Komjend Pol ( Purn ) Dr. Anang Iskandar, SH. MH : Beda lo Tujuan Penegakan Hukum Terhadap Penyalahguna Narkotika dan Pengedar

BN – Mantan Kepala BNN ini tak jemu-jemu mengingatkan hal ini. Rajin menulis kolom di media massa, kerap menjadi pembicara hingga meng-upload pendapat di youtube, bahwa penjara bukan solusi utama bagi pecandu narkoba.

Jangan menempatkan pecandu sebagai penjahat. Karena tak akan selesaikan masalah. Karena itu tempatkan mereka sebagai orang yang harus diperbaiki kehidupannya. Dengan dia lepas dari beban candu, akan ada efek lain.

Saat diwawancara Komjend Pol (P) DR Anang Iskandar, mantan Kabareskrim mengatakan, Kita semua setuju Bandar narkoba harus dibasmi habis, dimiskinkan. Tidak hanya dihukum, tetapi dikenai tindak pidana pencucian uang. Bagi orang kecanduan itu problem kesehatan, bukan kriminal. Saya termasuk orang yang terus menyuarakan jangan sampai ada “biang kerok”. Akibat, salah penerapan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Ini petikan wawancara bersama Komjend Pol ( P) Dr. Anang Iskandar, SH.MH.

Kenapa penerapan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang menjadi “biang kerok”-nya?

Karena UU narkotika mengatur secara jelas bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54).

Dalam pasal 54 UU no 35 tahun 2009, bahwa benar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Anda ingin tegaskan apa?

Pecandu itu, ya penyalah guna yang diancam pidana berdasarkan pasal 127/1. Sebutan lainnya adalah pecandu bila penyalah guna tersebut dilakukan assesmen.

Kalau penyalah guna bagi diri sendiri yang menjadi terdakwa dipengadilan, maka menjadi kewajiban hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Bisa jelaskan lebih lanjut?

Ini diatur dalam pasal 127/2 bahwa hakim wajib memperhatikan menggunakan kewenangan hakim yang tertera dalam pasal 103, memperhatikan kondisi taraf kecanduan terdakwanya (pasal 54) dan tentang status pidananya (pasal 55 & 128).

Kewenangan hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi berdasarkan pasal 103 selama ini tidak pernah digunakan sejak berlakunya UU narkotika.

Kenapa ini bisa terjadi ?

Karena perkara penyalah guna yang diajukan ke pengadilan. Dibungkus oleh jaksa penuntut umum sebagai perkara peredaran gelap narkotika, dengan cara dituntut dengan pasal pengedar. Sehingga terasa, seakan akan memenuhi sarat dilakukan penahanan atau dipenjara.

Meskipun dibungkus dalam perkara, seakan-akan sebagai penyalah guna untuk diedarkan atau perkara pengedar. Nah, seharusnya hakim dalam memutus perkara kepemilikan narkotika menggunakan prinsip lex spesialis derogat lex generalis.

Artinya?

Menggunakan hukum acara yang diatur pada pasal 127/2 dan fokus pada tujuan dibuatnya UU narkotika (pasal 4d), bukan berdasar KUHAP kemudian memenuhi apa yang dituntut jaksa dalam dakwaannya.

Beda loh, tujuan penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika dan pengedar. Kalau penyalah guna dijamin oleh UU narkotika mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sedangkan pengedar harus diberantas.

Jadi yang masuk penjara hanya pengedarnya dan mereka yang termasuk anggota sindikat narkotika.

Kalau penyalah guna narkotika dilakukan assesmen, maka sebutannya berubah menjadi pecandu, maka berdasarkan pasal 54, wajib menjalani rehabilitasi.

Dalam pengamatan jenderal, ada berapa banyak pasal yang mengancam penyalah guna di dalam UU no 35 tahun 2009?

Hanya satu pasal yaitu penyalah guna bagi diri sendiri (pasal 127/1) dan tidak boleh dituntut dengan pasal lain.

Hanya pasal itu yang dijamin UU mendapatkan hukuman rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Apa perlu UU narkotika direvisi?

Perlu tapi enggak perlu perlu amat. Hanya tinggal buat Peraturan Pemerintah tentang penyidikan dan penuntutan perkara penyalah gunaan narkotika bahwa penyalah guna hanya dapat disidik dan dituntut dengan pasal tunggal yaitu pasal 127/1. Intinya, supaya penjatuhan hukumannya pasti menjalani rehabilitasi.

CATEGORIES
TAGS
Share This