Kedudukan Status Hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) setelah Terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat pada 1 Januari 1957,Berdasarkan Hukum Tata Negara Indonesia

Kedudukan Status Hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) setelah Terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat pada 1 Januari 1957,Berdasarkan Hukum Tata Negara Indonesia

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

1. Latar Belakang Historis dan Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat
Keputusan Gubernur Kalimantan No. 186/OPB/92/14 tanggal 14 Agustus 1950 menjadi dasar awal pembentukan administratif provinsi di Kalimantan, termasuk Kalimantan Barat.
Dorongan masyarakat disebutkan secara eksplisit dalam konsideran UU Darurat No. 2 Tahun 1953, sebagai bagian dari kehendak lokal agar wilayahnya mendapatkan status otonomi penuh.
> Catatan: Ini menunjukkan adanya aspirasi lokal dan rekognisi politik terhadap wilayah Kalimantan Barat sebagai entitas sosial-politik yang ingin mengatur rumah tangganya sendiri.
2. Substansi UU Darurat No. 2 Tahun 1953 dan Dualitas Norma
Pasal 1 ayat (1) dari UU ini menyebut: “Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam PP RIS No. 21 Tahun 1950… dibentuk sebagai daerah otonom “Propinsi Kalimantan”…” termasuk Kalimantan Barat.
Namun, wilayah Kalimantan Barat saat itu masih merupakan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang berdiri sendiri sejak 1947 dan memiliki status kenegaraan otonom di bawah Konstitusi RIS 1949.
> Implikasi: Ada ketidaksinkronan antara keberadaan DIKB sebagai satuan negara dalam RIS dan norma UU Darurat No. 2 Tahun 1953 yang meleburkan status istimewa tersebut ke dalam bentuk provinsi biasa tanpa penghormatan terhadap asal-usul keistimewaannya.
3. PP RIS No. 21 Tahun 1950 dan Masalah Pemberlakuan Surut
Dalam Pasal 1, Kalimantan disebut secara umum, tanpa menyebut Kalimantan Barat secara khusus, dan menyamaratakan seluruh Kalimantan sebagai satu “Provinsi”.
Pasal 3 menyatakan bahwa PP tersebut berlaku surut sejak terbentuknya NKRI (17 Agustus 1945). Namun, ini bertentangan secara frontal dengan Konstitusi RIS 1949, terutama:
Pasal 197 Konstitusi RIS menyatakan bahwa konstitusi berlaku mulai 27 Desember 1949 (pemulihan kedaulatan).
Pasal 51 ayat (2) mewajibkan persetujuan antara pemerintah federal dan daerah bagian untuk perubahan tata negara, bukan pemberlakuan sepihak.
> Implikasi: Penghilangan status kenegaraan DIKB secara retroaktif lewat PP No. 21 Tahun 1950 adalah cacat hukum secara tata negara, karena tidak melalui mekanisme perubahan sesuai dengan Konstitusi RIS.
4. Konstitusi RIS 1949 sebagai Norma Dasar yang Dilanggar
Konstitusi RIS mengakui adanya negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan otonom, seperti DIKB, di luar Republik Indonesia (Pasal 2 huruf b).
Pasal 197 ayat (2) memang memperbolehkan pemberlakuan surut dalam rangka pembentukan perangkat negara, tetapi bukan untuk menghapuskan entitas negara bagian tanpa persetujuan.
> Kesimpulan: Pemberlakuan surut PP No. 21 Tahun 1950 hingga ke 17 Agustus 1945, justru bertentangan dengan logika dan struktur Konstitusi RIS yang mengatur bahwa proses perubahan status negara bagian harus berdasarkan undang-undang federal dan persetujuan daerah.
5. Simpulan Yuridis dan Sejarah Tata Negara
1. Secara de jure, DIKB adalah satuan kenegaraan yang sah dalam sistem federal RIS, sejak 1947 hingga minimal Desember 1949.
2. PP No. 21 Tahun 1950 dan UU Darurat No. 2 Tahun 1953 secara diam-diam dan inkonstitusional menghapus keistimewaan DIKB tanpa mekanisme konstitusional sebagaimana diatur dalam Konstitusi RIS.
3. Pemberlakuan surut yang menyamakan Kalimantan sebagai satu kesatuan provinsi telah mengaburkan entitas historis DIKB, dan secara de facto maupun de jure bertentangan dengan prinsip-prinsip federalisme RIS.
4. Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat pada 1 Januari 1957 seharusnya menimbang status historis dan hukum DIKB, namun hal ini diabaikan dalam kebijakan politik dan legislasi nasional saat itu.

Rekomendasi Akademik dan Hukum

Perlu dilakukan kajian ulang hukum tata negara tentang posisi dan status DIKB dalam sistem kenegaraan Indonesia pasca-RIS.
Diperlukan rekonstruksi sejarah hukum melalui studi perbandingan dengan entitas istimewa lain seperti DIY dan Aceh.
Perlu ada dialog nasional dan lokal untuk membahas kemungkinan pengakuan kembali keistimewaan Kalimantan Barat, berdasarkan fakta sejarah dan kerangka konstitusional yang sah.status hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dalam konteks transisi dari sistem federal Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berikut adalah analisis mendalam dari aspek hukum tata negara yang dapat dirumuskan berdasarkan substansi tersebut:
I. Pokok Masalah: Tidak Adanya Dasar Hukum Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat dalam Konstitusi RIS
Dalam lampiran Konstitusi RIS 1949 mengenai urusan yang menjadi kewenangan pemerintah federal, tidak terdapat satupun ketentuan yang menyebutkan pembentukan provinsi atau wilayah administratif setingkat provinsi, khususnya untuk Kalimantan Barat. Hal-hal yang disebutkan (huruf a–z) hanya mencakup:
Pengaturan asas hukum perdata dan pidana (a–c),
Kekuasaan kehakiman, pertahanan, perhubungan luar negeri (j–x),
Pajak, mata uang, kepolisian, dan lain-lain sebagai urusan pusat (federal).
➡️ Implikasi: Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat tidak berasal dari kewenangan konstitusional RIS, melainkan berasal dari proses administratif dan politik pasca-integrasi ke dalam NKRI
II. Status DIKB Menurut Pasal 2 Konstitusi RIS: Satuan Kenegaraan yang Tegak Sendiri
Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 huruf b menyatakan secara tegas bahwa:
> “Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)” adalah satuan kenegaraan yang tegak sendiri, bersama Bangka, Belitung, Riau, dan daerah lainnya.
➡️ Artinya:
DIKB berdiri secara konstitusional di luar Negara Republik Indonesia (Yogyakarta).

DIKB bukan bagian dari Negara Indonesia dalam pengertian “Negara bagian” RIS, seperti Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan lainnya.
DIKB memiliki kedaulatan terbatas sebagai entitas kenegaraan dalam sistem federal RIS.
III. Kontradiksi Hukum: Status DIKB Pasca Pembubaran RIS
Setelah RIS dibubarkan dan NKRI ditegakkan kembali melalui Piagam Persetujuan RIS–RI 19 Mei 1950, muncul persoalan hukum baru:
Pasal 4 sub II A Piagam itu menyatakan:
> “Perlu diusahakan agar sebelum ada UU kesatuan yang baru, UU RI dapat juga diberlakukan di wilayah RIS lainnya, jika dimungkinkan.”
➡️ Maka muncul kekosongan hukum: UU RI tidak serta merta berlaku di Kalimantan Barat karena:
1. Kalimantan Barat tidak pernah menjadi bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta)
2. UU No. 22 Tahun 1948 tidak berlaku otomatis untuk Kalimantan Barat.
3. UU No. 44 Tahun 1950 (tentang pembentukan provinsi di Indonesia Timur) juga tidak berlaku untuk Kalimantan Barat.
IV. Solusi Politik dan Administratif: UU Darurat No. 3 Tahun 1953
Melalui UU Darurat RI No. 3 Tahun 1953, pemerintah pusat menyatakan bahwa:
Karena belum ada UU pemerintahan daerah yang bersifat nasional,
Dan karena Kalimantan Barat tidak termasuk dalam wilayah Republik Indonesia sebelum 1950,
Maka untuk sementara, UU No. 22 Tahun 1948 dijadikan pedoman administratif bagi Kalimantan Barat berdasarkan Pasal 4 sub II A Piagam RIS-RI.
➡️ Inilah jalan keluar administratif darurat yang kemudian menjadi landasan pembentukan 6 Kabupaten dan 1 Kota Pontianak secara administratif di wilayah bekas DIKB berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10.
V. Temuan Penting dan Kritik Ilmiah

1. Kekeliruan Historis dan Konstitusional:
Banyak peneliti menganggap Kalimantan Barat sejak awal bagian dari Republik Indonesia.
Padahal, secara konstitusi RIS, Kalimantan Barat berdiri sendiri sebagai entitas federal dengan status daerah istimewa.
Konsep “Provinsi Kalimantan Barat” baru terbentuk berdasarkan penggabungan administratif dan bukan melalui proses konstitusional RIS.
2. Ketiadaan Legislasi Nasional yang Uniform:
Tidak adanya undang-undang pemerintahan daerah yang menyeluruh menyebabkan Kalimantan Barat masuk ke dalam sistem NKRI tanpa dasar hukum formal yang kuat, melainkan atas dasar darurat dan kebutuhan praktis.
3. Potensi Tuntutan Historis:
Fakta ini dapat digunakan sebagai dasar kajian rekonstruksi status hukum DIKB, baik dalam konteks pengakuan sejarah maupun rekognisi kultural-politik seperti status keistimewaan sebagaimana daerah lain (Yogyakarta, Aceh, Papua).
Kesimpulan Akademik
DIKB secara hukum adalah entitas kenegaraan yang berdiri sendiri dalam struktur RIS, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Konstitusi RIS 1949.
Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat tidak pernah dicantumkan dalam kewenangan RIS, dan baru diadministrasikan setelah integrasi ke dalam NKRI melalui pendekatan darurat administratif.
UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950 tidak berlaku otomatis untuk Kalimantan Barat, dan baru diterapkan secara adaptif berdasarkan Piagam Persetujuan RIS–RI.
Kajian ulang atas status hukum Kalimantan Barat penting untuk rekonstruksi sejarah ketatanegaraan Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan hak istimewa atau rekognisi identitas politik historis.
kapan Provinsi Kalimantan Barat terbentuk secara hukum tata negara, dengan menegaskan bahwa proses integrasi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) ke dalam NKRI tidak serta-merta sah menurut prinsip konstitusional RIS 1949:

I. Status DIKB dalam Konstitusi RIS 194
Berdasarkan:
Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949:
“Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri di luar wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta) pada tanggal 17 Januari 1948 (Perjanjian Renville), termasuk Kalimantan Barat.”
Ini berarti DIKB adalah entitas kenegaraan setara dengan Republik Indonesia Yogyakarta, bukan bagian dari wilayah RI, melainkan entitas dalam struktur federasi RIS.
II. Kesalahan Konstitusional dalam Integrasi Kalimantan Barat ke NKRI
Berdasarkan:
UU Darurat No. 3 Tahun 1953
Keputusan Mendagri 1950–1951
Penjelasan bahwa UU No. 22 Tahun 1948 digunakan sebagai pedoman administrasi, padahal secara hukum tidak berlaku bagi Kalimantan Barat, karena:
Kalimantan Barat bukan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta)
Tidak ada dasar hukum eksklusif yang menginkorporasi DIKB ke dalam sistem hukum NKRI sebelum 1956
> ⚠️ Ini menunjukkan terjadinya penerapan hukum yang inkonstitusional, yaitu memaksakan hukum RI kepada wilayah DIKB tanpa proses hukum pengakuan integrasi secara eksplisit
III. Tanggal Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat Secara Hukum Tata Negara
Berdasarkan:
Undang-Undang No. 25 Tahun 1956
(Lembaran Negara No. 65 Tahun 1956, diundangkan 7 Desember 1956, berlaku mulai 1 Januari 1957)

Kesimpulan yuridis:

Provinsi Kalimantan Barat secara hukum tata negara dibentuk pada tanggal 1 Januari 1957
Hal ini terjadi bukan sebagai kelanjutan otomatis DIKB, tetapi pembentukan baru berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956 yang:
Mengganti UU Darurat No. 2 Tahun 1953
Berdasarkan UUDS 1950 dan UU No. 22 Tahun 1948 sebagai pedoman administratif
Mengatur pemekaran Provinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi otonom, termasuk Kalimantan Barat
IV. Implikasi Sejarah Hukum DIKB
1. DIKB (1947–1950) adalah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri dan sejajar dengan Negara Republik Indonesia (Yogyakarta).
2. Setelah Konstitusi RIS diganti oleh UUDS 1950, tidak ada norma eksplisit yang menyatakan pembubaran DIKB secara hukum positif.
3. Keputusan Mendagri 1950–1951 hanya administratif, dan menjadi dasar inkonsisten karena digunakan untuk membagi entitas setingkat negara tanpa dasar konstitusional.
4. Penggunaan UU No. 22 Tahun 1948 sebagai pedoman administratif adalah inkonstitusional terhadap Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS.
Rekomendasi Penelitian Lanjutan
1. Studi rekonstruktif hukum konstitusi RIS terhadap status bekas-bekas negara bagian (terutama DIKB).
2. Studi perbandingan historis-yuridis dengan:
DI Aceh (UU No. 18/2001)
DI Yogyakarta (UU No. 13/2012)
Status eks-kerajaan lainnya di Indonesia
Analisis Konstitusional terhadap Penghapusan Status Hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat melalui PP No. 21 Tahun 1950 dan UU Darurat Tahun 1953
1. Norma Berlaku Surut dalam PP No. 21 Tahun 1950

Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 menyatakan bahwa:
> “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Ketentuan ini merupakan penerapan asas retroaktif (berlaku surut) dalam hukum tata negara, yang menyimpang dari Pasal 197 Konstitusi RIS, yang secara normatif menetapkan bahwa perubahan bentuk negara atau struktur ketatanegaraan seharusnya dilakukan tanpa mengabaikan proses transisi dan pengakuan terhadap entitas-entitas kenegaraan yang sebelumnya berdiri dalam struktur federal RIS.
2. Ketidaksesuaian dengan Lampiran Pasal 51 Konstitusi RIS
Lampiran pasal 51 memuat 26 poin urusan pemerintahan federal yang menjadi urusan Republik Indonesia Serikat secara eksklusif, di antaranya menyangkut:
Kewarganegaraan
Imigrasi
Pajak pusat
Hubungan luar negeri
Pertahanan dan moneter
Hak amnesti, grasi, abolisi, dan sebagainya
Namun tidak satu pun poin dalam lampiran tersebut menyebutkan atau memberi amanat kepada pemerintah federal untuk membentuk provinsi, terutama di Kalimantan, sehingga:
> Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat oleh pemerintah pusat (yang menggantikan struktur RIS) tidak memiliki dasar konstitusional langsung dalam Pasal 51 Konstitusi RIS.
3. Penegasan Status Hukum Kalimantan Barat sebagai Satuan Kenegaraan
Dalam Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949:
> “Kalimantan Barat (Daerah Istimewa) adalah satuan kenegaraan yang tegak sendiri.”
Artinya:

DIKB berdiri sejajar dengan entitas kenegaraan lain seperti Negara Sumatera Selatan atau Negara Indonesia Timur.
Bukan bagian dari Republik Indonesia (Yogyakarta), yang tercantum di huruf a dan berdasarkan Persetujuan Renville.
Ini menunjukkan bahwa:
> Secara konstitusional, DIKB memiliki kedudukan entitas kenegaraan (quasi-state) dalam struktur federasi RIS, dan pengabaian terhadap kedudukan ini dalam pembentukan provinsi tanpa konsultasi konstitusional merupakan bentuk delegitimasi sejarah hukum.
4. Penjelasan Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953
Penjelasan Umum UU Darurat No. 3 Tahun 1953 mengakui bahwa:
Bekas DIKB telah dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota.
Kalimantan Barat tidak pernah menjadi bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta).
Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 1948 tidak otomatis berlaku di Kalimantan Barat.
Namun disebutkan pula:
> “…perlu diusahakan di mana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, perundang-undangan Republik Indonesia dilakukan juga di Kalimantan Barat.”
Ini menandakan bahwa:
Penerapan hukum Republik Indonesia di Kalimantan Barat bersifat eksperimental dan belum legitimate secara penuh.
Kalimantan Barat masih berada dalam zona transisi hukum yang seharusnya mendapatkan pengaturan khusus.
5. Kesimpulan Hukum dan Rekomendasi
Kesimpulan:
PP No. 21 Tahun 1950 melanggar prinsip non-retroaktif dan asas federalisme sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi RIS.

Lampiran Pasal 51 Konstitusi RIS tidak memberi dasar hukum bagi pembentukan provinsi di Kalimantan, termasuk Kalimantan Barat.
DIKB secara konstitusional adalah satuan kenegaraan yang tegak sendiri, dan penghapusannya tanpa dasar konstitusional yang sah melanggar prinsip legalitas.
UU Darurat No. 3 Tahun 1953 secara tidak langsung mengakui bahwa Kalimantan Barat berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia sebelum terbentuknya NKRI.
Rekomendasi:
1. Rekonstruksi status hukum DIKB melalui pendekatan sejarah hukum tata negara berbasis Konstitusi RIS dan dokumen transisi 1949–1953.
2. Dialog publik dan akademik untuk membuka wacana tentang status keistimewaan Kalimantan Barat yang terabaikan.
3. Kajian yuridis ulang terhadap keberlakuan PP No. 21/1950 dalam kerangka peralihan dari RIS ke NKRI, terutama terhadap asas retroaktif.
4. Studi banding dengan Daerah Istimewa lain seperti Yogyakarta dan Aceh untuk memulihkan atau merekonstruksi status istimewa DIKB berdasarkan keadilan historis.
Berikut ringkasan terperinci poin-poin utama dari dokumen tentang kedudukan hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) setelah pembentukan Provinsi Kalimantan Barat:
I. Status DIKB dalam RIS (Republik Indonesia Serikat):
1. Entitas Kenegaraan yang Mandiri: DIKB, berdasarkan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949, adalah satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, sejajar dengan negara-negara bagian lain di RIS, bukan bagian dari Republik Indonesia (RI) yang ada di Jawa. Ini memiliki implikasi penting pada proses integrasi ke NKRI.
2. Ketiadaan Dasar Hukum Pembentukan Provinsi dalam Konstitusi RIS: Konstitusi RIS 1949 tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah federal untuk membentuk provinsi, khususnya di Kalimantan. Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, karenanya, bukan berasal dari kewenangan konstitusional RIS.
II. Proses Integrasi DIKB ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia):

1. Penggunaan UU Darurat dan Keputusan Administratif: Integrasi DIKB ke NKRI dilakukan melalui pendekatan administratif darurat, bukan melalui proses konstitusional yang jelas. UU Darurat No. 3 Tahun 1953 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan contoh pendekatan ini. Ini menunjukkan adanya celah dan kelemahan hukum dalam proses tersebut.
2. Penerapan UU yang Tidak Berlaku Otomatis: UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950, yang mengatur pemerintahan daerah, tidak berlaku secara otomatis di DIKB karena DIKB bukanlah bagian dari RI sebelum 1950. Penerapannya bersifat adaptif dan sementara.
3. Inkonsistensi Hukum: Ada ketidaksesuaian antara Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 (status DIKB sebagai entitas kenegaraan sendiri) dengan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 yang menerapkan asas retroaktif (berlaku surut), menghapus status istimewa DIKB tanpa proses konstitusional. Ini merupakan cacat hukum.
4. Pelanggaran Prinsip Federalisme dan Non-Retroaktif: PP No. 21 Tahun 1950 melanggar prinsip federalisme RIS dan prinsip non-retroaktif dalam hukum tata negara. Pemberlakuan surut PP ini bertentangan dengan Pasal 197 Konstitusi RIS yang mengatur perubahan bentuk negara. Penghapusan status DIKB dilakukan sepihak tanpa persetujuan.
III. Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat (1 Januari 1957):
1. Tanggal Pembentukan: Provinsi Kalimantan Barat resmi dibentuk pada 1 Januari 1957 berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1956.
2. Bukan Kelanjutan Otomati: Pembentukan ini bukan kelanjutan otomatis dari DIKB, tetapi pembentukan baru berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956. Proses ini mengabaikan status historis dan hukum DIKB.
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi:
1. Kesimpulan Utama: Integrasi DIKB ke dalam NKRI melalui mekanisme yang tidak sesuai dengan Konstitusi RIS 1949, melanggar prinsip legalitas dan prinsip-prinsip federalisme. Status DIKB sebagai entitas kenegaraan sendiri diabaikan.
2. Rekomendasi: Penulis merekomendasikan kajian ulang hukum tata negara, rekonstruksi sejarah hukum, dialog nasional dan lokal untuk membahas kemungkinan pengakuan kembali keistimewaan Kalimantan Barat berdasarkan fakta sejarah dan kerangka konstitusional yang sah. Studi banding dengan daerah istimewa lainnya seperti DIY dan Aceh juga disarankan.

Secara keseluruhan, dokumen ini menyoroti permasalahan hukum tata negara dalam proses integrasi DIKB ke dalam NKRI, menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara proses administratif dan hukum konstitusional yang berlaku saat itu, dan mengajukan argumen kuat untuk kajian ulang atas status hukum Kalimantan Barat.

CATEGORIES
TAGS
Share This