamid II, yang diawali dengan pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Berikut penjelasannya: Tulisan ini menjelaskan bahwa ide pembentukan RIS tahun 1949 tidak hanya berasal dari strategi Belanda, melainkan juga berakar pada pemikiran federalis lokal yang dipelopori oleh Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak, dengan awal mula pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Sultan Hamid II mendukung konsep negara federal yang menghargai keberagaman daerah, berbeda dari kaum republikan yang menginginkan negara kesatuan. Pasca penyerahan Jepang tahun 1945, ia secara inisiatif menyatukan 12 kesultanan-kerajaan dan tiga daerah neo-swapraja di Kalimantan Barat. Deklarasi Dewan Kalimantan Barat pada 28 Oktober 1946 menjadi langkah awal, dengan DIKB diresmikan pada 14 Mei 1947 dan diakui hukumnya melalui Surat Keputusan Residen Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948. Meskipun Belanda memiliki pengaruh dalam proses pengesahan dan terlibat dalam gerakan BFO, gagasan utama berasal dari visi beliau untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai pilar penting dalam negara federal.
Sebagai pemimpin kaum federalis dan ketua BFO, Sultan Hamid II berperan dalam perundingan seperti Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang menghasilkan pengakuan kedaulatan RIS. Secara de jure, RIS adalah negara serikat dengan kedaulatan internasional tunggal, lembaga pusat, dan konstitusi yang mengikat. Secara de facto, RIS memiliki nuansa “serikat negara semu” akibat ikatan longgar dan otonomi asimetris, meskipun beliau menolak usulan Belanda agar DIKB terpisah. Bukti perannya didukung oleh sumber primer seperti dokumen deklarasi, surat keputusan residen, dan arsip nasional.
DISKURSUS KULIAH HUKUM TATA NEGARA Indonesia
“Bentuk Negara Indonesia: Dari RIS, Gilir Balik Konstitusi, hingga Bhinneka Tunggal Ika”
I. Pendahuluan: HTN sebagai Ilmu Dinamis
Hukum Tata Negara bukan ilmu statis. Ia adalah ilmu yang mempelajari: struktur kekuasaan, bentuk negara, mekanisme kedaulatan, nilai dasar yang mengikat konstitusi
Dalam konteks Indonesia: HTN tidak dapat dilepaskan dari sejarah, ideologi Pancasila, dan simbol kenegaraan.,RIS bukan “kesalahan sejarah”, melainkan bagian dari dinamika konstitusional bangsa.
II. Bentuk Negara dalam Teori HTN
1. Negara Kesatuan (Unitaris), Ciri utama: Kedaulatan tunggal, Pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Daerah bersifat administratif atau otonom➡️ Diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
2. Negara Serikat (Federasi), Ciri utama: Satu negara berdaulat, Negara bagian punya otonomi konstitusional, Kedaulatan keluar tetap di pusat ➡️ Contoh: AS, Jerman
3. Serikat Negara (Konfederasi), Ciri: Negara-negara berdaulat penuh, Ikatan longgar, Tidak ada kedaulatan tunggal➡️ Bukan bentuk negara Indonesia
III. Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam Perspektif HTN
1. RIS sebagai Rezim Konstitusional Sah
RIS lahir melalui: Konferensi Meja Bundar (1949), Pengakuan kedaulatan internasional, Konstitusi RIS 1949 ➡️ Secara de jure: RIS adalah negara serikat, Negara bagian: Tidak punya diplomasi sendiri, Tidak punya hak memisahkan diri, Tunduk pada Konstitusi Federal
2. Masalah Legitimasi Konstitusional, Namun dalam HTN: Legal ≠ Legitimate, Sah ≠ Diterima rakyat,RIS:, Tidak lahir dari kehendak rakyat, Federalisme dipersepsi sebagai warisan kolonial Loyalitas rakyat tetap pada NKRI ➡️ Di sinilah RIS gagal secara sosiologis dan filosofis
IV. Teori Gilir Balik dalam Hukum Tata Negara
1. Gilir Balik sebagai Teori Dinamika Konstitusi
Teori gilir balik (berthawaf) menjelaskan: Negara tidak bergerak linier, Tetapi berputar antara: sentralisasi ↔ desentralisasi, kesatuan ↔ keragaman, Dalam HTN modern, ini sejalan dengan: constitutional transition, temporary constitutional order
2. Gilir Balik Konstitusi Indonesia
Urutannya: UUD 1945 → Unitaris revolusioner, Konstitusi RIS 1949 → Federal kompromistik, UUDS 1950 → Unitaris parlementer, UUD 1945 (kembali) → Unitaris Pancasila ➡️ Ini bukan inkonsistensi, tetapi adaptasi konstitusional
V. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum Tata Negara
1. Bhinneka Tunggal Ika = Asas Konstitusional Tak Tertulis
Dalam HTN RI, Bhinneka Tunggal Ika berfungsi sebagai: asas interpretatif UUD roh Pasal 18 dan 18B UUD 1945, dasar pengakuan daerah istimewa dan hukum adat, Makna: Bhinneka → pengakuan keragaman (jiwa federalistik), Tunggal → kedaulatan tunggal (unitaris) ➡️ Ini adalah sintesis HTN Indonesia
2. Negara Kesatuan Bukan Anti-Federalisme
HTN Indonesia: Menolak federalisme struktural, Menerima federalisme nilai, Contohnya: Otonomi daerah, Kekhususan Aceh, Yogyakarta, Papua
Pengakuan masyarakat adat ➡️ Semua ini adalah federalisme substantif dalam negara kesatuan
VI. Bung Karno dan Sultan Hamid II dalam HTN
1. Bung Karno
Menjaga persatuan sebagai nilai tertinggi, Menerima RIS sebagai kompromi konstitusional, Mengembalikan NKRI sebagai bentuk final ➡️ Bung Karno = arsitek nilai kesatuan
2. Sultan Hamid II
Federalis konstitusional, bukan separatis, Mengusung otonomi asimetris, Mengakui satu kedaulatan Indonesia ➡️ Sultan Hamid II = arsitek keragaman dalam kesatuan
Perbedaan keduanya: bukan tujuan, tetapi cara mengelola pluralitas
VII. Garuda Pancasila sebagai Teks Hukum Tata Negara
Dalam HTN: Lambang negara = simbol konstitusional, Garuda: Melambangkan kedaulatan tunggal, Sayap mengembang → daya integrasi, Pita “Bhinneka Tunggal Ika”:, Dicengkeram, bukan dilepas, Menandakan: Keragaman dan kesatuan harus dijaga bersamaan ➡️ Inilah visualisasi teori gilir balik dalam HTN
VIII. Penilaian HTN atas Bubarnya RIS
Pembubaran RIS: Dilakukan secara konstitusional, Disetujui negara bagian, Tidak melanggar hukum internasional ➡️ Dalam HTN disebut: constitutional restoration, bukan pembatalan hukum
IX. Kesimpulan Kuliah
Bentuk negara Indonesia pernah bergilir, Nilai Pancasila tidak pernah berganti, RIS adalah eksperimen konstitusional sah, Bhinneka Tunggal Ika adalah sintesis: federalisme nilai, unitarisme kedaulatan, HTN Indonesia hidup karena mampu beradaptasi
Penutup Kuliah
“Dalam Hukum Tata Negara Indonesia,
yang abadi bukanlah bentuk negara,
melainkan persatuan yang bernilai Pancasila.
Bentuk boleh bergilir,
tetapi Indonesia tidak pernah terbelah.”
Latar Belakang Ide Sultan Hamid II
Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak adalah seorang tokoh federalis yang menginginkan Indonesia merdeka dalam bentuk negara federal, bukan negara kesatuan seperti yang diinginkan kaum republikan. Setelah Jepang menyerah dan kekosongan kekuasaan terjadi di Kalimantan Barat, ia melihat pentingnya menyatukan berbagai kesultanan dan kerajaan di wilayah tersebut agar memiliki kekuatan politik dan pemerintahan yang lebih baik.
Pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat
Pada tahun 1946,kemudian diresmikan 14 Mei 1947 Sultan Hamid II secara inisiatif menyatukan 12 kesultanan-kerajaan serta tiga daerah neo-swapraja di Kalimantan Barat. Penggabungan ini resmi disahkan melalui Deklarasi Dewan Kalimantan Barat pada 28 Oktober 1946, dan kemudian pada 12 Mei 1947, DIKB secara resmi dibentuk dengan dirinya sebagai pemimpin utama. Meskipun Belanda hadir dalam proses pengesahan dan memiliki pengaruh di struktur pemerintahan DIKB, gagasan awal untuk menyatukan wilayah tersebut berasal dari Sultan Hamid II sendiri, yang ingin Kalimantan Barat memiliki peran penting dalam kerangka negara Indonesia yang akan datang.
Hubungan dengan Ide Pembentukan RIS
Ide Sultan Hamid II tentang negara federal kemudian berkembang dan menjadi bagian dari gerakan federalis yang mendukung pembentukan RIS. Ia menjadi pemimpin kaum federalis dan berperan penting dalam proses pembentukan RIS pada tahun 1949, bahkan menjabat sebagai Menteri Negara tanpa Portofolio dalam kabinet RIS. Meskipun ada pandangan yang menyatakan bahwa Belanda menggunakan gagasan federal untuk memperlambat proses integrasi Indonesia, namun tidak dapat disangkal bahwa Sultan Hamid II memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana struktur negara Indonesia seharusnya terbentuk, dengan memperhatikan keberagaman dan kekhasan berbagai daerah di Indonesia.
1. Perbedaan Dasar
– Negara Serikat (Federasi): Satu negara berdaulat, kedaulatan luar berada di pusat, negara bagian hanya punya otonomi internal, diatur konstitusi federal. Contoh: AS, Jerman. – Serikat Negara (Konfederasi): Persekutuan negara berdaulat penuh, ikatan longgar untuk kepentingan tertentu, tidak ada pemerintahan pusat kuat. Contoh historis: Konfederasi Amerika awal.
2. Republik Indonesia Serikat (RIS)
Secara de jure (hukum), RIS adalah negara serikat karena: – Memiliki satu kedaulatan internasional yang diakui dunia.- Ada Presiden dan Parlemen Federal sebagai lembaga pusat.- Negara bagian tidak punya hubungan diplomatik sendiri.- Diatur dalam Konstitusi RIS 1949. Secara de facto (praktik), RIS memiliki nuansa “serikat negara semu” karena dibentuk melalui strategi ide Sultan Hamid II atau otonomi asimetris, RIS bukan hasil kehendak rakyat, dan loyalitas rakyat tetapi perpaduan dua konsep kenagaraAan yang dipersatukan diwaktu RIS
3. Alasan RIS adalah Serikat Negara
– Tidak ada kedaulatan terpisah untuk setiap negara bagian.
– Tidak ada hak untuk keluar dari persekutuan.
– Ada entitas tunggal “Republik Indonesia Serikat” sebagai subjek hukum internasional.
Sultan Hamid II memimpin gagasan federalisme Indonesia melalui pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), yang menjadi fondasi ide Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949, bukan hanya strategi Belanda semata.
Visi Federal Sultan Hamid IISultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak membedakan dirinya dari kaum republikan dengan mendukung negara federal yang menghargai keberagaman daerah, bukan negara kesatuan. Pasca-Jepang menyerah pada 1945, ia memanfaatkan kekosongan kekuasaan di Kalimantan Barat untuk menyatukan 12 kesultanan-kerajaan serta tiga daerah neo-swapraja, membentuk kekuatan politik regional yang kuat.
Proses Pembentukan DIKBDeklarasi Dewan Kalimantan Barat pada 28 Oktober 1946 menandai penggabungan wilayah tersebut, diresmikan secara resmi pada 14 Mei 1947 dengan Sultan Hamid II sebagai pemimpin utama. Meskipun Belanda ikut mengesahkan dan berpengaruh dalam struktur pemerintahannya, inisiatif murni berasal dari visi beliau untuk menjadikan Kalimantan Barat pilar penting dalam kerangka Indonesia federal masa depan.
Perkembangan Menuju RISIde federalisme Sultan Hamid II berkembang menjadi gerakan yang mendukung RIS, di mana ia menjabat Menteri Negara tanpa Portofolio. Secara de jure, RIS merupakan negara serikat (federasi) karena memiliki kedaulatan internasional tunggal, presiden, parlemen federal, serta konstitusi 1949 yang melarang negara bagian berelasi diplomatik sendiri atau memisahkan diri.
Nuansa De Facto RISSecara de facto, RIS menunjukkan ciri serikat negara (konfederasi) semu akibat ikatan longgar, otonomi asimetris dari ide Sultan Hamid II, serta pembentukan yang bukan sepenuhnya dari kehendak rakyat melainkan perpaduan konsep negara untuk mengakomodasi loyalitas terbagi.
Ide pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949 tidak hanya merupakan strategi Belanda untuk memecah pengaruh Republik Indonesia, melainkan juga berakar pada pemikiran federalis lokal yang dipelopori Sultan Hamid II dari Pontianak, dimulai melalui inisiatifnya membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Latar Belakang Visi Sultan Hamid IISultan Hamid II, seorang tokoh federalis konsisten, menolak konsep negara kesatuan yang didorong Presiden Sukarno dan kaum republikan, karena ia yakin federalisme lebih sesuai menghargai keberagaman kesultanan serta kerajaan di Indonesia. Pasca-penyerahan Jepang pada 1945 yang menciptakan kekosongan kekuasaan di Kalimantan Barat, beliau melihat peluang menyatukan 12 kesultanan-kerajaan beserta tiga daerah neo-swapraja untuk membangun kekuatan politik regional yang mandiri dan strategis.
Proses Deklarasi dan Pembentukan DIKBPada 28 Oktober 1946, Deklarasi Dewan Kalimantan Barat disahkan sebagai langkah awal penggabungan wilayah tersebut, diikuti pengesahan hukum oleh Residen Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948, sebelum diresmikan secara resmi pada 14 Mei 1947 dengan Sultan Hamid II sebagai pemimpin utama berpangkat Mayor Jenderal. Meskipun Belanda hadir dalam pengesahan dan memengaruhi struktur pemerintahan DIKB sebagai bagian dari gerakan Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), gagasan unifikasi murni berasal dari inisiatif beliau untuk menjadikan Kalimantan Barat pilar penting dalam negara federal masa depan.
Perkembangan Menuju RIS melalui BFO dan KMBSebagai ketua BFO pengganti Tengku Bahriun, Sultan Hamid II memimpin delegasi federalis dalam perundingan krusial seperti Malino, Denpasar, BFC, IJC, serta Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 23 Agustus hingga 2 November 1949, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan RIS melalui Konstitusi RIS 1949 yang bersifat sementara. Beliau menjabat Menteri Negara tanpa Portofolio di Kabinet RIS Perdana Menteri Mohammad Hatta, di mana RIS secara de jure berbentuk negara serikat (federasi) dengan kedaulatan internasional tunggal, presiden, parlemen federal, serta negara bagian tanpa hak diplomatik sendiri atau keluar persekutuan.
Karakter De Jure versus De Facto RISRIS secara hukum formal mengadopsi federalisme parlementer dengan pemerintahan pusat bertanggung jawab pada parlemen, berbeda dari presidensial UUD 1945 sebelumnya, di mana entitas tunggal RIS menjadi subjek hukum internasional tanpa kedaulatan terpisah bagi negara bagian. Namun secara praktik, RIS menampilkan nuansa serikat negara konfederasi semu karena ikatan longgar, otonomi asimetris dari ide Sultan Hamid II, serta pembentukan yang lebih didorong strategi politik ketimbang kehendak rakyat luas, meski Sultan Hamid II gigih menolak usulan Belanda agar DIKB jadi negara bagian terpisah.
Sumber primer yang mendukung peran Sultan Hamid II dalam pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) terutama mencakup dokumen resmi dan arsip kontemporer dari era 1946-1947.
Deklarasi Dewan Kalimantan BaratDokumen utama adalah Deklarasi Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Oktober 1946, yang secara eksplisit menyatakan inisiatif Sultan Hamid II dalam menyatukan 12 kesultanan-kerajaan dan tiga daerah neo-swapraja, menjadikannya pemimpin utama DIKB.
Surat Keputusan ResidenSurat Keputusan Residen Kalimantan Barat Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948 mengesahkan secara hukum pembentukan DIKB, mengonfirmasi peran Sultan Hamid II sebagai pemimpin dengan pangkat Mayor Jenderal, meskipun Belanda terlibat dalam proses akhir.
Arsip Nasional dan Kabinet RISInventaris Arsip Sekretariat Negara RI serta Arsip Kabinet Presiden RIS 1949-1950 dari ANRI mencatat kontribusi beliau sebagai ketua BFO dan Menteri Negara tanpa Portofolio, yang menghubungkan DIKB langsung ke gerakan federalis menuju RIS.
Dokumen Lainnya Pidato dan surat-surat Sultan Hamid II dalam Konferensi Malino, Denpasar, serta KMB 1949, sebagaimana tercatat dalam repositori Kemdikbud, menegaskan visinya menyatukan Kalimantan Barat sebagai fondasi federalisme Indonesia.
Pledoi Sultan Hamid II: Suatu Pembelaan Konstitusional dalam Masa Transisi RIS–NKRIPendahuluanPledoi Sultan Hamid II merupakan salah satu dokumen penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang kerap terabaikan. Selama ini sosok Sultan Hamid II lebih sering dilekatkan pada stigma politik—“federalis”, “anti‑NKRI”, bahkan “pengkhianat”—daripada dibaca melalui argumentasi konstitusional yang ia ajukan. Padahal, jika ditelaah secara cermat, pledoi tersebut memperlihatkan pergulatan serius seorang negarawan yang berupaya mempertahankan prinsip kedaulatan rakyat dan etika prosedural di tengah transisi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tulisan ini bertujuan mengkaji pledoi Sultan Hamid II sebagai dokumen pemikiran hukum tata negara. Fokus kajian terletak pada konteks politik‑konstitusional ketika pledoi itu lahir, inti argumentasi yang diajukan, serta relevansinya bagi perkembangan ketatanegaraan Indonesia kontemporer.Konteks Politik dan KonstitusionalPada saat menyampaikan pledoinya, Sultan Hamid II berada dalam posisi formal sebagai Menteri Negara RIS. Ia juga dikenal sebagai tokoh federalis konstitusional yang memperjuangkan bentuk negara serikat sebagai mekanisme pengakuan atas keragaman daerah, bukan sebagai upaya memecah persatuan Indonesia.
Posisinya jelas berbeda dari pemimpin pemberontakan bersenjata atau gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari Republik; ia beroperasi di dalam kerangka hukum dan struktur konstitusional yang sah.Pledoi ini lahir di tengah suasana politik yang tegang. Proses penggabungan negara‑negara bagian ke dalam NKRI berlangsung cepat setelah Konferensi Meja Bundar.
Di satu sisi, terdapat arus kuat kaum unitaris radikal yang menghendaki penyatuan segera dalam bentuk negara kesatuan yang sentralistis. Di sisi lain, federalis konstitusional seperti Sultan Hamid II mengingatkan perlunya prosedur demokratis dan penghormatan terhadap perjanjian serta konstitusi yang telah disepakati.
Dalam konteks inilah muncul tuduhan politik bahwa Sultan Hamid II menjadi “penghambat negara kesatuan”, yang kemudian berujung pada proses pengadilan.Dengan demikian, pledoi yang ia susun tidak dapat dibaca semata sebagai pembelaan terhadap dakwaan kriminal.
Lebih dari itu, ia merupakan pembelaan konstitusional dan moral kenegaraan atas sikap politik yang diambilnya dalam masa transisi RIS–NKRI.Kedaulatan Rakyat sebagai Dasar Bentuk Negara.
Salah satu unsur terpenting dalam pledoi Sultan Hamid II adalah penegasannya bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi dasar penentuan bentuk negara. Ia menyatakan bahwa apabila rakyat Indonesia sungguh‑sungguh menghendaki negara kesatuan, dan kehendak itu dinyatakan melalui mekanisme demokratis seperti referendum atau pemilihan umum, maka ia akan tunduk sepenuhnya pada keputusan tersebut. Pernyataan ini menunjukkan dua hal.Pertama, Sultan Hamid II tidak menolak NKRI sebagai tujuan. Penolakannya ditujukan pada cara yang ditempuh menuju ke sana, yakni penghapusan negara bagian melalui tekanan politik tanpa mandat langsung dari rakyat.
Kedua, ia menempatkan kedaulatan rakyat di atas kepentingan elite politik manapun. Dalam terminologi hukum tata negara, posisi ini sejalan dengan prinsip demokrasi konstitusional, bukan dengan federalisme separatis.Dengan demikian, tuduhan bahwa Sultan Hamid II anti‑NKRI menjadi problematik ketika dihadapkan pada teks pledoinya sendiri. Ia lebih tepat dipahami sebagai pengkritik prosedur pembentukan NKRI yang dianggap kurang demokratis, bukan sebagai penentang eksistensi NKRI.
Kritik terhadap Cara Pembubaran Negara BagianBagian lain dari pledoi menonjolkan kekecewaan Sultan Hamid II terhadap cara pembubaran negara‑negara bagian. Ia menilai bahwa penghapusan negara bagian tidak dilakukan melalui proses konstitusional yang elegan, melainkan melalui tekanan politik, pelabelan, dan stigma. Menurutnya, cara semacam itu melukai perasaan dan kehormatan para wakil bangsa yang sebelumnya secara sah duduk dalam struktur RIS.Kritik tersebut jelas tidak diarahkan pada tujuan akhir, yaitu persatuan Indonesia dalam satu negara. Yang ia persoalkan adalah prosedur (procedure), bukan hasil (outcome).
Dari sudut pandang hukum tata negara, keberatan ini relevan karena menyangkut prinsip rule of law: bahwa perubahan fundamental dalam struktur negara seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral, bukan semata berdasarkan konstelasi kekuatan politik sesaat.
Pertanyaan Retoris dan Tuduhan Inkonsistensi KonstitusionalDalam pledoinya, Sultan Hamid II mengajukan sejumlah pertanyaan retoris yang tajam: apa guna konferensi Antar‑Indonesia, apa arti janji‑janji para pemimpin Republik, dan mengapa Republik menyetujui serta meratifikasi UUD Sementara RIS apabila pada akhirnya semua itu tidak sungguh‑sungguh dihormati.
Pertanyaan‑pertanyaan ini mengandung tuduhan bahwa telah terjadi inkonsistensi konstitusional dari pihak elite unitaris.Ia seolah menilai bahwa proses federalisme hanya dijalankan secara formal, sementara hasil akhirnya—kembali ke negara kesatuan—telah ditentukan sebelumnya.
Konstitusi RIS, yang secara hukum mengikat, pada praktiknya diperlakukan sekadar sebagai alat transisi yang dapat diabaikan bila tidak lagi dianggap menguntungkan. Ini merupakan bentuk kritik terhadap penyalahgunaan proses konstitusional (abuse of constitutional process), di mana instrumen hukum digunakan secara oportunistik untuk menopang kepentingan politik tertentu.
Kekhawatiran atas Pemusatan KekuasaanSultan Hamid II juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa penghapusan negara‑negara bagian secara tergesa‑gesa akan berujung pada pemusatan kekuasaan yang berlebihan di tangan pemerintah pusat. Kekhawatiran ini merupakan argumen klasik dalam teori hukum tata negara: tanpa mekanisme check and balances yang memadai, negara kesatuan berpotensi melahirkan sentralisme ekstrem dan mengabaikan pluralitas sosial maupun kultural yang ada.Dalam perspektif ini, federalisme yang diperjuangkan Sultan Hamid II dapat dipahami sebagai upaya institusional untuk menjaga keseimbangan antara kesatuan dan keragaman. Ia bukan sedang mendorong disintegrasi, melainkan menuntut jaminan struktural agar daerah tidak sekadar menjadi objek keputusan pusat.
Posisi Etis sebagai Menteri NegaraPledoi tersebut juga menyingkap dimensi etis dari peran Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara. Ia menjelaskan bahwa ia kerap memperoleh penjelasan dari Mahkamah Agung mengenai persoalan‑persoalan konstitusional, namun tidak selalu sependapat dengan kebijakan pemerintah. Sekalipun demikian, ia tidak mencampuri urusan kementerian lain di luar kewenangannya.
Sikap ini menunjukkan bahwa ia memahami batas‑batas kewenangan jabatan (ultra vires) sekaligus memegang tanggung jawab moral sebagai pejabat negara untuk menyuarakan kegelisahan konstitusional. Artinya, ia tidak bersikap pasif di tengah dinamika perubahan negara, tetapi menggunakan posisi politiknya untuk mengingatkan bahaya pelanggaran prinsip‑prinsip dasar kenegaraan.
Di sini, ia tampil lebih sebagai negarawan (statesman) daripada sekadar politisi.Penolakan Tuduhan Campur Tangan MiliterBagian lain dari pledoi menolak tuduhan bahwa Sultan Hamid II telah ikut campur dalam urusan ketentaraan di luar kewenangannya. Ia menegaskan bahwa yang dilakukannya adalah menyampaikan pandangan politik demi kepentingan negara, dan itu pun dilakukan bersama menteri‑menteri lainnya.
Dengan kata lain, ia membedakan secara tegas antara pengaruh politis yang wajar dalam kabinet dengan intervensi struktural terhadap komando militer.Dalam kerangka hukum tata negara, pembedaan ini penting karena menyangkut prinsip supremasi sipil atas militer serta tata hubungan antara lembaga eksekutif dan angkatan bersenjata. Pledoi tersebut berupaya menunjukkan bahwa dirinya tidak melampaui batas peran sipil yang sah dalam sistem pemerintahan.
Ironi Jabatan Menteri NegaraDi bagian akhir, Sultan Hamid II menyampaikan ironi yang getir: apakah tugas seorang Menteri Negara hanya datang ke Parlemen dan menggambar lambang negara. Kalimat ini jelas menyindir upaya penyempitan dan delegitimasi peran politiknya. Ia seakan direduksi menjadi “tukang gambar Garuda”, padahal menurutnya jabatan Menteri Negara memikul tanggung jawab penuh terhadap arah perjalanan negara.Ironi ini menggarisbawahi ketegangan antara peran simbolik dan peran substantif seorang pejabat negara.
Dalam kasus Sultan Hamid II, lambang Garuda yang dirancangnya kemudian diakui sebagai simbol resmi negara, sementara pemikiran konstitusional yang ia perjuangkan justru dimarjinalkan. Pledoi tersebut ingin mengingatkan bahwa simbol tanpa keadilan prosedural akan melahirkan paradoks dalam kehidupan bernegara.
Analisis Hukum Tata Negara dan Relevansi KontemporerJika dibaca secara utuh, pledoi Sultan Hamid II dapat dikategorikan sebagai dokumen pemikiran hukum tata negara. Ia memuat refleksi mengenai kedaulatan rakyat, legitimasi prosedural, konsistensi konstitusional, struktur kekuasaan, dan etika jabatan publik. Karena itu, kedudukannya sejajar dengan pidato‑pidato kenegaraan penting lain yang membahas arah dasar Republik, dan tidak selayaknya diperlakukan semata‑mata sebagai arsip persidangan pidana.
Dari pledoi ini pula tampak bahwa Sultan Hamid II bukan lawan ideologis NKRI. Ia menerima negara kesatuan sepanjang dibentuk melalui mekanisme yang menghormati kedaulatan rakyat, sejalan dengan prinsip yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kritiknya tertuju pada praktik politik yang meminggirkan prosedur demokratis dan mengabaikan pluralitas. Dalam jangka panjang, sejarah reformasi justru menunjukkan bahwa sebagian kekhawatirannya terbukti: NKRI akhirnya mengadopsi desentralisasi luas dan pengakuan terhadap satuan pemerintahan daerah sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 dan 18B UUD 1945 hasil perubahan.
Dalam perspektif teori “gilir balik” hubungan pusat–daerah, pengalaman awal negara kesatuan yang sangat sentralistis di masa pasca‑RIS ternyata memunculkan tuntutan baru akan otonomi dan pengakuan keragaman. Dengan demikian, gagasan federalisme nilai yang diperjuangkan Sultan Hamid II menemukan gema tersendiri, walaupun bukan dalam bentuk formal negara serikat
.Penutup
Pledoi Sultan Hamid II menunjukkan bahwa ia bukan semata tokoh yang kalah dalam pertarungan politik, melainkan juga pemikir hukum tata negara yang berupaya menjaga martabat prosedural dalam proses pembentukan negara.
Federalisme yang ia bela bukanlah federalisme separatis, melainkan federalisme yang berpijak pada kedaulatan rakyat, pengakuan keragaman, dan pembatasan kekuasaan negara pusat. Ia mungkin kalah secara politik, tetapi sebagian pandangan konstitusionalnya terbukti relevan dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia kemudian hari.
I. Konteks Pledoi Sultan Hamid II
Pledoi ini disampaikan Sultan Hamid II dalam kedudukannya sebagai:
Menteri Negara RIS, Tokoh federalis konstitusional, Bukan pemberontak bersenjata, Bukan pemimpin gerakan separatis
Pledoi ini lahir di tengah: Transisi dari RIS menuju NKRI, Ketegangan antara kaum unitaris radikal dan federalis konstitusional, Tuduhan politik bahwa Sultan Hamid II dianggap “penghambat negara kesatuan”➡️ Dengan demikian, pledoi ini bukan pembelaan kriminal semata, tetapi pembelaan konstitusional dan moral kenegaraan.
II. Inti Argumentasi Pledoi (Struktur Substansial)
1. Kedaulatan Rakyat sebagai Dasar Bentuk Negara
Sultan Hamid II menegaskan: Jika rakyat Indonesia benar-benar menghendaki negara kesatuan dan menyatakannya melalui referendum atau pemilihan umum, maka ia akan tunduk sepenuhnya pada kehendak rakyat. Makna hukumnya: Sultan Hamid II tidak menolak NKRI, Ia menolak pemaksaan bentuk negara tanpa mekanisme demokratis,Ia berdiri pada asas kedaulatan rakyat, bukan elite politik ➡️ Ini adalah argumen demokrasi konstitusional, bukan federalisme separatis.
2. Kritik terhadap Cara Pembubaran Negara Bagian
Ia menyatakan kekecewaan mendalam karena: Negara bagian dihapus, Bukan melalui proses konstitusional yang elegan, Melainkan melalui tekanan politik dan stigmaIa menilai: Cara tersebut melukai perasaan dan kehormatan wakil bangsa sendiri ,Bertentangan dengan etika kenegaraan ➡️ Ini kritik terhadap cara (procedure), bukan terhadap tujuan (NKRI).
3. Pertanyaan Retoris tentang Ketulusan Elite RI
Sultan Hamid II mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam: Apa guna konferensi antar-Indonesia?, Apa arti janji-janji pemimpin RI?, Mengapa RI meratifikasi UUD Sementara RIS jika semua itu sandiwara? Makna hukumnya: Ia menuduh adanya inkonsistensi konstitusional. Proses federalisme dijalankan, tetapi hasilnya sudah ditentukan ,Konstitusi RIS diperlakukan sekadar alat transisi palsu ➡️ Ini adalah kritik keras terhadap abuse of constitutional process.
4. Kekhawatiran atas Pemusatan Kekuasaan
Ia menyatakan kekhawatiran bahwa: Penghapusan negara bagian secara cepat, Akan melahirkan kekuasaan yang tidak terbatas, Ini adalah argumen klasik HTN: Check and balances, Bahaya sentralisme ekstremNegara kesatuan tanpa pengaman pluralitas ➡️ Sultan Hamid II berbicara sebagai penjaga keseimbangan kekuasaan, bukan pemecah negara.
5. Posisi Etis sebagai Menteri Negara
Ia menjelaskan: Ia sering mendengar penjelasan Mahkamah Agung,Namun tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah ,Ia tidak mencampuri urusan kementerian lain, Tetapi berkewajiban menyuarakan kegelisahan kenegaraan, Maknanya: Ia memahami batas kewenangan (ultra vires) Ia menjalankan tanggung jawab moral pejabat negara, Ia tidak pasif terhadap bahaya konstitusional ➡️ Ini adalah ethics of statesmanship, bukan pelanggaran hukum.
6. Penolakan Tuduhan Campur Tangan Militer
Sultan Hamid II menolak tuduhan bahwa ia: Ikut campur soal ketentaraan, bertindak di luar kewenangan, Ia menegaskan: Ia hanya menyampaikan pandangan, Demi kepentingan negara, Bersama menteri lain ➡️ Ia membedakan pengaruh politik dan intervensi struktural.
7. Ironi Jabatan Menteri Negara
Ia menutup dengan nada getir: Apakah tugas Menteri Negara hanya menghadap Parlemen dan menggambar lambang negara? Ini kalimat penting. Maknanya: Ia menyindir penyempitan peran negarawan, Seolah ia hanya “tukang gambar Garuda”, Padahal ia memikul tanggung jawab kenegaraan penuh ➡️ Ini adalah kritik simbolik terhadap delegitimasi peran Sultan Hamid II.
III. Analisis Hukum Tata Negara
1. Pledoi sebagai Dokumen HTN, Pledoi ini adalah: Dokumen pemikiran konstitusional, Kritik terhadap transisi negara, Pembelaan prinsip kedaulatan rakyat ➡️ Layak dibaca sejajar dengan pidato-pidato kenegaraan, bukan sekadar arsip pengadilan.
2. Sultan Hamid II Bukan Anti-NKRI, Dari pledoi ini jelas: Ia tidak menolak NKRI, Ia menolak pemaksaan tanpa legitimasi rakyat, Ia menginginkan mekanisme demokratis ➡️ Ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: kedaulatan di tangan rakyat.
3. Relevansi dengan Teori Gilir Balik, Pledoi ini memperlihatkan: Ketegangan antara kesatuan dan keragaman, Kegagalan dialog gilir balik,Kemenangan satu kutub (unitaris) secara politis➡️ Sejarah kemudian “memutar kembali” melalui otonomi daerah dan Pasal 18B UUD 1945.
IV. Kesimpulan Besar
Pledoi Sultan Hamid II adalah pembelaan konstitusional, bukan kriminal
Ia berbicara sebagai negarawan pluralis, Federalisme yang ia perjuangkan adalah: federalisme nilai bukan federalisme separatis, Sejarah kemudian membenarkan sebagian kekhawatirannya.📌 Ia kalah secara politik, tetapi tidak kalah secara pemikiran hukum tata negara.
Penutup Reflektif
“Sejarah sering menghukum lebih cepat daripada memahami. Tetapi hukum tata negara mencatat dengan lebih jujur. Sultan Hamid II bukan penentang Indonesia,melainkan pengingat bahwa persatuan tanpa keadilan prosedural akan selalu menyisakan luka.”
Deskripsi Pledoi Sultan Hamid II
(Gabungan Halaman 178–179 di Mahkamah Agung Tahun 1953.
Pada bagian awal halaman 178, Sultan Hamid II menyatakan bahwa gagasan federasi telah dikonsentrasikan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat (UUDS RIS), yang menurutnya juga merupakan hasil pembicaraan antara pihak-pihak Indonesia sendiri. Ia menegaskan bahwa di kalangan Republik Indonesia sendiri, ide federalisme hidup, dan hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hukum dalam suatu keputusan sela (interlocutoir vonnis) Mahkamah Tentara Agung Republik Indonesia tanggal 4 Maret 1948, yang diputus dalam perkara Peristiwa 3 Djuni.
Ia mengutip pertimbangan Mahkamah tersebut yang pada pokoknya menyatakan bahwa Perjanjian Linggadjati dan Renville tidak dapat mengubah keadaan dan kedaulatan Belanda sebagaimana dimaksud dalam perjanjian itu, serta tidak mempengaruhi kedudukan Republik Indonesia sebagai negara, baik dari segi bentuk, sifat, maupun kekuasaan yang telah dicapai melalui perjuangan sekitar dua setengah tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam pertimbangan tersebut disebutkan pula bahwa tujuan perjuangan adalah mendirikan Negara Indonesia Serikat yang berdaulat ke dalam dan ke luar sejauh mungkin.
Sultan Hamid II kemudian menyatakan bahwa pada waktu pertimbangan Mahkamah Tentara Agung tersebut dibuat, organisasi BFO belum ada, sehingga menurutnya federalisme bukanlah ciptaan Belanda semata-mata. Ia menambahkan bahwa Ketua Mahkamah Agung yang memimpin sidang saat pledoi ini disampaikan sebelumnya ikut mengambil bagian dalam keputusan Mahkamah Tentara Agung tersebut sebagai anggota, dan bahwa aliran federalisme tampak ada baik di luar maupun di dalam Parlemen pada waktu itu.
Selanjutnya, ia mengajukan pertanyaan kepada Ketua Sidang mengenai bagaimana pelaksanaan dari segala hal tersebut pada kenyataannya sekarang. Ia menyatakan bahwa sepulangnya dari Negeri Belanda, ia segera melihat adanya kecenderungan menuju penghapusan negara-negara bagian, yang menurutnya dilakukan secara ilegal untuk melaksanakan negara kesatuan secepat-cepatnya. Ia menegaskan bahwa sejak dahulu hingga saat itu ia adalah seorang yang berkeyakinan pada federalisme, dengan kalimat yang kemudian berlanjut ke halaman berikutnya.
Memasuki halaman 179, Sultan Hamid II menyatakan dirinya sebagai seorang putra Indonesia, dan menegaskan bahwa apabila rakyat Indonesia menghendaki negara kesatuan serta menyatakan kehendak tersebut melalui referendum atau pemilihan umum, maka ia akan tunduk kepada kehendak rakyat itu. Ia menyatakan bahwa ia menyesalkan benar apabila aliran yang menghendaki negara kesatuan menempuh jalan yang inkonstitusional, khususnya dengan menghapuskan negara-negara bagian, dan menyebut bahwa hal tersebut lebih menyinggung perasaannya, karena ia merasa telah terpedaya oleh wakil-wakil bangsa sendiri.
Ia kemudian mengajukan beberapa pertanyaan retoris, antara lain mengenai:apa gunanya Konferensi Antar-Indonesia, apa arti perkataan dan ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin Republik Indonesia, untuk apa Republik Indonesia meratifikasi Undang-Undang Dasar Sementara RIS,serta apakah semua itu hanya merupakan sandiwara belaka.
Ia menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan serupa selalu meliputi pikirannya ketika melihat perkembangan politik dan ketatanegaraan di negara ini tidak lama setelah penyerahan kedaulatan. Ia menambahkan bahwa, selain dorongan dari aliran yang menghendaki penghapusan negara-negara bagian secepat mungkin, timbul pula kekhawatiran bahwa di negara ini akan muncul kekuasaan yang tidak terbatas.
Dalam bagian berikutnya, Sultan Hamid II menyebut bahwa dalam sidang Mahkamah Agung ia mendengar penjelasan, tetapi menurutnya kata-kata saja tidak cukup, dan tidak selalu sejalan dengan usaha untuk mencegah atau mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintah. Ia menyatakan bahwa meskipun ia tidak mempunyai tugas tertentu sebagai Menteri Negara, ia kadang-kadang turut campur untuk memberikan pendapat dengan sebaik-baiknya, termasuk mengenai soal ketentaraan, meskipun hal tersebut tidak selalu mendapat penghargaan, bahkan dikatakan bahwa ia tidak usah turut campur dalam urusan orang lain.
Ia menyampaikan bahwa bukan satu kali saja, melainkan berkali-kali, ia mempersoalkan keadaan dalam negeri bersama kawan-kawan Menteri yang lainnya. Di bagian akhir halaman, ia mengajukan pertanyaan mengenai apa yang harus ia kerjakan dan tindakan apa yang dapat ia ambil, lalu menyatakan bahwa sebagai Menteri Negara, ia seolah-olah hanya diserahi tugas menghadiri Parlemen dan membuat rencana untuk lambang negara. (Halaman ini diakhiri dengan nomor halaman 179.)
