Lompatan Menjadi Bangsa Besar

Lompatan Menjadi Bangsa Besar

Oleh : Arif Satria, Rektor IPB – Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI)

BN – Charles Darwin pernah mengatakan bahwa yang bisa bertahan bukan semata yang terkuat dan terpintar, namun yang responsif terhadap perubahan. Kini kita hidup di alam perubahan yang begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang amat tinggi. Lihat saja tahun 2020, di saat kita baru mulai menyadari arus besar Revolusi Industri 4.0, tiba-tiba pandemi Covid-19 datang secara tak terduga. Pandemi Covid-19 telah menjadi sumber ketidakpastian baru: kapan kerja akan kembali normal dan kapan sekolah buka secara luring sebagaimana biasanya? Ketidakpastian ini telah berdampak secara ekonomi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Ketidakpastian pada akhirnya telah menjadi ketidakpastian global. Artinya, semua negara berada dalam situasi yang sama, sehingga siapa yang paling responsif maka dialah yang akan bertahan. Bagaimana agar Indonesia tergolong tidak saja bertahan pada 2021, tetapi juga menjadikan 2021 sebagai momentum kebangkitan baru?

KEKUATAN INOVASI

Pandemi Covid-19 telah membawa dunia pada sebuah krisis besar. Namun demikian, pada umumnya setiap krisis ternyata menghasilkan lompatan-lompatan inovasi baru. Saat Krisis Perang Dunia kedua telah ditemukan komputer yang pertama kali, disertai mesin jet pesawat, obat penisilin, dan radar. Pertanyaannya, lompatan inovasi apa lagi yang akan muncul pada saat krisis Covid-19 sehingga menjadi tonggak baru perubahan dunia?

Dalam Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia berada di urutan ke 85. Di Asia tenggara, posisi Indonesia di bawah Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, Philipina, dan Brunei. Artinya di Asia Tenggara saja Indonesia jauh tertinggal. Apakah mungkin tahun 2021 Indonesia akan menyodok ke posisi 3 besar di Asia Tenggara? Apakah Indonesia akan berhasil melakukan lompatan-lompatan inovasi sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara yang berpengaruh di dunia?

Ada sejumlah syarat lompatan-lompatan inovasi itu berhasil dilakukan. Pertama, lompatan inovasi mensyaratkan kekuatan “future practice” atau “next practice”. Ini akan menjadi kekuatan disrupsi, sebagaimana Rhenald Kasali sering ungkap. Bila kita secara kompak memiliki orientasi baru untuk terus menghasilkan “future practice” maka kita lah yang akan menjadi penentu kecenderungan perubahan. Jack Ma telah hadir dengan Alibaba-nya dan menjadi penentu kecenderungan global. Padahal 10 tahun lalu Jack bukan siapa-siapa. Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya telah membuat dunia semakin berjejaring. Lalu Steve Chan, Chad hurly, dan Jaweed Karim menerobos batas kelaziman bisnis media dengan Youtube nya. Kini semua orang bisa menjadi artis, penyanyi, pelawak, presenter, dan tokoh hanya melalui Youtube. Bisnis media tak lagi perlu konten. Inilah yang mendisrupsi media televisi. CNN, NHK, dan BBC tak lagi bersaing, tapi mereka sama-sama menghadapi saingan baru yang sama sekali bukan media televisi, yaitu Youtube. Mereka lah contoh yang sukses menjalankan “future practice”, yang tentu selalu diiringi dengan kreativitas tinggi.

Masalah saat ini adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih berorientasi pada “best practice”, bukan “future practice”. Artinya kita masih asyik meniru orang lain. Saat berbuat, kita selalu mencari rujukan dulu dan tidak berani melangkah manakala rujukan tidak ada. Kuatnya orientasi pada “best practice” hanya akan menjadikan kita sebagai pengikut selamanya. Akibatnya, kalaupun kita maju maka kemajuan kita akan selamanya di bawah bayang-bayang orang lain yang menjadi rujukan.

Kedua, “future practice” hanya hadir di kalangan orang-orang yang memiliki “Growth Mindset”, dan bukan fixed mindset. Istilah “growth mindset” dipopuperkan oleh Carol S.Dweck (2007). Orang yang memiliki “growth mindset” selalu sadar bahwa dunia telah berkembang dan berubah sehingga tidak ada kata lain selain harus ikut berubah. Baginya tidak ada istilah gagal. Kegagalan akan dijadikannya bahan pembelajaran berikutnya untuk tumbuh berkembang. Sebaliknya orang yang memiliki fixed mindset selalu menganggap kegagalan adalah batas kemampuannya. Orang dengan “Growth Mindset” yakin bahwa dirinya mampu mengubah dirinya sendiri, dan selalu ingin mencoba dengan hal-hal baru. Sebaliknya orang dengan “fixed mindset”, akan fokus pada keterbatasannya, dan kemampuan setiap orang dianggapnya fixed. Orang dengan “growth mindset” hidup penuh pikiran positif dan optimisme. Sebaliknya orang dengan “fixed mindset” hidup penuh dengan pikiran negatif dan pesimisme.

Ketiga, “Growth mindset” umumnya dimiliki oleh orang yang tergolong “agile learner”, pembelajar yang lincah, cepat, dan tangkas. Hari ini yang diperlukan bukan sekedar pembelajar, tapi pembelajar yang cepat, lincah, dan tangkas. Orang yang bertahan dan mampu merespon perubahan adalah orang-orang yang selalu cepat belajar sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru manapun. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada tahun 2030. Namun dengan berbekal sebagai “agile learner” maka kita akan cepat beradaptasi.

Keempat, tiga kata kunci di atas (future practice, growth mindset, agile learner) dapat dikembangkan melalui peran perguruan tinggi (PT). PT yang berorientasi pada lompatan inovasi harus terlebih dahulu diperkuat para mahasiswa dan dosennya yang bercirikan tiga kata kunci tersebut. Oleh karena itu, untuk menuju titik itu, tidak ada cara lain bagi PT selain melakukan perombakan kurikulum dan menciptakan ekosistem baru yang kondusif bagi tumbuhnya tiga kunci di atas. Dengan kata lain, lompatan-lompatan inovasi sebagai penentu sejarah baru dunia akan sangat tergantung pada kekuatan PT. PT hebat akan menghasilkan inovasi hebat. Bisa jadi rendahnya kita dalam indeks inovasi global juga menjadi cerminan peran PT yang belum maksimal, atau belum dimaksimalkan.

Fakta membuktikan bahwa bangsa hebat ditentukan oleh lompatan inovasi yang hebat. Dan inovasi hebat akan ditentukan PT yang hebat. Karena itu, untuk menjadi bangsa hebat maka pembenahan dan penguatan PT adalah mutlak.

OPTIMISME

Apakah kita bisa menjadi bangsa hebat? Bangsa kita masih terus dihantui dengan beban masa lalu sebagai bangsa yang terjajah selama tiga setengah abad. Seolah-olah beban masa lalu akan terus mewarnai sikap keseharian kita yang merasa inferior, minder, dan tidak percaya diri. Padahal Bung Karno dan Angkatan 45 telah memberi contoh bahwa kita bisa bangkit. Proklamasi Kemerdekaan adalah bukti bahwa kita lah penentu nasib masa depan bangsa ini. Kita tidak beri cek kosong kepada siapapun untuk menentukan masa depan bangsa ini. Bahkan pendiri Republik ini telah memberi contoh dan teladan bahwa kita bisa bangkit dan menjadi pemimpin dunia. Konferensi Asia Afrika dan KTT Non Blok adalah bukti inferioritas telah kita pupus, dan kita benar-benar menjadi negara yang berpengaruh di dunia. Pertanyaan berikutnya adalah 100 tahun ulang tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, bangsa kita akan menjadi seperti apa?

Kata pepatah, mimpi itu gratis. Keberanian untuk bermimpi akan menentukan masa depan kita. Apakah kita berani bermimpi bahwa pada tahun 2045 kita menjadi bangsa nomor 1 di dunia? Sama-sama bermimpi mestinya kita bermimpi maksimal sebagaimana Bung Karno ucapkan,” Bermimpilah setinggi langit. Jika Engkau jatuh, Engkau akan jatuh diantara bintang-bintang”.

Bermimpi menjadi nomor satu di dunia bukanlah khayalan. Apa yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea Selatan? Sebenarnya tidak ada bedanya. Mereka hidup 24 jam dengan dua mata, dua telinga, dua kaki, dan dua tangan. Bahkan secara ekonomi Korea Selatan pernah setara dengan Indonesia pada tahun 1960 an. Bedanya ada pada tiga hal: visi, strategi, dan eksekusi. Karena itulah mimpi besar harus diikuti dengan lompatan visi yang jauh ke depan dan adaptif terhadap perubahan, disertai dengan strategi yang jitu, dan eksekusi yang cepat-tepat. Hari ini ketepatan tidak cukup, tetapi perlu kecepatan.

Pandemi Covid-19 membuat semua negara seolah sama kondisinya. Pada titik start yang sama ini, kemudian tergantung pada siapa yang lebih cepat lagi untuk berlari. Kecepatan kita berlari sangat tergantung dari visi, strategi, dan eksekusi. Kita perlu fokus pada tiga kunci ini.

Optimisme ini harus terus kita bangun. Optimisme adalah energi positif untuk membawa kita keluar dari krisis dan energi menemukan masa depan. Saatnya kita sudahi energi negatif yang masih subur pada tubuh bangsa ini. Kekompakan dan kebersamaan adalah modal penting untuk kemajuan. Tak terbayangkan bila itu semua diperkuat dengan spirit “growth mindset” dan orientasi “future practice”, maka kita akan kaya inovasi, dan ini akan menjadi sumber inspirasi untuk terus berinovasi lagi. Inovasi yang berkelanjutan ini adalah modal penting menjadi negara hebat.

Apa yang akan terjadi pada tahun 2045? Kita benar-benar tidak tahu. Namun Abraham Lincoln mengingatkan kita bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya. Selama 25 tahun mendatang kita harus benar-benar berbenah. Indonesia 2045 akan sangat tergantung dari apa yang kita ciptakan hari ini. Karena itulah harus ada tonggak inovasi baru pada 2021. Indonesia 2021 adalah penentu Indonesia 2045.

Los Angeles, 21 Desember 2020

CATEGORIES
TAGS
Share This