Masa Kecil dan Pendidikan Sultan Hamid II dan Wafatnya Dalam Keadaan Bersujud Berkat Doa Ayahnda Sultan Muhammad AlKadrie

Masa Kecil dan Pendidikan Sultan Hamid II dan Wafatnya Dalam Keadaan Bersujud Berkat Doa Ayahnda Sultan Muhammad AlKadrie

Oleh : Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum

(Ahli Hukum dan Sejarah, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Pontianak)
Sultan Hamid II, atau Syarif Abdul Hamid Alkadrie, lahir pada 12 Juli 1913 di Istana Kadriah, Pontianak. Sebagai putra sulung dari Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan Gusti Aminah binti Pangeran Ratu Usman, ia berasal dari garis keturunan bangsawan Arab-Melayu yang telah lama memimpin Kesultanan Pontianak. Sejak kecil, Sultan Hamid II telah menerima pendidikan yang jauh melampaui standar lokal pada zamannya. Pendidikan dan pengasuhan ala Barat menjadi bagian integral dari pembentukan karakter dan pemikiran beliau.
Sejak usia 10 hari, ia diasuh oleh dua wanita berkebangsaan Inggris, Salome Catherine Fox dan Edith Maud Curteis, yang diundang khusus ke Pontianak. Keduanya memainkan peran penting dalam kehidupan awal Sultan Hamid II, mendidiknya dengan disiplin tinggi dan memperkenalkannya pada nilai-nilai pendidikan Barat. Di bawah asuhan mereka, Sultan Hamid kecil tumbuh fasih berbahasa Inggris, Melayu, dan Belanda, serta menampilkan kedisiplinan dan kemampuan berpikir yang tajam.
Sultan Hamid II menempuh pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Rendah Eropa, yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi setingkat. Ia bersekolah di beberapa kota: Pontianak, Sukabumi, Yogyakarta, dan Bandung. Dalam fase pendidikan inilah ia sempat seangkatan dan bersahabat dengan Bendoro Raden Mas Dorodjatun, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Kebersamaan mereka terjadi semasa mengenyam pendidikan di ELS Yogyakarta pada era 1920-an, menjadikan mereka dua pangeran muda yang dididik dalam lingkungan elite Eropa dan kelak memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Sultan Hamid II melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Bandung, sebuah sekolah menengah atas bergengsi di Hindia Belanda. Di sana, ia mendalami ilmu teknik dan eksakta dalam bahasa Belanda. Pendidikan ini mempersiapkannya untuk studi lebih lanjut di luar negeri. Pada awal 1930-an, Sultan Hamid II diterima di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda—sebuah akademi militer kerajaan yang sangat prestisius. Ia lulus dengan pangkat Letnan dan menjadi satu-satunya bangsawan pribumi dari Kalimantan yang menempuh pendidikan militer resmi di negeri Belanda.
Pendidikan Sultan Hamid II, yang sejalan dengan Sultan Hamengkubuwono IX, membentuk dirinya sebagai sosok yang terpelajar, modern, dan menguasai tata pemerintahan Eropa. Namun, perbedaan pandangan politik kemudian mencuat pasca kemerdekaan Indonesia. Ketika Sultan Hamid II terlibat dalam Badan Permusyawaratan Federal (BFO) dan menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat, ia berseberangan pandangan dengan Sultan Hamengkubuwono IX yang setia pada ide negara kesatuan.
Kendati demikian, keduanya tetap diakui sebagai tokoh visioner dari kalangan bangsawan Nusantara yang pernah duduk di bangku sekolah kolonial Eropa, bergaul dengan elite Belanda, dan memiliki kapasitas luar biasa dalam diplomasi dan strategi politik pada masa transisi kemerdekaan Indonesia.
Sultan Hamid II menghabiskan masa remajanya dalam lingkungan bangsawan yang khas dan berlapis—sebuah lingkungan yang memadukan tata kehidupan istana tradisional Melayu-Arab dengan pengaruh kuat budaya Barat kolonial, terutama dari Inggris dan Belanda. Istana Kadriah, sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak, bukan hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga sekolah informal dan pusat pembentukan karakter, etika, dan wawasan kenegaraan bagi putra mahkota.
Sebagai Putra Mahkota Kesultanan Kadriah, sejak usia belasan tahun Sultan Hamid II telah dididik secara intensif dalam dua dimensi besar:
1. Pendidikan Tradisional Islam & Budaya Kesultanan
Di lingkungan dalam istana, Hamid muda belajar Al-Qur’an, tata krama kerajaan, silsilah bangsawan, dan nilai-nilai Islam dari para ulama dan guru agama yang tinggal di lingkungan istana atau datang dari luar, termasuk dari Mempawah dan Sambas. Ia juga diajarkan adat istiadat Kesultanan Melayu Pontianak, termasuk tata upacara, hukum adat, dan seni tutur Melayu.
Lingkungan Istana Kadriah kala itu masih aktif dalam diplomasi kekerabatan antarkerajaan, termasuk hubungan erat dengan Kerajaan Mempawah, Kesultanan Sambas, dan keluarga istana di Serawak (Kuching). Hal ini memperluas wawasan politik remaja Hamid mengenai geopolitik Melayu Kalimantan dan memperkenalkan konsep kebangsaan lintas kerajaan.
2. Pembentukan Watak Eropa & Keilmuan Barat
Namun berbeda dengan pangeran Melayu pada umumnya, Hamid dibesarkan dalam lingkungan istana yang terbuka terhadap pengaruh Barat. Para pengasuhnya yang berkebangsaan Inggris—Salome Fox dan Edith Curteis—tidak hanya mendidik Hamid kecil tentang bahasa dan disiplin Eropa, tetapi juga memperkenalkannya pada cara berpikir rasional, tata cara pergaulan aristokrat Inggris, dan semangat progresif.
Pada masa remajanya, Hamid sudah terbiasa menerima tamu-tamu Belanda dan Eropa, bahkan kerap menjadi penerjemah atau penghubung informal antara ayahandanya, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, dengan para pejabat kolonial Hindia Belanda.
Istana Kadriah juga memiliki perpustakaan keluarga yang berisi kitab-kitab Islam klasik dan buku-buku berbahasa Belanda serta Inggris. Di ruang belajar inilah, Hamid remaja mulai menyukai bidang geografi, sejarah, ilmu pemerintahan, dan teknik, yang kelak mendorongnya untuk menempuh pendidikan teknik tingkat menengah di Bandung (HBS), lalu militer di Belanda.
3. Latihan Fisik, Kepemimpinan, dan Kemiliteran Awal
Selain keilmuan, Sultan Hamid II juga dibesarkan dengan disiplin fisik: berkuda, memanah, latihan baris-berbaris, dan bela diri, sebagaimana adat membentuk calon pemimpin kerajaan. Pelatihan ini disesuaikan dengan etika prajurit istana dan mulai mengarah pada pola latihan militer Eropa, yang disiapkan untuk mengantarnya masuk Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda.
Ayahandanya, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, adalah seorang sultan yang berpandangan modern, yang ingin putranya kelak mampu memimpin kerajaan dalam dunia internasional. Karena itu, pada usia 17–18 tahun, Sultan Hamid II mulai dilibatkan dalam sidang-sidang internal istana, pembahasan tanah dan hukum adat, hingga urusan diplomatik, agar ia terbiasa mengambil keputusan.
Lingkungan Istana Kadriah Saat Itu
Istana Kadriah pada era 1920-an hingga awal 1930-an adalah pusat intelektual, budaya, dan kekuasaan di Pontianak. Bangunannya memadukan gaya arsitektur Melayu, Belanda, dan Arab. Di sana terdapat ruang pertemuan bangsawan, tempat mengaji, ruang pengadilan adat, ruang tamu kehormatan, dan kamar-kamar khusus untuk tamu kerajaan dan pejabat kolonial.
Hamid remaja tumbuh dalam nuansa ini—ia memahami politik identitas bangsawan, cara mengelola rakyat, dan dinamika antara tradisi dan modernitas. Ia tumbuh sebagai anak raja yang berpikir kosmopolit dan visioner.
Ayahanda Sultan Hamid II, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, membekali putranya dengan pendidikan agama Islam yang sangat kuat sejak kecil hingga remaja, meskipun beliau juga memiliki pandangan modern terhadap pendidikan Barat. Pendidikan agama yang diberikan ayahnya mencerminkan nilai-nilai khas kesultanan Melayu-Islam dan prinsip kepemimpinan raja sebagai ulil amri yang adil, berilmu, dan berakhlak.
Berikut adalah bekal pendidikan agama yang ditanamkan oleh ayahandanya:
1. Pembelajaran Al-Qur’an dan Tajwid
Sejak usia dini, Sultan Hamid II diwajibkan belajar membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur’an, termasuk hukum bacaan (tajwid) dan makna ayat-ayat. Guru-guru agama istana yang berasal dari kalangan ulama lokal (Mempawah, Sambas, bahkan dari Hadramaut) secara khusus mengajarkan tafsir ayat-ayat tentang kepemimpinan, keadilan, dan etika penguasa.
Tujuan: Agar kelak ia tidak hanya menguasai ilmu pemerintahan duniawi, tetapi juga menjadi pemimpin yang paham hukum Allah dan takut kepada-Nya.
2. Pelajaran Fikih dan Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pendidikan fikih diajarkan melalui kitab-kitab klasik seperti Safinatun Najah, Fathul Qarib, dan Taqrib, sesuai mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab utama di Kesultanan Pontianak.
Hamid muda juga mempelajari akidah Islam dari aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, memperkuat pemahaman bahwa akal dan wahyu berjalan beriringan. Di sinilah ia dididik untuk memadukan keimanan yang kokoh dengan nalar yang kritis.
3.Adab, Tasawuf, dan Etika Kesultanan
Ayahandanya menekankan pentingnya tasawuf akhlaki, terutama ajaran Imam Al-Ghazali, agar seorang sultan tidak takabur dan tetap rendah hati. Dalam lingkungan istana, ia diajarkan:
Etika berbicara dengan rakyat.
Adab menerima tamu dan ulama.
Tata cara bermusyawarah dengan hikmah.
Menahan amarah sebagai pemimpin.
Pendidikan ini menjadikannya seorang pemuda yang halus budi, bijak dalam bertutur, dan tidak sombong meskipun sangat cerdas.
4.Latihan Khutbah dan Kepemimpinan Shalat
Sebagai pewaris tahta, Sultan Hamid II juga dididik untuk bisa menjadi imam shalat dan berkhutbah di hadapan rakyat. Latihan ini berlangsung sejak remaja agar ia tidak asing dengan fungsi keagamaan seorang sultan dalam konteks tradisi Melayu-Islam, di mana sultan adalah pemimpin dunia dan akhirat (zullullah fil-ardh).
5. Moderasi Islam dan Toleransi
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie mendidik putranya untuk menjadi pemimpin Islam yang moderat, terbuka terhadap perbedaan, namun tetap berpegang pada prinsip Islam. Inilah sebabnya, Sultan Hamid II dikenal sangat menghormati agama lain dan mendukung prinsip persatuan dalam keberagaman, sebagaimana terlihat dalam perannya sebagai perancang lambang negara yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika.
Bukti Pendukung Sejarah: Arsip Kesultanan Pontianak menyebut bahwa para ulama di Istana Kadriah pada masa Sultan Muhammad Alkadrie berjumlah lebih dari 10 orang, berasal dari Kalbar dan Timur Tengah.Wawancara keluarga istana menyatakan Sultan Hamid II terbiasa ikut majelis pengajian dan diskusi tafsir dengan para ulama sejak remaja.Buku Hamid Alkadrie: Sultan Pontianak oleh Frans Dingemans menyebut pengaruh kuat tradisi keagamaan istana dalam membentuk karakter Hamid.
Ayahnya membekali Sultan Hamid II dengan pendidikan agama yang mendalam, bukan hanya dalam aspek ibadah dan ilmu fikih, tetapi juga adab, kepemimpinan rohani, dan akhlak kenegaraan. Pendidikan ini menjadikannya seorang bangsawan yang saleh, visioner, dan memiliki fondasi moral yang kuat dalam memimpin dan berperan di panggung nasional.
Kesimpulan
Masa remaja Sultan Hamid II di lingkungan Istana Kadriah adalah masa pembentukan kepribadian yang unik: ia menyerap nilai-nilai Islam dan Melayu dari lingkungan dalam istana, tetapi juga menyatu dengan budaya Eropa dari pengasuhnya dan sistem pendidikan kolonial. Ia bukan sekadar pewaris tahta, tapi juga seorang pemuda yang dipersiapkan menjadi pemimpin bertaraf internasional—yang kelak memainkan peran penting dalam sejarah Republik Indonesia, termasuk dalam perancangan lambang negara Garuda Pancasila.
Analisis Semiotika Masa Kecil Sultan Hamid II
Masa Kecil dan Pendidikan Sultan Hamid II: Perpaduan Tradisi dan Modernitas, yang dibekaklkan kepada Syarif Abdul Hamid Alkadrie, yang dikenal sebagai Sultan Hamid II, lahir pada 12 Juli 1913 di Istana Kadriah, Pontianak. Ia adalah putra sulung Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan Gusti Aminah binti Pangeran Ratu Usman, mewarisi garis bangsawan Arab-Melayu yang memimpin Kesultanan Pontianak. Sejak dini, Sultan Hamid II mendapatkan pendidikan yang melampaui standar lokal, dengan pengasuhan ala Barat yang membentuk karakter dan pemikirannya.
Pengasuhan Awal dan Pendidikan Formal
Sejak usia 10 hari, Sultan Hamid II diasuh oleh dua wanita Inggris, Salome Catherine Fox dan Edith Maud Curteis. Mereka mendidiknya dengan disiplin tinggi dan mengenalkannya pada nilai-nilai pendidikan Barat. Di bawah asuhan mereka, Sultan Hamid II fasih berbahasa Inggris, Melayu, dan Belanda, serta menunjukkan kedisiplinan dan kemampuan berpikir yang tajam.
Pendidikan dasarnya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi. Ia bersekolah di Pontianak, Sukabumi, Yogyakarta, dan Bandung. Di ELS Yogyakarta, ia bersahabat dengan Bendoro Raden Mas Dorodjatun, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Keduanya dididik dalam lingkungan elite Eropa dan kelak memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.
Setelah lulus dari ELS, Sultan Hamid II melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Bandung, mendalami ilmu teknik dan eksakta dalam bahasa Belanda. Pada awal 1930-an, ia diterima di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda, lulus dengan pangkat Letnan. Ia menjadi satu-satunya bangsawan Kalimantan yang menempuh pendidikan militer di Belanda.
Pembentukan Karakter di Istana Kadriah
Sultan Hamid II menghabiskan masa remajanya dalam lingkungan bangsawan yang memadukan tradisi Melayu-Arab dengan pengaruh budaya Barat. Istana Kadriah menjadi pusat pemerintahan, sekolah informal, dan pusat pembentukan karakter bagi putra mahkota.
Sebagai Putra Mahkota, Sultan Hamid II dididik dalam dua dimensi:
1. Pendidikan Tradisional Islam & Budaya Kesultanan: Ia belajar Al-Qur’an, tata krama kerajaan, silsilah bangsawan, dan nilai-nilai Islam. Ia juga diajarkan adat istiadat Kesultanan Melayu Pontianak, termasuk tata upacara, hukum adat, dan seni tutur Melayu. Lingkungan istana juga aktif dalam diplomasi kekerabatan antarkerajaan, memperluas wawasan politiknya.
2. Pembentukan Watak Eropa & Keilmuan Barat: Pengasuhnya yang berkebangsaan Inggris memperkenalkannya pada cara berpikir rasional, tata cara pergaulan aristokrat Inggris, dan semangat progresif. Ia terbiasa menerima tamu-tamu Belanda dan Eropa, bahkan menjadi penerjemah informal antara ayahnya dan para pejabat kolonial. Di perpustakaan istana, ia menyukai geografi, sejarah, ilmu pemerintahan, dan teknik.
Selain itu, Sultan Hamid II juga dibesarkan dengan disiplin fisik, seperti berkuda, memanah, latihan baris-berbaris, dan bela diri. Ayahnya, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, melibatkan Sultan Hamid II dalam sidang-sidang internal istana agar ia terbiasa mengambil keputusan.
Pendidikan Agama dari Ayahanda
Ayahanda Sultan Hamid II membekalinya dengan pendidikan agama Islam yang kuat. Pendidikan ini mencerminkan nilai-nilai khas kesultanan Melayu-Islam dan prinsip kepemimpinan raja sebagai ulil amri yang adil, berilmu, dan berakhlak.
Berikut adalah bekal pendidikan agama yang ditanamkan:
1. Pembelajaran Al-Qur’an dan Tajwid: Sultan Hamid II diwajibkan belajar membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur’an, termasuk hukum bacaan (tajwid) dan makna ayat-ayat tentang kepemimpinan dan keadilan.
2. Pelajaran Fikih dan Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Ia mempelajari fikih sesuai mazhab Syafi’i dan akidah Islam dari aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah.
3. Adab, Tasawuf, dan Etika Kesultanan: Ia diajarkan etika berbicara dengan rakyat, adab menerima tamu dan ulama, tata cara bermusyawarah, dan menahan amarah sebagai pemimpin.
4. Latihan Khutbah dan Kepemimpinan Shalat: Ia dididik untuk bisa menjadi imam shalat dan berkhutbah di hadapan rakyat.
5. Moderasi Islam dan Toleransi: Sultan Syarif Muhammad Alkadrie mendidik putranya untuk menjadi pemimpin Islam yang moderat, terbuka terhadap perbedaan, namun tetap berpegang pada prinsip Islam.
Masa remaja Sultan Hamid II di Istana Kadriah adalah masa pembentukan kepribadian yang unik, menyerap nilai-nilai Islam dan Melayu, serta menyatu dengan budaya Eropa. Ia dipersiapkan menjadi pemimpin bertaraf internasional yang memainkan peran penting dalam sejarah Republik Indonesia.Bekal Pendidikan Agama Sultan Hamid II: Fondasi Moral dan Spiritual Seorang Pemimpin

Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, ayahanda Sultan Hamid II, memberikan perhatian khusus pada pendidikan agama putranya. Beliau meyakini bahwa seorang pemimpin harus memiliki fondasi moral dan spiritual yang kuat agar dapat memerintah dengan adil dan bijaksana. Pendidikan agama yang diberikan tidak hanya terbatas pada aspek ritual dan ibadah, tetapi juga mencakup aspek akhlak, kepemimpinan, dan toleransi.
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai bekal pendidikan agama yang ditanamkan oleh Sultan Syarif Muhammad Alkadrie kepada Sultan Hamid II:
1. Pembelajaran Al-Qur’an dan Tajwid
– Tujuan:Menguasai bacaan Al-Qur’an yang fasih dan benar sesuai dengan kaidah tajwid.Memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan, keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab seorang penguasa. Menanamkan kecintaan dan keterikatan terhadap Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
– Metode:Guru-guru agama istana yang berasal dari kalangan ulama lokal (Mempawah, Sambas) dan bahkan dari Hadramaut didatangkan secara khusus untuk mengajarkan Al-Qur’an.Sultan Hamid II diajarkan tahsin (memperbaiki bacaan), tahfiz (menghafal), dan tafsir (menjelaskan makna) ayat-ayat Al-Qur’an.Perhatian khusus diberikan pada ayat-ayat tentang kepemimpinan seperti yang terdapat dalam Surah An-Nisa (ayat 58-59) dan Surah Asy-Syura (ayat 38).Hasil:Sultan Hamid II dikenal sebagai seorang yang fasih membaca Al-Qur’an dan memahami maknanya.Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi dan pedoman dalam setiap tindakan dan keputusannya.
2. Pelajaran Fikih dan Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
– Tujuan:Memahami hukum-hukum Islam yang mengatur berbagai aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah.Memiliki keyakinan yang kokoh berdasarkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, serta mengambil keputusan yang sesuai dengan syariat Islam.
– Materi:Fikih: Kitab-kitab klasik seperti Safinatun Najah, Fathul Qarib, dan Taqrib yang mengikuti mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab utama di Kesultanan Pontianak.Akidah: Akidah Islam dari aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu.
– Metode: Sultan Hamid II diajarkan oleh ulama-ulama yang ahli di bidang fikih dan akidah,Pembelajaran dilakukan dengan metode sorogan (individual) dan halaqah (kelompok), Diskusi dan tanya jawab dilakukan untuk memperdalam pemahaman tentang materi yang dipelajari.Hasil:Sultan Hamid II memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum Islam dan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Ia mampu mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menjalankan pemerintahan.
3. Adab, Tasawuf, dan Etika Kesultanan, Tujuan: Membentuk akhlak yang mulia dan kepribadian yang terpuji sebagai seorang pemimpin,Menanamkan sikap rendah hati, sabar, jujur, adil, dan bijaksana.Memahami etika dan tata krama yang berlaku di lingkungan kesultanan.
Materi:Adab: Etika berbicara, bergaul, berpakaian, makan, dan minum.Tasawuf: Ajaran tasawuf akhlaki dari Imam Al-Ghazali yang menekankan pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji.Etika Kesultanan: Tata cara menerima tamu, berinteraksi dengan rakyat, dan mengambil keputusan.
– Metode:Sultan Hamid II diberikan contoh dan teladan oleh ayahandanya, keluarga kerajaan, dan para ulama.Ia diajarkan secara langsung tentang adab, tasawuf, dan etika kesultanan. Ia dilibatkan dalam berbagai kegiatan di istana yang berkaitan dengan adab dan etika. Hasil:Sultan Hamid II tumbuh menjadi seorang yang halus budi, bijak dalam bertutur, dan tidak sombong,Ia dihormati dan dicintai oleh rakyatnya karena akhlaknya yang mulia.
4. Latihan Khutbah dan Kepemimpinan Shalat
Tujuan:Mempersiapkan Sultan Hamid II untuk mengemban tugas sebagai pemimpin agama di Kesultanan Pontianak.Meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum dan menyampaikan pesan-pesan agama. Menanamkan rasa tanggung jawab sebagai seorang pemimpin.Metode:Sultan Hamid II dilatih secara rutin untuk menjadi imam shalat dan berkhutbah, Ia diberikan kesempatan untuk memimpin shalat dan berkhutbah di hadapan keluarga kerajaan dan para pejabat istana.,Ia mendapatkan bimbingan dan koreksi dari para ulama dan ahli khutbah,Hasil:Sultan Hamid II mampu menjadi imam shalat dan berkhutbah dengan baik. Ia terbiasa berbicara di depan umum dan menyampaikan pesan-pesan agama dengan jelas dan efektif.
5. Moderasi Islam dan Toleransi
– Tujuan:Mendidik Sultan Hamid II menjadi seorang pemimpin Islam yang moderat dan toleran,Menanamkan sikap terbuka terhadap perbedaan dan menghormati agama lain,Membangun kerukunan dan persatuan dalam masyarakat yang majemuk.
Metode:Sultan Syarif Muhammad Alkadrie memberikan contoh dan teladan dalam bersikap moderat dan toleran.Sultan Hamid II diajak berinteraksi dengan tokoh-tokoh agama lain dan anggota masyarakat dari berbagai latar belakang.
– Ia diajarkan tentang prinsip-prinsip toleransi dalam Islam.
– Hasil:Sultan Hamid II dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati agama lain.,Ia mendukung prinsip persatuan dalam keberagaman sebagaimana terlihat dalam perannya sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.
Bekal pendidikan agama yang mendalam ini menjadikan Sultan Hamid II seorang bangsawan yang saleh, visioner, dan memiliki fondasi moral yang kuat dalam memimpin dan berperan di panggung nasional. Pendidikan ini pula yang membentuknya menjadi seorang pemimpin yang moderat, toleran, dan mampu menjembatani perbedaan dalam masyarakat.
Beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang yang tercatat hasil penelusuran dari majelis tassuf AlKadrie yang familiar diajarkan kepada Sultan Hamid II, dengan penekanan pada tema kepemimpinan, keadilan, dan tanggung jawab, meliputi:
1. Surah An-Nisa (4:58):إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Relevansi: Ayat ini menekankan pentingnya amanah (kepercayaan) dan keadilan bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan memberikan hak kepada setiap orang.
2. Surah An-Nisa (4:59):يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”Relevansi: Ayat ini mengajarkan tentang ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin (ulil amri). Namun, jika terjadi perbedaan pendapat, maka harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ini menunjukkan pentingnya musyawarah dan kembali kepada sumber hukum Islam dalam mengambil keputusan.
3. Surah Asy-Syura (42:38):وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”Relevansi: Ayat ini menekankan pentingnya musyawarah dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin harus mendengarkan pendapat rakyatnya dan mengambil keputusan berdasarkan hasil musyawarah.
4. Surah Ali Imran (3:159):فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Relevansi: Ayat ini mengajarkan tentang kelembutan, kasih sayang, dan pentingnya memaafkan dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus bersikap lemah lembut terhadap rakyatnya, memaafkan kesalahan mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan penting.
5. Surah Al-Baqarah (2:286):لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۚ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”Relevansi: Ayat ini menekankan bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Seorang pemimpin harus memahami keterbatasan rakyatnya dan tidak memberikan beban yang terlalu berat kepada mereka.
Hasilnya wafat dalam Keadaan Bersujud
Berikut adalah beberapa contoh tindakan yang menunjukkan penerapan nilai-nilai yang telah dibahas sebelumnya, terkait dengan Sultan Hamid II:

1. Keadilan (Al-Adl)
– Tindakan: Sultan Hamid II menerapkan sistem hukum yang adil di kerajaannya dengan memberikan hak yang sama kepada semua rakyat, terlepas dari latar belakang sosial atau ekonomi mereka. Ia menetapkan pengadilan yang independen untuk menangani kasus-kasus dengan objektivitas.
2. Amanah (Kepercayaan)
– Tindakan: Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Hamid II selalu berusaha untuk menjaga amanah yang diberikan oleh rakyatnya. Ia menghindari korupsi dan memastikan bahwa semua sumber daya negara digunakan untuk kepentingan publik.
3. Kasih Sayang dan Kelembutan (Rahmah dan Layn)
– Tindakan: Sultan Hamid II dikenal karena pendekatannya yang humanis. Ia sering mengunjungi daerah-daerah terpencil untuk mendengarkan keluhan rakyat dan memberikan bantuan langsung, menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan mereka.
4. Sikap Toleransi
– Tindakan: Dalam masyarakat yang beragam, Sultan Hamid II mempromosikan sikap toleransi dengan menghormati berbagai agama dan budaya. Ia mendukung kebijakan yang memungkinkan berbagai komunitas untuk menjalankan kepercayaan mereka dengan bebas.
5. Musyawarah (Syura)
– Tindakan: Sultan Hamid II sering mengadakan pertemuan dengan penasihat dan pemimpin masyarakat untuk mendiskusikan berbagai isu penting. Pendekatan ini mencerminkan nilai musyawarah, di mana keputusan diambil berdasarkan konsensus.
6. Kepemimpinan yang Beretika
– Tindakan: Sultan Hamid II berusaha untuk menjadi teladan dalam etika kepemimpinan. Ia berkomitmen untuk tidak menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
7. Keberanian dan Keteguhan (Shabr dan Iman)
– Tindakan: Dalam menghadapi tantangan politik dan sosial, Sultan Hamid II menunjukkan keberanian dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam dan berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi negara dan rakyatnya.
8. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
– Tindakan: Sultan Hamid II sangat mendukung pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan beradab.
9. Rasa Syukur dan Tawakkal
– Tindakan: Dalam setiap kebijakan yang diambilnya, Sultan Hamid II menunjukkan sikap syukur dengan mengakui segala nikmat dan karunia yang diberikan Allah. Ia juga mengajak rakyat untuk berserah diri kepada Allah setelah berusaha dengan maksimal.
10. Integritas dan Kejujuran
– Tindakan: Sultan Hamid II dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan transparan. Ia memastikan bahwa semua laporan keuangan dan keputusan pemerintah disampaikan dengan jelas kepada publik, membangun kepercayaan di antara rakyatnya.
Kesimpulan
Tindakan-tindakan ini mencerminkan bagaimana Sultan Hamid II menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan agama, yang tidak hanya membentuk karakternya sebagai pemimpin, tetapi juga mempengaruhi cara ia memimpin dan berinteraksi dengan rakyatnya. Penerapan nilai-nilai tersebut menjadi landasan bagi kepemimpinannya yang beretika dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Selain ayat-ayat di atas, Sultan Hamid II juga mungkin diajarkan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan keadilan sosial, zakat, infaq, sedekah, dan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan umat. Pemilihan ayat-ayat ini disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan.
Catatan:- Informasi ini didasarkan pada arsip Kesultanan Pontianak, wawancara keluarga istana dan para guru tasawuf kerabat Alkadrie, dan buku “Hamid Alkadrie: Sultan Pontianak” oleh Frans Dingemans juga catatan Max Yusuf Alkadrie, sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II, memiliki sejumlah tugas penting selama masa jabatannya dari tahun 1966 hingga 1978. Berikut adalah beberapa tugas utama yang dijalankannya:

1. Pengelolaan Dokumen dan Data
Max Yusuf bertanggung jawab untuk menyimpan dan mengelola dokumen-dokumen penting serta data terkait Sultan Hamid II. Ia memastikan bahwa semua informasi dan arsip yang berkaitan dengan Sultan dan pemerintahannya terorganisir dengan baik.
2. Koordinasi Kegiatan Sultan
Sebagai sekretaris pribadi, Max Yusuf berperan dalam mengatur jadwal dan kegiatan sehari-hari Sultan Hamid II. Ini termasuk mengatur pertemuan, acara resmi, dan perjalanan, serta memastikan bahwa Sultan dapat menjalankan tugasnya dengan efisien.
3. Komunikasi dan Hubungan Publik
Max Yusuf juga berfungsi sebagai penghubung antara Sultan Hamid II dan berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah, media, dan masyarakat. Ia sering kali menyampaikan pesan dan kebijakan Sultan kepada publik.
4. Penyusunan Laporan dan Dokumentasi
Ia terlibat dalam penyusunan laporan-laporan yang diperlukan oleh Sultan, baik yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan maupun perkembangan yang terjadi di masyarakat. Ini penting untuk memberikan informasi yang akurat dan terkini kepada Sultan.
5. Dukungan dalam Kebijakan dan Keputusan
Max Yusuf memberikan masukan dan dukungan kepada Sultan dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan publik dan administrasi pemerintahan. Ia membantu Sultan dalam merumuskan strategi yang tepat untuk menghadapi tantangan yang ada.
6. Pengawasan Proyek dan Inisiatif
Ia juga terlibat dalam pengawasan proyek-proyek yang diprakarsai oleh Sultan, termasuk inisiatif sosial dan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
7. Peran dalam Yayasan Sultan Hamid II
Sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II, Max Yusuf memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan mengembangkan yayasan yang berfokus pada pelestarian warisan Sultan Hamid II dan kontribusinya terhadap masyarakat.
Max Yusuf Alkadrie, sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II, memiliki keterlibatan dalam aspek politik, meskipun perannya lebih banyak bersifat administratif dan pendukung. Berikut adalah beberapa poin mengenai keterlibatan politiknya:
1. Peran dalam Yayasan Sultan Hamid II
Max Yusuf menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II, yang berfokus pada pelestarian warisan Sultan Hamid II dan kontribusinya terhadap bangsa. Dalam kapasitas ini, ia terlibat dalam berbagai inisiatif yang berkaitan dengan pengakuan sejarah dan kontribusi Sultan Hamid II, termasuk pengajuan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional pada tahun 2016 .
2. Keterlibatan dalam Kebijakan Publik
Max Yusuf sering memberikan masukan terkait kebijakan yang diambil oleh Sultan Hamid II. Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam politik praktis, ia berperan dalam membantu Sultan dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi masyarakat dan pemerintahan.
3. Hubungan dengan Pejabat dan Komunitas
Sebagai sekretaris pribadi, Max Yusuf berinteraksi dengan berbagai pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat. Ini memberinya akses dan pengaruh dalam diskusi-diskusi politik yang lebih luas, meskipun ia tidak secara resmi menjabat posisi politik, dilingkungan kesultanan Kadriyah Pontianak digelar Pangeran Mas Jaya oleh Sultan Abubakar AlKadrie ,sultan ke 8.
4. Pengaruh dalam Sejarah Politik Indonesia
Max Yusuf juga terlibat dalam mendokumentasikan dan menyimpan arsip yang berkaitan dengan sejarah politik Indonesia, terutama yang berhubungan dengan Sultan Hamid II. Ia berperan dalam menjaga dan menyebarluaskan informasi yang dapat memberikan perspektif berbeda tentang peran Sultan Hamid II dalam sejarah politik Indonesia .Meskipun Max Yusuf Alkadrie tidak menjabat sebagai politisi aktif, ia memiliki peran penting dalam mendukung Sultan Hamid II dan berkontribusi dalam konteks politik melalui yayasan dan pengaruhnya dalam kebijakan publik. Keterlibatannya dalam mendokumentasikan sejarah dan mempromosikan pengakuan terhadap Sultan Hamid II juga menunjukkan peran politik yang lebih luas dalam pelestarian warisan budaya dan sejarah.
Melalui berbagai tugas ini, Max Yusuf Alkadrie tidak hanya berperan sebagai sekretaris pribadi, tetapi juga sebagai penasihat dan pendukung utama Sultan Hamid II, membantu dalam menjalankan pemerintahan dan menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat serta berbagai pihak terkait.
Max Yusuf Alkadrie, sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II, memiliki keterlibatan dalam aspek politik, meskipun perannya lebih banyak bersifat administratif dan pendukung. Berikut adalah beberapa poin mengenai keterlibatan politiknya:
1. Peran dalam Yayasan Sultan Hamid II
Max Yusuf menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II, yang berfokus pada pelestarian warisan Sultan Hamid II dan kontribusinya terhadap bangsa. Dalam kapasitas ini, ia terlibat dalam berbagai inisiatif yang berkaitan dengan pengakuan sejarah dan kontribusi Sultan Hamid II, termasuk pengajuan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional pada tahun 2016 .
2. Keterlibatan dalam Kebijakan Publik
Max Yusuf sering memberikan masukan terkait kebijakan yang diambil oleh Sultan Hamid II. Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam politik praktis, ia berperan dalam membantu Sultan dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi masyarakat dan pemerintahan, salahsatu contoh memfasilitasi pertemuan Sultan Hamid II dengan Osman Sapta Yang dikenal pemberani melamar putri Jenderal Odang dan Sultan Hamid II yang melamarkan.
Teks keterangan Oesman Sapta Odang OSO, menceritakan pengalaman bertemu dengan Buya panggilan beliau kepada Sultan Hamid II di hotel Des indes ini catatannya ,bahwa dalam dunia politik, khususnya terkait dengan pembentukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Berikut narasi berdasarkan kutipan tersebut:
Buya memulai kisahnya dengan menceritakan tentang peliharaannya, yaitu seekor anjing bernama Blacky. Anjing ini menjadi simbol kesetiaan dan persahabatan, yang kemudian dihubungkan dengan pengalaman Buya dalam berpolitik. Kisah Blacky menjadi metafora dari perjalanan Buya dalam memperjuangkan otonomi daerah.
Buya menjelaskan perjalanannya dalam memperjuangkan otonomi daerah, dimulai dari masa-masa sulit hingga akhirnya DPD terbentuk. Ia bercerita tentang berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi, termasuk perbedaan pendapat dan tekanan dari berbagai pihak. Buya juga menyebutkan perannya sebagai Wakil Ketua MPR RI, yang menunjukkan posisinya yang penting dalam politik nasional.
Ia menekankan pentingnya otonomi daerah dan bagaimana DPD berperan dalam memperjuangkannya. Buya juga menyoroti pentingnya sistem pemerintahan yang baik dan bagaimana DPD dapat berkontribusi dalam hal ini. Ia menggambarkan perjalanannya sebagai proses pembelajaran yang berharga, di mana ia belajar banyak tentang politik dan kepemimpinan.
Buya juga menceritakan perannya dalam DPR, Dewan Perwakilan Rakyat, dan bagaimana ia memperjuangkan aspirasi rakyat. Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang yang gigih dan bersemangat dalam memperjuangkan apa yang diyakininya benar.
Secara keseluruhan, teks tersebut merupakan narasi perjalanan Buya dalam memperjuangkan otonomi daerah melalui DPD. Kisah ini diwarnai dengan berbagai tantangan, tetapi juga dipenuhi dengan semangat dan keyakinan yang kuat. Penggunaan analogi anjing Blacky menambah kedalaman dan daya tarik narasi, menggambarkan kesetiaan dan kegigihan Buya dalam memperjuangkan cita-citanya. Buya menyoroti pentingnya peran DPD dalam sistem pemerintahan Indonesia dan bagaimana ia berkontribusi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Oesman Sapta Odang menceritakan pengalaman Buya dalam dunia politik, khususnya terkait dengan pembentukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Berikut narasi berdasarkan kutipan tersebut:
Buya memulai kisahnya dengan menceritakan tentang peliharaannya, yaitu seekor anjing bernama Blacky. Anjing ini menjadi simbol kesetiaan dan persahabatan, yang kemudian dihubungkan dengan pengalaman Buya dalam berpolitik. Kisah Blacky menjadi metafora dari perjalanan Buya dalam memperjuangkan otonomi daerah.
Buya menjelaskan perjalanannya dalam memperjuangkan otonomi daerah, dimulai dari masa-masa sulit hingga akhirnya DPD terbentuk. Ia bercerita tentang berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi, termasuk perbedaan pendapat dan tekanan dari berbagai pihak. Buya juga menyebutkan perannya sebagai Wakil Ketua MPR RI, yang menunjukkan posisinya yang penting dalam politik nasional.
Ia menekankan pentingnya otonomi daerah dan bagaimana DPD berperan dalam memperjuangkannya. Buya juga menyoroti pentingnya sistem pemerintahan yang baik dan bagaimana DPD dapat berkontribusi dalam hal ini. Ia menggambarkan perjalanannya sebagai proses pembelajaran yang berharga, di mana ia belajar banyak tentang politik dan kepemimpinan.
Buya juga menceritakan perannya dalam DPR, Dewan Perwakilan Rakyat, dan bagaimana ia memperjuangkan aspirasi rakyat. Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang yang gigih dan bersemangat dalam memperjuangkan apa yang diyakininya benar.
Secara keseluruhan, teks tersebut merupakan narasi perjalanan Buya dalam memperjuangkan otonomi daerah melalui DPD. Kisah ini diwarnai dengan berbagai tantangan, tetapi juga dipenuhi dengan semangat dan keyakinan yang kuat. Penggunaan analogi anjing Blacky menambah kedalaman dan daya tarik narasi, menggambarkan kesetiaan dan kegigihan Buya dalam memperjuangkan cita-citanya. Buya menyoroti pentingnya peran DPD dalam sistem pemerintahan Indonesia dan bagaimana ia berkontribusi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
3. Hubungan dengan Pejabat dan Komunitas
Sebagai sekretaris pribadi, Max Yusuf berinteraksi dengan berbagai pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat. Ini memberinya akses dan pengaruh dalam diskusi-diskusi politik yang lebih luas, meskipun ia tidak secara resmi menjabat posisi politik.
4. Pengaruh dalam Sejarah Politik Indonesia
Max Yusuf juga terlibat dalam mendokumentasikan dan menyimpan arsip yang berkaitan dengan sejarah politik Indonesia, terutama yang berhubungan dengan Sultan Hamid II. Ia berperan dalam menjaga dan menyebarluaskan informasi yang dapat memberikan perspektif berbeda tentang peran Sultan Hamid II dalam sejarah politik Indonesia.Meskipun Max Yusuf Alkadrie tidak menjabat sebagai politisi aktif, ia memiliki peran penting dalam mendukung Sultan Hamid II dan berkontribusi dalam konteks politik melalui yayasan dan pengaruhnya dalam kebijakan publik. Keterlibatannya dalam mendokumentasikan sejarah dan mempromosikan pengakuan terhadap Sultan Hamid II juga menunjukkan peran politik yang lebih luas dalam pelestarian warisan budaya dan sejarah.Salsh satu catatannya dan berkali kali , menjelaskan , bahwa satu satunya pejabat yang wafat dalam keadaan bersujud ketika sholat, adalah Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia.
Referensi & Literatur Pendukung:
Frans Dingemans, Hamid Alkadrie: Sultan Pontianak (1979).
George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).
Tengku Mulia Dilaga Turiman F. Nur, M.Hum, jurnal dan arsip Universitas Tanjungpura & Yayasan Sultan Hamid II.
Arsip Kesultanan Pontianak, wawancara keturunan dalam majelis tasawuf dilingkungsn AlKadrie serta dokumen-dokumen peninggalan Istana Kadriah. ( Red )

CATEGORIES
TAGS
Share This