Dr. Ibnu Mazjah, SH, MH: Menafsirkan Kaidah Hukum Soal Penolakan Ba’asyir Terhadap Kesetiaan Pada NKRI

BN – Persinggungan hukum antara kesetiaan terhadap NKRI dengan pengamalan keyakinan tentang aqidah seorang muslim kembali menjadi isu yang mencuat beberapa hari terakhir beriringan dengan berjalannya proses pembebasan bersyarat (PB) Ustad Abu Bakar Ba’asyir (ABB). Hal ini muncul karena salah satu syarat PB narapidana terorisme wajib menyatakan ikrar setia kepada NKRI ; Dalam frasa lain, kesetiaan juga mutlak diberikan kepada Pancasila sebagai dasar dari NKRI.

Tulisan ini tidak membahas permasalahan yang tidak bersinggungan dengan hukum dan hak asasi manusia, termasuk menyangkut motif dari pemerintah dan dalam rangka apa ABB diberikan PB. Akan tetapi hanya menyentuh permasalahan yang berkaitan dengan hak individu yang bebas dan otonom serta refleksi tentang hakikat Pancasila dalam konteks Tauhid dan aplikasinya terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tak dapat disangkal, sila pertama Pancasila bermakna Tauhid. Bagi umat Islam yang mengimani keislamannya, keyakinan tentang Tauhid, mutlak menimbulkan konsekwensi tentang tuntutan atas sikap loyalitas ; loyalitas terhadap Allah SWT, loyalitas terhadap Rasulullah SAW, loyalitas terhadap sumber hukum Islam, Alqur’an dan as sunnah.

Intinya, loyalitas dimaksud adalah berlepas diri dari seluruh Thagut sebagaimana tersebut di dalam Surat An Nahl ayat 36. Terjemahan bebas dari Thaghut kurang lebih “sebagai setiap yang disembah selain Allah, yang rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dalam melawan perintah Allah” Sikap yang berlepas diri dari thagut, tentunya didasari pada kebenaran yang diyakininya. Pada fase tersebut, sikap ABB dapat dipahami sebagai sikap ketaatan terhadap keyakinannya.

Berlepas dari thagut juga tidak serta merta dimaknai sebagai sikap anti sosial, ekstrim sehingga melekat sebutan teroris, akan tetapi hakikatnya tetap didasarkan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan, persamaan hak, dan kebebasan yang pengaturannya secara formil dan universal telah sukses terlaksana pada tahun 622 Masehi, dalam wujud shahifatul madinah (piagam madinah).

Betapapun demikian, garis tegas tentang kaidah otonom yang dipertahankan dalam berlepas diri dari thogut, acap menimbulkan anggapan atau kesan sikap yang intoleran. Semisal, memberikan ucapan “Selamat” terhadap apa yang senyatanya bertentangan dengan ajaran Alquran.

Muncul pertanyaan, adakah yang dilanggar ketika seseorang mengimani tauhid dengan loyalitas penuh kelak akan berbenturan dengan kehidupan bermasyarakat dalam bingkai NKRI ? Tauhid dalam konteks keberlakuannya kiranya hanya merupakan keberlakuan yang mengikat secara moral. Mengutip Imanuel Kant, Jikalau kehidupan manusia digambarkan memiliki dua aspek, ialah manusia sebagai individu dan manusia sebagai makhluk sosial, maka moral lebih mengenai manusia sebagai individu. Adapun menyangkut interaksi dengan masyarakat atau dengan kata lain ada perbuatan yang dianggap merugikan, ada pengaturan hukum untuk menentukan sanksi dan hal-hal yang dilarang.

Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, setiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya ( Bernard L Tanya, 2010 ). Hal ini dibenarkan, sepanjang pelaksanaan kemerdekaan itu tidak merugikan orang lain. Untuk menghindari timbulnya kerugian. Persis di titik ini, seolah ada seruan, hiduplah berdasarkan hukum jika ingin hidup bersama secara damai dan adil ( Oemar Seno Adji, 1973).

Oleh karena itu, pengamalan tauhid yang keberlakuannya bersifat otonom serta tidak merugikan pihak lain, adalah hak bagi setiap muslim di Indonesia. Menjatuhkan pilihan berdasarkan hati nurani, memilih, mengamalkan sekaligus menaati ajaran agama bagi setiap pemeluknya secara universal dan merupakan hak kodrati yang juga mendapatkan perlindungan dari sisi hukum dan hak asasi manusia (Lihat article 18 ICCPR jo UDHR).

Akan tetapi, dalam konteks bermasyarakat, pengaturan menyangkut hal-hal yang merugikan orang lain, sudah tentu menjadi hal yang terlarang dan dilakukan pembatasan guna menciptakan ketertiban, keamanan, perlindungan HAM serta kebebasan orang lain, sebagai bagian daripada tujuan hukum itu sendiri.

Dengan demikian, penolakan ABB untuk menyatakan kesetiaannya terhadap NKRI adalah hak otonom dari yang bersangkutan, akan tetapi hukum tetap akan menjadi panglima apabila dalam hal proses berinteraksi di masyarakat ABB melakukan perbuatan-perbuatan aktif yang senyatanya dilarang oleh hukum.

Oleh : Dr. Ibnu Mazjah, SH, MH.
Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mathlaul Anwar Banten.

CATEGORIES
Share This