Sultan Hamid II: Negarawan Yang Terlupakan, Bapak Otonomi Daerah dan Perancang Lambang Negara Republik Indonesia

Sultan Hamid II: Negarawan Yang Terlupakan, Bapak Otonomi Daerah dan Perancang Lambang Negara Republik Indonesia

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum
(Ahli Hukum dan Sejarah, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Pontianak)

Dalam khazanah sejarah bangsa, tidak sedikit tokoh yang kontribusinya begitu besar namun belum mendapatkan pengakuan yang setimpal. Salah satu di antaranya adalah Sultan Hamid II, putra Kalimantan Barat, yang tidak hanya dikenal sebagai perancang Lambang Negara Garuda Pancasila, tetapi juga sebagai Bapak Otonomi Daerah dan diplomat ulung dalam masa-masa krusial awal kemerdekaan Indonesia.
Diplomat pada Masa Peralihan RIS ke NKRI
Sultan Hamid II memainkan peran penting dalam diplomasi Republik Indonesia Serikat (RIS), sebuah bentuk negara federal hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara RIS, ia turut serta dalam proses-proses penting pembentukan struktur negara baru, termasuk merancang lambang negara yang akan menjadi simbol pemersatu bangsa. Namun, dalam dinamika politik yang mengarah pada penyeragaman sistem kesatuan, gagasan federalisme dan otonomi daerah yang ia perjuangkan menghadapi jalan terjal. Meskipun demikian, visi beliau tentang pentingnya kearifan lokal, identitas daerah, dan pembagian kewenangan pusat-daerah menjadi benih awal gagasan otonomi yang kini menjadi prinsip utama dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca-reformasi.
Merancang Garuda: Identitas Simbolik Bangsa
Sejarah mencatat, Sultan Hamid II adalah satu-satunya tokoh bangsa yang secara resmi diberikan mandat oleh Presiden Soekarno untuk merancang Lambang Negara Republik Indonesia. Desainnya yang matang dan sarat nilai filosofi Pancasila akhirnya diresmikan pada tahun 1950. Garuda Pancasila bukan sekadar lambang, melainkan representasi jati diri bangsa yang berdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Lambang ini terus melekat hingga hari ini, namun nama sang perancang sering kali terabaikan dalam buku-buku pelajaran, media massa, dan narasi resmi negara. Hal ini menjadi catatan sejarah yang harus diluruskan untuk generasi mendatang.
Pejuang Otonomi Daerah yang Visioner
Jauh sebelum reformasi bergulir dan desentralisasi menjadi kebijakan negara, Sultan Hamid II telah melihat pentingnya pemberdayaan daerah dalam kerangka negara yang beragam dan majemuk. Gagasan beliau tentang otonomi daerah tidak lahir dari kepentingan kekuasaan, tetapi dari kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara pemerintahan pusat dan daerah, yang menghargai keragaman budaya, adat istiadat, dan identitas lokal. Pandangan ini sejalan dengan semangat Pasal 18 UUD 1945, yang kemudian diperkuat dalam reformasi konstitusi tahun 1999–2002. Oleh karena itu, layaklah jika publik mengenal Sultan Hamid II sebagai peletak dasar filosofi otonomi daerah yang sekarang menjadi pondasi dalam sistem pemerintahan kita.
Melanjutkan Warisan melalui Kesultanan Kadriah
Kesultanan Kadriah Pontianak, tempat Sultan Hamid II berasal, merupakan simbol peradaban dan pusat kebudayaan Melayu Kalimantan Barat. Hari ini, Sultan Syarif Melvin Alkadrie, Sultan Kesembilan, melanjutkan peran tersebut dalam ruang modern—baik sebagai pemimpin adat maupun sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Ini menunjukkan kesinambungan antara tradisi dan kebangsaan, antara sejarah dan masa depan.
Mengapa Kita Perlu Mengakui Jasa Sultan Hamid II?
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya secara utuh. Mengakui jasa Sultan Hamid II bukan sekadar soal pengakuan politik, tetapi soal keadilan sejarah. Sebuah bangsa tidak akan pernah benar-benar bersatu jika melupakan orang-orang yang turut menyulam merah-putih dalam detik-detik awal berdirinya republik ini. Saat ini, gelar Pahlawan Nasional mungkin masih menjadi wacana terbuka. Namun, lebih dari sekadar gelar, yang dibutuhkan adalah rekonstruksi narasi nasional yang adil, yang mencantumkan nama Sultan Hamid II sebagai negarawan, perancang lambang negara, dan pejuang otonomi daerah yang sejati.
Keadilan Sejarah bagi Sultan Hamid II
Dalam deretan nama-nama besar pendiri bangsa, kita mengenang Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Namun, di balik simbol-simbol kenegaraan yang kita agungkan hari ini, ada nama yang lama diabaikan dari narasi arus utama sejarah nasional: Sultan Hamid II dari Pontianak.
Sosok ini bukan hanya bagian dari masa lalu Kalimantan Barat, tetapi bagian tak terpisahkan dari sejarah republik ini. Sebagai perancang Lambang Negara Garuda Pancasila yang kita pakai hingga hari ini, Sultan Hamid II tidak boleh dilupakan begitu saja dalam catatan kenegaraan. Ia bukan hanya pelukis lambang, tetapi pemikir dan perumus identitas visual bangsa yang mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Namun, sejarah tidak selalu adil. Narasi dominan yang dibentuk dalam era Orde Lama hingga Orde Baru telah lama mengubur kontribusi Sultan Hamid II di bawah bayang-bayang politik federalisme yang dicurigai. Padahal, federalisme yang diperjuangkannya adalah bentuk pengakuan atas keberagaman Indonesia, bukan bentuk pemecahan bangsa. Visi otonomi daerah yang ia sampaikan jauh melampaui zamannya, dan kini menjadi prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan pasca-reformasi.
Indonesia kini berdiri sebagai negara kesatuan dengan prinsip desentralisasi. Fakta ini seharusnya membuat kita lebih terbuka untuk meluruskan sejarah, bukan menyederhanakannya demi kenyamanan politik masa lalu. Jika kita bersikeras menyembunyikan tokoh seperti Sultan Hamid II dari buku pelajaran, pidato kenegaraan, dan museum nasional, maka kita telah mengingkari semangat inklusivitas yang menjadi napas bangsa ini sejak proklamasi.
Editorial ini bukan sekadar tuntutan gelar pahlawan nasional, tetapi ajakan moral bagi negara untuk jujur pada sejarahnya sendiri. Tidak ada negara yang besar tanpa keberanian untuk mengakui setiap elemen yang membentuknya—termasuk mereka yang datang dari pinggiran sejarah, seperti Kalimantan Barat, namun berjasa di pusat republik.
Sudah saatnya Kementerian Pendidikan, Arsip Nasional, dan pemerintah pusat melakukan revisi menyeluruh terhadap narasi sejarah nasional. Pengakuan terhadap Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara dan pelopor otonomi daerah adalah bentuk tanggung jawab historis, bukan semata kehormatan personal.
Di bawah bayang sayap Garuda, marilah kita ingat kembali siapa yang merancangnya. Bangsa yang besar tidak menyembunyikan masa lalunya. Ia mengakuinya dengan penuh hormat.
Penutup
Maka, mari kita ajarkan kepada anak-anak kita bahwa lambang Garuda di dada mereka bukan hanya simbol formal negara, tetapi hasil karya seorang tokoh bangsa dari Kalimantan Barat yang penuh cinta pada tanah airnya: Sultan Hamid II. Dan bahwa otonomi daerah yang kita nikmati hari ini adalah warisan dari keberanian intelektual dan visi kenegaraan beliau. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This